PAKEM (IndependensI.com) – Hawa panas membasahi baju yang melekat di badan. Semua gerah. Memang, di luar sana matahari sedang membara. Tapi, puluhan orang yang ada di dalam gedung tanpa AC itu bergeming, tak henyak dari kursi mereka sampai acara berakhir. Ada keseriusan, ada juga canda tawa yang melumerkan suasana.
Acaranya memang menarik, terkait kepentingan setiap warga negara. Siapa sih yang enggan melirik topik Pemilu? Apalagi setelah ada heboh sandiwara teraniaya, tempe setipis kartu ATM, warga Boyolali tak mampu menginap di hotel mewah Jakarta, pembakaran bendera bertuliskan tauhid dan lainnya.
Rasa kepo warga terhadap “mendadak” politik ini diwadahi dalam acara dialog lintas agama bertemakan “Merawat Kerukunan dan Kedamaian Pada Tahun Politik”. Diadakan oleh panitia HUT ke-62 Gereja Santa Maria Assumpta Pakem, Kevikepan DIY, Sabtu (3/11/2018).
Hadir sebagai pembicara Romo Dr. Mateus Mali, CSsR (dari unsur agama Katolik), Yuwan Sikro, SH (unsur agama Islam), Dr. Hastho Bramantyo, M.A (unsur agama Budha), Ir. A.A. Alit Merthayasa M.S., Ph.D (unsur agama Hindu), Pdt. Esti Widiastuti, S.Th. M. Min (unsur agama Kristen), dengan moderator Drs. B. Belariantata, S.Ag.,M.M sebagai Wali Kerukunan Kecamatan Pakem Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sleman.
“Politik bisa memakai agama, atau sebaliknya agama memakai politik. Sekarang simbol-simbol agama dipakai dalam politik, misalnya aksi demonstrasi. Ini sedang tren di Indonesia,” tegas Romo Mali. Padahal, agama seharusnya memberikan dasar-dasar religius untuk kebersamaan, bukan malah dipakai untuk aksi gerakan #2019GantiPresiden atau #JokowiDuaPeriode.
Tidak Mengkatolikkan
Romo Mali yang adalah pengajar di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta itu juga menegaskan bahwa gereja mau berziarah pada semua orang, maka tidak eksklusif, tidak memandang orang lain di luar gereja sebagai kafir. “Jangan sampai gereja memandang orang yang beragama lain sebagai kafir. Terhadap yang ateis pun, harus bersaudara.”
Begitu pula evangelisasi bukanlah untuk mengkatolikkan orang, melainkan untuk mewartakan keadilan dan kebenaran, membangun solidaritas dengan semua orang. Dahulu Katolik menganggap sebagai agama paling suci, sekarang tidak. Sekarang, Katolik justru dalam keberdosaan merajut kebersamaan. “Jadi tidak sebagai komunitas sempurna,” tegasnya.
Menurutnya, solidaritas itu bukan sekedar sepenanggungan, tetapi berintegrasi, membangun secara bersama dengan agama-agama lain.
Dalam hal ini tantangannya pertama, agama “kita” dianggap sebagai agama yang paling benar sedangkan yang lain kafir. Kedua, persoalan paling besar ialah merebut kekuasaan. Ketiga, agama memonopoli kebenaran memakai kitab suci, padahal kitab suci seharusnya ditafsirkan.
Keempat, agama dicampur dengan politik. “Celakanya kalau dicampur jadi satu, orang beragama politiknya minta ampun, orang politik fanatiknya minta ampun,” ungkap Romo Mali. Kelima, emosional. “Kalau kita mengasihi sesama, mestinya menerima orang lain tanpa menjelekkan.”
Sementara itu Hastho Bramantyo yang mewakili unsur Budha, mengatakan agama bisa ditarik dalam kepentingan politik karena biasa dipakai untuk politik identitas, misalkan dalam pemilihan umum (pemilu). Hate spin juga telah diterapkan dengan cara menyulut sentimen agama atau SARA. Maka, pemeluk agama harus cerdas, tidak mudah dimanipulasi.
Kesejahteraan Umum
Pada acara dialog yang digelar di gedung serba guna Gereja Santa Maria Assumpta Pakem tersebut, seluruh nara sumber dari lintas agama sepakat bahwa politik sejatinya untuk kesejahteraan umum.
Seperti Romo Mali, yang mengatakan politik itu untuk kesejahteraan bersama, meskipun kenyataannya banyak kotornya. Maka semestinya antara politik dan agama dipilah-pilah. Gereja sangat mendorong politik, tetapi politik tidak boleh menggunakan agama atau untuk kepentingannya sendiri.
Esti Widiastuti dari unsur Kristen, menuturkan gereja membuka diri untuk politik, namun tidak untuk berpolitik praktis. “Kita semua harus merawat bangsa ini, tidak hanya karena Pemilu 2019 tapi setiap tahun. Tidak harus agama saya yang memimpin, tapi pemimpin wajib berpandangan luas, punya nilai kasih dan kebersamaan.”
Sedangkan Yuwon Sukro, mantan Komandan Banser NU, menegaskan bahwa soal kerukunan antarumat beragama sudah selesai di forum ini (dialog lintas agama-red). Maka kalau ada masalah hujatan antaragama di tingkat RT, misalnya, justru itu harus dipertanyakan. “Kenapa tidak rukun? Kenapa ketika nyaleg lalu ada gesekan?”.
Diingatkan, prinsip bersikap semestinya adalah pertama, keseimbangan (tawazun), tidak ekstrem kiri atau kanan sehingga tidak masalah kalau umat agama lain masuk gereja, masuk masjid dan tempat ibadah lainnya. Kalau pun ada perbedaan, tidak usah dipertajam dan cari saja persamaannya.
Kedua, adalah amar ma’ruf nahi munkar yang dimaksudkan mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.
Demikian pula Alit Merthayasa dari unsur agama Hindu, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan (STIEBANK) Yogyakarta, menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu ada dialog lintas agama seperti ini, kalau semua sadar bahwa kita adalah berasal dari satu sumber yang sama. Tujuan agama Hindu adalah mokshatem jagadhita, yakni kedamaian abadi dengan terlebih dulu menciptakan kedamaian duniawi. (Wahyu Dramastuti)