Tambah Bandara Baru, Solusi Dongkrak Target Kunjungan Wisman

Loading

BALI (Independensi.com) – Prof. Dr. I Gde Pitana selaku tenaga ahli bidang Pemasaran Kemenpar RI mengatakan pariwisata Indonesia sejatinya saat ini mengejar target kunjungan wisatawan baik secara kualitas maupun kuantitas.

“Kalau tidak ada turis maka usaha tidak sustainable. Namun kalau banyak turis juga dengan perilaku yang tidak baik maka tidak sustainable,” tegas Prof. Pitana di sela-sela acara Indonesia Tourism Outlook 2019 yang digelar, di Hotel Ayodya Nusa Dua, Jum’at (23/11/2018).

Untuk itu masalah kualitas dan kuantitas ini jangan dipertentangkan. “Jadi harus ada keseimbangan antara kuantitas maupun kualitas,” tambah Pitana. Di sisi lain Pitana mengaku terkejut melihat angka pertumbuhan pariwisata Bali di tahun 2017 yang hanya mencapai 1,32 persen.

“Dugaan saya karena jembatannya sudah tidak ada, artinya Bandara Ngurah Rai hanya mampu menampung 25 ATR per jam. Jembatan udara sudah tidak ada maka orang tidak bisa mendarat lagi ke Bali,” ujarnya.

Untuk itu menurutnya Bali memerlukan tambahan bandara. Berdasarkan informasi yang dia terima dari Bandara Ngurah Rai bahwa permintaan sangat tinggi. Tetapi kemampuan atau kapasitas bandara baik runway maupun terminalnya sudah di atas daya tampung. “Saya di Kementerian Pariwisata dapat banyak permintaan dari berbagai airlines untuk direct flight ke Bali. Kami belum bisa memenuhi karena over capacity untuk Bali,” ujarnya.

Padahal 80 persen wisatawan datang ke Bali lewat udara. Jadi solusinya harus menambah jembatan udara. Sebagaimana diketahui Estepers sebagai forum dari alumni Sekolah Pariwisata Bali kembali menggelar Indonesia Tourism Outlook 2019 sebagai acara yang berkelanjutan sejak dibentuk pada tahun 2016.

Indonesia Tourism Outlook 2019 kali ini akan mendiskusikan beberapa hal tentang terobosan yang akan dilakukan oleh pemerintah dan pelaku pariwisata yang bertujuan untuk membangun pariwisata yang memiliki nilai tinggi dari berbagai aspek.

Acara ini juga dihadiri sejumlah pakar di antaranya Renald Kasali dan Faisal Basri serta sejumlah pakar pariwisata. (Hidayat)