JAKARTA (IndependensI.com) – Membanjirnya hoax menyita perhatian besar jelang Pemilihan Umum 2019. Kecanggihan teknologi informasi dengan gawai dan media sosial membuat dunia nyata dan dunia maya seakan gaduh ‘diacak-acak’ hoax. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena hoax bisa menjadi salah satu pintu masuk gerakan radikal dan ekstremisme seperti yang pernah terjadi di Timur Tengah, dengan Arab Spring.
Pengamat Timur Tengah dari Damar Institute Dr Suaib Tahir, MA mengungkapkan salah satu yang mendukung gerakan massa di negara-negara Arab saat itu tidak terlepas dari kemajuan teknologi khususnya medsos. Masyarakat tidak perlu lagi teriak-teriak di sana sini untuk mempengaruhi masyarakat agar turun ke jalan akan tetapi cukup membuat tagline di medsos. Buktinya, propaganda, hoax, agitasi yang tersebar di medsos mampu memobilisasi masyarakat untuk turun ke jalan sehingga menimbulkan kegaduhan besar.
“Yang menarik dari Arab Spring ini adalah munculnya gerakan-gerakan radikal dan ekstremisme di negara-negara itu sebagai salah satu pioner pembebasan dari sistem diktator yang selama ini berkuasa di negeri-negeri itu. Isu agama dijadikan senjata untuk menerapkan syariat Islam seperti yang terjadi di Mesir, Libya dan Tunisia,” ujar pria jebolan Universitas Khartoum, Sudan, di Jakarta, Selasa (26/3/2019).
Ia mengingatkan, agar bangsa Indonesia belajar dari fenomena Arab Spring yang pernah terjadi di Timur Tengah. Suaib menjelaskan, ketika Arab Spring terjadi, ia masih berada di Timur Tengah dan menyaksikan secara langsung proses kemunculannya. Saat itu, ia sedang berada di Juba menghadiri upacara kemerdekaan Sudan Selatan.
Usai menghadiri upacara kemerdekaan itu tiba-tiba semua delegasi dari berbagai negara tiba tiba harus kembali ke Khartoum, ibu kota Sudan, karena ingin menyampaikan laporan upacara kemerdekaan Sudan Selatan. Pada waktu yang sama mereka ingin melaporkan kejadian di Tunisia yang memaksa Presiden Tunisia Ali Zaenal Abidin agar mundur dari posisi Presiden.
Awalnya, terang Suaib, hanya masalah kecil yaitu seorang pedagang buah di sebuah kota provinsi di Tunisia membakar dirinya karena putus asa atas tindakan aparat keamanan yang melarang dan membakar barang dagangannya di pinggir jalan. Peristiwa inilah yang kemudian memancing amarah masyarakat untuk turun ke jalan memprotes aksi aparat keamanan itu. Protes yang dimulai dari ibukota provinsi akhirnya menjalar hingga ke ibukota dan pada akhirnya memaksa Presiden Tunisia untuk lengser dari jabatannya.
Ia melanjutkan, apa yang terjadi di Tunisia menjadi inspirasi bagi warga Mesir yang juga melakukan aksi bakar diri karena putus asa dengan kehidupan ekonominya. Dari sini, masyarakat Mesir mulai turun ke jalan menuntut Presiden Mesir Husni Mubarak agar lengser dari kursi kepresidenan. Setelah demonstrasi yang berlangsung beberapa bulan akhirnya Mubarak juga lengser dari kekuasaan. Apa yang terjadi di Mesir juga menginspirasi masyarakat Libya, Yaman, Irak, dan Suriah kemudian melakukan hal yang sama dan semua itu berawal dari hoax.
Menjelang Pemilu 2019, fenomena hoax menjadi tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Terbukti selama proses demokrasi Pemilu 2019, hoax beredar di liar. Ironisnya, literasi digital dan budaya saring sebelum sharing di masyarakat masih sangat rendah. Kondisi ini dimanfaatkan pembuat hoax dengan membuat bentuk yang menarik seperti meme, video pendek, dan lain-lain.
Suaib menjelaskan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan apakah berita itu benar atau hoax. Pertama adalah tanggal dan tempat peristiwa. Produsen hoax sering kali memanipulasi gambar dan berita sebagai bahan propaganda. Misalnya sebuah kejadian yang sudah lama tapi kembali di posting dalam bentuk baru dengan tanggal postingan yang baru. Padahal gambar tersebut sudah lama dan bahkan kejadinya sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang dimaksud postingan itu. Kedua produsen hoax sering kali memanipulasi tempat kejadian atau gambar yang dimanipulasi untuk kebutuhan tertentu, termasuk tujuan politis.
Terkait proses demokrasi dalam Pemilu 2019 ini, doktor jebolan Universitas Khartoum Sudan ini menilai, masyarakat sejatinya menjadi bagian dari proses demokrasi yang bersih, jujur, dan adil, tanpa ada intimidasi-intimidasi yang dapat menekan seseorang atau satu komunitas untuk memilih paslon yang diinginkan. Karena itu kebebasan memilih sesuai hati nuraninya harus dihormati tanpa harus menggunakan cara-cara kotor seperti hoax dan lain-lain.
“Hoax dan ujaran kebencian hanya akan menimbulkan kemarahan dan pasti akan berdampak negatif dalam proses demokrasi kita. Di titik ini secara tidak langsung kita telah menanam benih-benih kebencian antara sesama kita dan itu sangat tidak baik bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,” tutur dosen Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran Jakarta ini.
Padahal, lanjut Suaib, Pemilu sejatinya harus dipahami sebagai sebagai ajang untuk memperjuangkan para calon tanpa harus mencederai pendukung lain. Harus juga dipahami bahwa Pemilu hanya sekali dalam lima tahun, sementara hubungan persaudaraan harus selalu di jaga kapan pun dan dimana pun karena hubungan persaudaraan tanpa mengenal batas waktu sehingga harus dirawat dalam kondisi apapun.
Menurut Suaib, akan menjadi sebuah kekeliruan jika hanya karena pilihan yang berbeda hubungan persaudaraan atau pertemanan sebagai bangsa Indonesia bisa rusak. “Satu hal yang harus diingat bahwa persaudaraan dan persatuan merupakan unsur yang paling penting dalam menjaga negara ini. Tanpa itu kita akan mudah dipecah belah oleh mereka yang ingin merusak Indonesia,” tukas pria berdarah Bugis tersebut.
Dari fenomena ini, Suaib mengajak generasi milenial di Indonesia untuk mengambil pelajaran dari Timur Tengah itu, terutama pemakaian hoax untuk memecah belah bangsa dengan memperkuat pemahaman 4 Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
“Saya rasa bangsa Indonesia sudah cukup dewasa dalam menjalani proses demokrasi sejak era reformasi 1998 lalu. Dengan Empat Pilar Kebangsaan itu, berbagai macam gangguan berupa hoax, ujaran kebencian, politik adu domba, akan bisa kita atasi bersama,” kata Suaib Tahir.