Ada Dugaan Persekongkolan Aparat Desa Dalam Penyerobotan Tanah Disabilitas

Loading

Bali (Independensi.com) – Kasus Penyerobotan Tanah Disabilitas Makin Terang, Hakim Telusuri Peran Ketiga Aparat Desa. Majelis Hakim terus menelusuri peran saksi-saksi aparat desa bendesa adat I Wayan Artawan, mantan kepala desa I Dewa Putu Artha Putra, dan kepala dusun I Nyoman Sujendra yang menandatangani permohonan surat sporadik prona lahan yang ditempati Dewa Nyoman Oka (penderita keterbelakangan mental) terkait permohonan sporadik tanah seluas 5000 m yang ketiganya patut diduga melakukan tindakan yang tidak menganut prinsip kehati-hatian dalam menyetujui permohonan surat tersebut.

“Padahal ada penguasaan Dewa Nyoman Oka yang menguasai sebagian tanah tersebut yang terletak di Banjar Tarukan Desa Pejeng Kaja Kecamatan Tampaksiring Gianyar, Bali. Namun ketiga saksi aparat desa menafikkan keberadaan Nyoman Oka yang menandatangani tanpa mengecek keabsahannya fakta di lapangan, bahkan majelis hakim meminta dihadirkan selaku Camat yang diduga juga mengetahui persengkongkolan ini,” kata I Made Somya Putra, Kuasa Hukum Dewa Nyoman Oka ketika dimintai pendapatnya seusai sidang di PN Gianyar”, Senin (8/4/2019).

Sidang pidana kasus penyerobotan tanah penyandang disabilitas I Dewa Nyoman Oka menghadirkan saksi-saksi dari para aparatur desa Tersangka Dewa Merta dan Nyoman Swastika dan Kakak Kandung korban berjalan cukup alot. Hakim yang memimpin sidang ternyata malah menelisik adanya dugaan peran ketiganya karena tidak hati-hati dalam menyetujui permohonan penerbitan surat sporadik prona, bahkan majelis Hakim memperjelas batas-batas tanah yang telah dikuasai penempatannya Dewa Nyoman Oka yang memiliki keterbelakangan mental.

“Jika mencermati keterangan dari saksi-saksi yang dihadirkan penggugat, semuanya justru memperjelas posisi penguasaan tanah yang memang selama ini ditempati Klien kami Dewa Nyoman Oka,” kata I Made Somya, Pengacara Dewa Nyoman Oka.

Faktanya, lanjut Somya, Kliennya Dewa Nyoman Oka (disabilitas) telah menempati rumah tersebut selama 20 tahun berturut-turut dan terdakwa tidak memiliki itikad baik dengan mengesampingkan hak-hak korban dalam proses pembuatan sertifikat tersebut.

Sidang menghadirkan saksi-saksi yaitu Desak Made Sri sebagai kakak kandung korban yang bersikukuh bahwa keluarganya telah menempati tanah tersebut hingga 3 generasi.

Hakim Wawan Edi Prasetyo mengatakan bahwa majelis hakim akan menelisik lebih dalam peran masing-masing aparatur desa agar kedepan tidak lagi banyak kekeliruan persepsi terkait perbedaan definisi ‘menguasai’ dan ‘menempati’ tanah yang akhirnya menjadi ‘sampah kasus’ di institusi pengadilan.

“Secara faktual di depan persidangan baik diketahui secara sadar atau tidak oleh ke 2 terdakwa keterangan dari ketiga saksi aparat desa yang juga berstatus tersangka yang akhirnya mengakui kekeliruan atas tanda tangan yang telah dibuat dan semakin memperjelas posisi I dewa Nyoman Oka yang telah menempati lahan tersebut secara turun temurun. Dengan demikian makin mempersulit posisi para terdakwa, bagaikan telah digalikan ‘liang kubur’ oleh ke 3 aparat desa, karena dugaan persekongkolan ini,” tutur I Dewa Putu Sudarsana selaku Keluarga korban.

Sidang dilanjutkan minggu depan, Senin 15 April 2019. (hidayat)