JAKARTA (Independensi.com) – Budayawan Suku Dayak Uban di Kalimantan Barat, Tobias Ranggie, mengingatkan Pemerintah Pusat, arsitektur bangunan Istana Negara harus berlatarbelakang Kebudayaan Suku Dayak, apabila memang direalisasikan rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Hal itu dikemukakan Tobias Ranggie, menanggapi Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Adita Irawati, Senin, 29 April 2019. “Harus berarsitektur Suku Dayak, karena Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Kalimantan. Pemahamannya, Kebudayaan Nasional Indonesia, berasal dari kebudayaan daerah yang disosialisasikan kalangan internal, dan diterima publik menjadi kebudayaan nasional. Sebagai bagian integral Bangsa Indonesia, Kebudayaan Dayak punya hak yang sama dengan suku bangsa lainnya di Indonesia untuk menjadi kebudayaan nasional,” ujar Tobias.
Menurut Adita, beberapa waktu lalu pemerintah sudah membahas cukup mendalam terkait rencana pemindahan ibu kota, namun sempat terhenti.
Adita Irawati, mengutip Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, dari banyak lokasi, sekarang mengkerucut pada tiga lokasi, yaitu Palangka Raya (Provinsi Kalimatan Tengah), Samarinda (Provinsi Kalimantan Timur), dan Pontianak (Provinsi Kalimantan Barat).
Dalam perkembangan terakhir, Palangka Raya, sebagai lokasi paling santer disebut sebagai lokasi pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta. Kantor Berita Antara, Jumat, 13 Juli 2018, mengutip sumber di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, mengaku, Badan Informasi Geospasial (BIG) melakukan pemetaan lahan yang digunakan untuk pemindahan ibu kota negara. Pemetaan dilakukan di Kalimantan Tengah.
Tahun 1957 Presiden Soekarno pertama kali mengeluarkan wacana Palangka Raya sebagai calon lokasi pemindahan ibukota negara. Dalam perkembangannya, dari aspek tataruang, Palangka Raya, betul-betul dirancang jadi calon ibukota negara.
Pada seminar Tentara Nadional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) I Tahun 1965, Presiden Soekarno mengumumkan Kota Palangka Raya sebagai lokasi pemindahan ibukota negara.
Tidak tanggung-tanggung, di hadapan petinggi TNI-AD tahun 1965, Presiden Soekarno mengklaim telah menyusun tataruang Palangka Raya sedemikian rupa, sehingga sangat layak jadi ibukota negara.
Tobias Ranggie, mengatakan, jangan sampai latar belakang Budaya Arab mewarnai arsitektur Istana Negara di Kalimantan, sebagai wacana yang sempat dilontarkan Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, untuk memasang aksara Arab di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya.
“Kendati aksara Arab di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya, dibatalkan, setelah diprotes banyak pihak, tapi aksara Arab sudah terlanjur dipasang di Tugu Perdamaian di Kota Sampit, Ibukota Kabupaten Kota Waringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Ini bentuk pelecehan terhadap identitas Suku Dayak, karena Budaya Arab bukan budaya asli di Pulau Kalimantan,” kata Tobias.
Tobias Ranggie, mengatakan, pasti akan meledak gelombang demonstrasi besar-besaran apabila arsitektur Istana Negara di Kalimantan, terbukti tidak bernuansa Kebudayaan Suku Dayak,” ujar Tobias. (Aju)