BALI (Independensi.com) – Keberadaan Forum Krama Bendega sebagai pengejawantahan dari Perda Bendega No 11 Tahun 2017 memiliki nilai strategis sebagai stakeholder dari masyarakat pesisir yang turut menjaga kelestarian lingkungan biota laut Bali di masa depan. Namun untuk lebih mensejahterakan masyarakat pesisir maka diperlukan landasan hukum Pergub Bendega.
“Jika kita memiliki Subak di pegunungan dan Lembaga Desa Adat di daratan maka keberadaan Bendega sebagai lembaga milik masyarakat pesisir di provinsi Bali seharusnya disetarakan, sudah saatnya Bali memiliki sebuah Peraturan Gubernur (Pergub) Bendega yang mengatur tentang aktivitas sosial dan budaya nelayan di pesisir,” kata Ir. Manu Mudhita, MM., Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Bali, di Jimbaran, Jum’at (31/5/2019)
Menurutnya, Jika tidak ada landasan peraturan seperti Pergub Bendega, dikhawatirkan di masa depan dan pemberdayaan masyarakat pesisir akan kurang maksimal bahkan dikhawatirkan akan sering terjadi konflik permasalahan di wilayah pesisir Bali.
Menurut Manu Mudita, Bali kini telah menjadi tujuan investor untuk pengembangan pariwisata. Wilayah pantai atau pesisir, selama ini kerap menjadi tujuan utama para investor untuk pengembangan usahanya.
“Jika tidak diatur dalam sebuah peraturan seperti peraturan gubernur, setiap tahun pasti akan ada permasalahan di wilayah pesisir. Tentu akan ada benturan antara investor dengan kelompok nelayan. Untuk itulah perlu adanya kejelasan posisi atau tempat untuk para nelayan. Karena salama ini kelompok nelayanlah yang menjadi garda terdepan untun menjaga kawasan pesisir,” ujar Manu.
Menurut Manu, konflik di pesisir saat ini sudah terjadi. Misalnya di Pantai Sawangan Badung, dimana akses nelayan dan petani rumput laut ke pantai sudah ditutup oleh bangunan-bangunan milik investor. Hal ini bisa terjadi karena nelayan di Bali selama ini tidak memiliki landasan hukum untuk menempati wilayahnya. Padahal keberadaan kelompom nelayan ini sudah ada sejak lama.
“Hampir seluruh pesisir Bali tidak ada landasan hukumnya. Oleh karena itu HNSI membentuk Forum Bendega untuk melindungi hak nelayan. Masak (lembaga) Subak dan orang di gunung diberikan landasan hukum sementara nelayan tidak (diberi landasan hukum). Jika lembaga sawah namanya subak, lembaga desa namanya desa adat, jika lembaga di laut namanya Bendega. Lembaga Bendega ini harus segera dibuat landasan hukumnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, sesuai UU no 27 tahun 2017 tentang pengelolaan hasil laut, jelas disebutkan bahwa masyarakat pesisir adalah masyarakat lokal dengan kearifan lokal. Terkait hal ini, Manu mengatakan sebelum terbit Pergub Bendega, Perda Bendega yang sudah ada harus lebih sering disosialisasikan.
“Seluruh masyarakat Bali harus paham bahwa perda atau pergub jika sudah ada nantinya ini untuk melindungi masyarakat nelayan di pesisir. Manfaatnya (jika sudah ada landasan hukum), setiap krama bendega yang memenuhi syarat berhak mendapat bantuan untuk mendidik nelayan untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal. Saat ini dimanapun pantai itu sudah menjadi ikon “tourism”. Ini yang tidak disadari dan ini bisa jadi potensi konflik jika tidak dibuatkan aturan seperti Pergub Bendega,” ujarnya.
Ketua Forum Krama Bendega, Made Artana menambahkan, di Badung sendiri sudah ada ranperda, juga di Denpasar dan Buleleng sudah ranperda tentang bendega. Sementara yang lebih spesifik untuk di Pergub Bendega hingga kini masih dalam posisi menunggu.
“Kita berharap diagendakan di tahun 2019 ini ada pembahasan tentang Pergub (Bendega) ini. Kita juga sudah bersurat, tapi belum ditanggapi. padahal kita di krama bendega juga membantu program kerja Gubernur Bali, Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” ujarnya.
Menurut Artana, di Bali, ada 900 kelompok nelayan dengan total anggota 4.500 anggota. Selain itu juga terdapat 150 pura segara di seluruh pesisir Bali . “Sebelum ada Perda Bendega, kita sudah seperti lembaga subak. Sudah punya kewajiban-kewajiban. Kita berharap Pergub Bendega bisa segera dibuat demi kesejahteraan masyarakat dan nelayan di pesisir Bali.” pungkasnya. (hidayat)