Jaksa Agung : Tangani Korupsi Tidak Seperti Tangani Pencuri Ayam

Loading

Jakarta (Independensi.com)
Meski Kejaksaan beberapa tahun belakangan ini dalam penegakan hukum lebih menekankan pencegahan korupsi, namun juga tidak menafikan dilakukannya penindakan jika memang ditemukan bukti, data dan fakta yang cukup dan tidak terbantahkan.

“Yang tentunya semua itu harus diproses secara hukum,” kata Jaksa Agung HM Praestyo kepada wartawan di Badan Diklat Kejaksaan RI, Senin (17/6/2019) usai menjadi inspektur upacara Apel Peringatan HUT Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) ke-26.

Prasetyo mengatakan langkah pencegahan yang dilakukan institusinya supaya program pembangunan dan apapun yang tertuang dalam Nawa Cita pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lima tahun ini bisa berjalan dengan baik.

Prasetyo sendiri menegaskan menangani kasus korupsi itu tidak mudah seperti membalikan tangan. “Beda dengan curi ayam, kambing, sapi atau kasus pembunuhan misalnya. Itu sangat mudah pembuktiannya.”

Hal dikatakannya ketika ditanya mengenai gugatan praperadilan MAKI yang mempermasalahkan mangkraknya sejumlah kasus korupsi yang ditangani bidang Pidsus Kejaksaan Agung.

“Karena setiap perkara itu ada spesifikasinya, ada faktor kesulitannya, ada kendalanya. Kalau mudah diselesaikannya ya akan cepat selesai,” tegas Jaksa Agung.

Dia mengungkapkan banyak juga sebenarnya kasus-kasus korupsi yang lebih cepat diselesaikan oleh jajaran kejaksaan oleh karena memang bukti-buktinya sudah cukup.

“Kalian tahu yang digugat itu menyangkut korupsi. Korupsi itu pelakunya siapa. Mereka itu orang-orang yang mempunyai intelektual tinggi, punya jaringan, punya kekuasaan, punya kewenangan. Bahkan juga punya uang,” tutur Prasetyo.

Oleh karena itu, katanya, para pelaku korupsi bisa melakukan apa saja.  Dia pun mencontohkan misalnya pelaku bisa menghilangkan atau menyembunyikan bukti-buktinya.

“Pelaku juga bisa mempengaruhi saksi-saksinya karena punya kekuasaan, dan dengan kewenangan dia bisa menekan atau mengancam saksi-saksi yang memberi keterangan. Ini yang kita tidak inginkan dan yang membuat kita harus hati-hati,” ucap mantan Kajati Sulawesi Selatan ini.

“Jadi jangan katakan kita tidak kerja. Kalau lihat gedung bundar (gedung JAM Pidus–Red) sana. Siang, sore malam kerja terus jaksa kita,” ucap Jaksa Agung.

Sementara terkait dengan jumlah jaksa, diakuinya masih sangat kurang. Dikatakannya jumlah jaksa idealnya sekitar 20 ribuan dan saat ini jumlahnya baru sekitar 10 ribuan

Oleh karena itu pihaknya masih meminta terus tambahan kepada Menpan. “Tapi tentunya kita lihat juga sebarannya harus sesusai dengan kebutuhan wilayah atau daerah masing-masing.”

Dicontohkannya untuk Pulau Jawa misalnya, tentu perlu banyak jaksa karena perkaranya lebih banyak. “Beda misalnya kalau di Papua yang perkaranya sedikit. Dan mungkin tugas jaksa disana lebih banyak jaksa untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, terutama mendapat pencerahan di bidang hukum.
(MUJ)