Oleh: Ardli Johan Kusuma, S.IP., M.H.I
(IndependensI.com) – “Tidak ada musuh atau teman abadi di dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi”. Istilah ini bisa sangat membantu publik untuk memahami fenomena kondisi politik nasional menjelang akhir bulan Juli 2019 ini. Masyarakat tentu banyak yang bertanya-tanya terkait prubahan yang signifikan pada peta politik nasional. Dua kubu yang sebelumnya berada pada posisi yang berlawanan dan saling hantam saat Pilpres 2019, tiba-tiba masing-masing pihak yaitu kubu 01 yang mengusung Jokowi dan Ma’ruf Amin serta kubu 02 yang mengusung Prabowo dan Sandiaga Uno, sama-sama mengambil sikap yang berbeda dengan sebelumnya. Dalam masa-masa menjelang Pilpres serta sesaat setelah Pilpres berlangsung, dua kubu tersebut selalu pada posisi saling serang dan anti satu sama lain. Dan yang lebih meprihatinkan sikap yang diambil oleh para elit politik yang sedang bertarung tersebut diikuti para pendukung masing-masing kubu pada level bawah (masyarakat yang mayoritas awam politik) dengan sikap yang sangat keras, bahkan mengakibatkan banyak terjadinya konflik yang serius di masyarakat.
Kekerasan sikap dan fanatisme yang berlebihan dalam masyarakat kita, tidak diimbangi dengan pengetahuan ilmu politik yang mumpuni. Retorika yang dilakukan oleh para elit politik ketika dalam masa-masa kampanye dicerna secara mentah-mentah, sehingga benih-benih fanatisme yang sudah muncul dari awal, tumbuh menjadi semakin radikal dan sulit untuk dikendalikan. Dari rentetan kronologi kejadian-kejadian tersebut memunculkan fenomena yang sering disebut dengan “post-truth” atau pasca kebenaran. Dalam konteks ini, fenomena “post-truth” secara sederhana dapat dipahami ketika masyarakat yang sudah terlalu fanatik dengan “jagoan” politiknya selalu memberikan penilaian yang positif terkait apapun yang dilakukan dan diucapkan oleh “jagoan” politiknya tersebut. Sebaliknya, apapun yang dilakukan dan diucapkan oleh pihak “lawan” maka akan selalu dilihat sebagai hal yang negatif. Lunturnya nilai-nilai obyetifitas dan kebenaran menjadi indikator yang paling mudah untuk memahami fenomena “post-truth” tersebut.
Kejutan yang dilakukan oleh para elit politik yang kemudian saling membuka diri dan saling membuka pintu peluang untuk menjalin koalisi, tentu menjadi suatu “shock therapy” bagi masyarakat awam politik. Tokoh politik yang sebelumnya diagung-agungkan dan selalu benar di mata mereka, serta pihak lawan yang sebelumnya selalu salah di mata mereka, tiba-tiba tampil mesra di depan media dan siap untuk saling mendukung. Masyarakat harusnya sudah siap untuk melihat fenomena yang demikian. Mengingat dalam sebuah sistem negara demokratis, terlebih dengan sistem multi partai, ditambah Indonesia adalah negara yang sangat besar dalam konteks jumlah penduduk dan juga kondisi identitas sosial yang sangat beragam, tentu hal-hal tersebut sangat mempengaruhi pada pembangunan fondasi koalisi dalam setiap pertarungan politik nasional. Dengan kondisi-kondisi obyektif seperti itu, tentu koalisi yang terbetuk akan bersifat sangat cair dan fleksibel. Dengan kondisi demikian modal masing-masing pihak untuk membangun koalisi adalah terkait “siapa mendapatkan apa?”. Dengan demikian, ketika terjadi ketidakpuasan dalam pembagian “siapa mendapatkan apa?”, koalisi rentan mengalami perpecahan. Sebaliknya, jika ada tawaran yang lebih menguntungkan terkait “siapa mendapatkan apa?” tersebut, maka sang aktor politik akan menggunakan mekanisme “rational choice” atau pilihan rasional untuk memutuskan sesuatu dengan mempertimbangkan untung dan rugi secara material.
Jika dilihat dari paradigma realisme politik, maka sikap yang diambil oleh para elit tersebut dapat dimaknai sebagai jalan untuk mencapai kepentingan masing-masing pihak dengan cara-cara yang menurut mereka rasional. Selesainya Pilpres 2019, tentu menyisakan satu permasalahan krusial yaitu terkait pembagian kursi kekuasaan di dalam pemerintahan yang akan berlangsung 5 tahun ke depan. Peluang untuk menduduki kursi-kursi inilah yang menjadi daya tarik bagi semua pihak untuk melakukan manuver politiknya dan rela untuk menegasikan sikap politik yang sebelumnya mereka ambil. Tidak hanya itu, strategi jangka panjang untuk menghadapi Pilpres 2024 yang akan datang tidak kalah penting bagi masing-masing aktor politik, untuk segera menentukan sikap dan malakukan penjajakan terhadap pihak-pihak yang dapat diajak bekerja sama untuk mencapai kepentingan mereka. Sekali lagi hal ini telah membuktikan kebenaran dari istilah “Tidak ada musuh atau teman abadi di dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi”.
Fenomena perubahan sikap para elit politik yang terjadi ini, hasus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk belajar dalam memahami politik praktis. Hal ini sangat penting, mengingat perjalanan demokrasi negara ini masih teramat panjang, sehingga kerasnya pertarungan-pertarungan politik masih akan banyak terjadi di masa yang akan datang. Dan diharapkan, ketika masa-masa itu tiba, masyarakat secara umum sudah bisa memahami situasi politik yang terjadi, dan tidak mudah terjebak pada pembentukan wacana yang sifatnya menimbulkan peluang konflik di tengah masyarakat, serta dapat menggunakan penilaian-penilaian yang obyektif dan bertumpu pada kebenaran untuk dijadikan landasan sikap politiknya.
Penulis adalah pengamat dan peneliti isu-isu sosial politik, dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.