Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud dan Ketua DPR RI Setya Novanto

Pemberantasan Korupsi di Arab Saudi

Loading

IndependensI.com – Berita mengejutkan tersiar dari Kerajaan Arab Saudi ke seluruh negeri, tidak seperti biasanya penunaian ibadah Haji atau menyangkut produksi minyak dan kekayaan kerajaan, kali ini sangat berbeda yaitu pemberantasan korupsi.

Dengan adanya dugaan skandal korupsi, Komisi Anti-Korupsi menangkap 11 Pangeran dan 4 Menteri karena diduga terlibat dalam korupsi dan suap, sesaat setelah badan anti rasuah itu diumumkan pembentukannya oleh Raja Arab Saudi, Salman Bin Abdulaziz Al Saud hari Sabtu, 4 November 2017.

Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud selain mengumumkan pembentukan Komisi Anti-Korupsi juga merombak kabinetnya dengan mencopoti menteri yang diduga korupsi.
Raja Salman juga memutuskan bahwa Komisi Anti-Korupsi sendiri dipimpin Putra Mahkota, Pangeran Mohammed bin Salman dan setelah pengunuman itu Komisi langsung menahan 11 Pangeran dan 4 menteri.

Dalam pengumuman Kerajaan Arab Saudi bahwa Komisi memiliki Kepala Komisi, Keamanan Publik, Jaksa Penuntut Umum dan Otoritas Investigasi. Tugas Komisi mengumpulkan semua jenis pelanggaran, pelaku, dan lembaga yang terlibat korupsi uang publik.

Komisi berwenang menginvestigasi, mengeluarkan surat perintah penahanan, dan melarang orang berpergian, memerintahkan pembukaan dokumen keuangan rahasia, membekukan rekening dan portofolio investasi, melacak dana dan aset serta mencegah perpindahannya antarindividu dan institusi.  Juga kewenangan mencekal, hingga kasusnya dirujuk ke otoritas investigasi dan pengadilan. Akan tetapi dalam pemberitaan tentang kewenangan Komisi anti Korupsi Arab Saudi tersebut tidak disebutkan kewenangan penyadapan.

Salah satu dari 11 Pangeran yang ditangkap itu disebutkan Awaleed bin Talal Al Saud yang memiliki harta Rp 248 triliun dan rekan bisnis Donald Trump dan menanam saham diberbagai perusahaan dunia.

Ketua Komisi anti Korupsi sendiri adalah Putera Mahkota Mohammed Bin Salman yang baru berusia 32 tahun (lahir 31 Agustus 1985) dan dikukuhkan sebagai Putera Mahkmota pada 21 Juni 2017 yang lalu.

Perkembangan baru yang terjadi di Kerajaan Arab Saudi akan menjadi perhatian dunia, terutama penerapan hukum dan prosesnya terhadap belasan pangeran apakah akan menimbulkan gejolak atau tidak, termasuk pengaruhnya terhadap perekonomian paling tidak yang berkaitan dengan saham para pangeran yang ditanam.

Karena Pemimpin Komisi adalah Putera Mahkota, maka dugaan persaingan untuk merebut kursi atau kedudukan, tidak begitu kuat. Apalagi kalau Komisi anti Korupsi cepat-cepat mengungkap tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Kerajaan yang dilakukan para Pangeran dan ke-4 menteri itu dengan menyeret ke pengadilan serta dibuktikan dan dihukum.

Dugaan terjadinya skandal korupsi itu tentunya telah memiliki bukti kuat dn cukup sehingga tidak dianggap sebagai kebencian semata, apalagi upaya menyingkirkan lawan-lawan politik.

Seperti biasanya, mereka yang diduga korupsi akan berusaha melawan dengan segala cara dan kemampuan pemilik harta dan relasi kuat dan luas, akan mencari pengaruh agar lolos dari lubang jarum hukuman bagi koruptor, dan itu pulalah ujian bagi penegakan hukum di Kerajaan Arab Saudi.

Perhatian dunia akan tertuju kepada Komisi anti Korupsi Kerajaan Arab Saudi, apakah mampu menerapkan hukum terhadap mereka yang diduga melakukan tipikor itu, termasuk jenis-jenis hukuman yang akan dijatuhkan kepada para terpidana.

Apa yang terjadi di Arab Saudi menunjukkan bahwa korupsi itu adalah kejahatan kemanusiaan yang harus diperangi, tidak peduli siapapun pelakunya karena menggerogoti kehidupan umum untuk kepentingan disi sendiri.

Semoga menjadi perhatian kita di Indonesia, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu masih penting, negarawan sejati perlu sadar negara akan keropos kalau korupsi tidak diperangi, Dan adalah “dosa” melemahkan setiap upaya pemberantasan korupsi.

Karena Indonesia begitu luas dan penduduknya sekitar 250 juta lebih, sementara kemampuan KPK masih terbatas, tugas Kepolisian dan Kejaksaan besar sekali, maka pembentukan Densus Tipikor oleh Mabes Polri masih diperlukan, dan masalah-masalah teknis bukan alasan untuk menunda terlepas dari masalah anggaran dan SDM.

Negarawan sejati adalah tokoh yang mewariskan yang baik dan benar dengan didukung etika dan moral, dan jangan mewariskan ketidak tahuan dan ketidak benaran, harus berani menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, tanpa sikap kesatria hidup ini akan hampa. (Bch)