Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran mengaku bahwa dirinya Suku Dayak Uud Danum

Uud Danum, Sugianto Sabran dan Pilgub Kalteng 2020

Loading

PALANGKA RAYA (Independensi.com) – Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Sugianto Sabran, secara terbuka mengakui sebagai orang Suku Dayak Uud Danum dalam pidato tanpa teks pada pembukaan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Dayak Tengah, Senin petang, 22 Juli 2019.

Sebagaimana diketahui dalam Protokol Damai Tumbang Anoi 2019, Borneo atau Kalimantan secara strategi politik kebudayaan, diubah menjadi Pulau Dayak, sebagaimana resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 4 Tahun 1967 dan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006, tentang teknik penamaan wilayah geografi atau toponimy atau pembakuan nama rupabumi.

Sekilas, tidak ada yang istimewa dari pernyataan Sugianto Sabran, karena memang asal usulnya, orang Suku Dayak Uud Danum, sama dengan sejumlah mantan Gubernur Dayak Tengah sebelumnya, di antaranya Reinout Silvanus (1967 – 1968).

Sedangkan Marsekal Pertama TNI (Purn) Tjilik Riwut, Gubernur Dayak Tengah, 1958 – 1967, Pahlawan Nasional, berasal dari keturunan Suku Dayak Uud Danum, dari salah satu orangtuanya.

Tapi pernyataan Sugianto Sabran, untuk pertama kali secara terbuka mengaku sebagai orang Dayak Uud Danum, menjadi menarik dicermati apabila melihat peta politik di Provinsi Dayak Tengah menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Gubernur tahun 2020.

Bisa jadi, rebutan pengaruh antar sesama komunitas Suku Dayak Uud Danum, sebagai salah satu subsuku terbesar di Provinsi Dayak Tengah, akan menjadi lebih menarik.

Apalagi mantan Bupati Murung Raya, Willly Midel Yoseph, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), 2019 – 2024, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN), musuh bebuyutan Sabran Sugianto yang juga dari komunitas Suku Dayak Uud Danum, sudah secara terang-terangan menyatakan siap merebut kursi Gubernur Dayak Tengah periode 2020 – 2025.

Bahkan Willy Midel Yoseph diberi kesempatan menyampaikan sambutan usai Gubernur Sabran Sugianto meninggalkan Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu di Tumbang Anoi dengan pesawat helikopter, Senin petang, 22 Juli 2019.

Dalam forum seminar di Tumbang Anoi, Selasa siang, 23 Juli 2019, Willy Midel Yoseph yang dikalahkan Sabran Sugianto dalam Pemilihan Umum Gubernur Dayak Tengah tahun 2016, secara visioner mengungkapkan betapa pentingnya peningkatan sumberdaya manusia bagi masyarakat Suku Dayak di Provinsi Dayak Tengah.

Politik identitas, memang tidak bisa dihindarkan dalam pemilihan Gubernur Dayak Tengah tahun 2020.

Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.

Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu.

Politik identitas, merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.

Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas (Amhad Syafii Maarif, 2012).

Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyarakat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat.

Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum (Abdullah, 2002). Itulah yang sekarang terjadi di Provinsi Dayak Tengah.

Hegemoni kelompok mayoritas secara nasional di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, memunculkan politik identitas di Pulau Dayak, termasuk di Provinsi Dayak Tengah.

Sayangnya, politik identitas di kalangan elit politik Suku Dayak, masih dilihat dalam dua sisi yang saling bertolak belakang satu sama lain.

Kelompok pertama, politik identitas, semata-mata mengandalkan asal-usul genetis, tapi masih melihat Kebudayaan Suku Dayak dari sumber keyakinan iman yang berimplikasi kepada hancurnya identitas, karakter dan jatidiri orang Dayak.

Pada kelompok ini, orang Dayak dengan mudahnya mengedepankan aplikasi doktrin sumber keyakinan iman untuk mengalahkan implementasi Kebudayaan Suku Dayak sebagai filosofi etika berperilaku.

Di sini muncul istilah agamais, karena melihat Kebudayaan Suku Dayak semata-mata mengedepankan kesalehan individu (sumber keyakinan iman), dengan mengklaim diri dan kelompok saja yang paling benar.

Kelompok kedua, orang Dayak yang dengan penuh kesadaran, melihat Kebudayaan Suku Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat.

Kelompok kedua ini, melihat agama yang dianut sebagai sumber keyakinan iman dan Kebudayaan Suku Dayak sebagai landasan etika berperilaku, sehingga keduanya dimaknai dalam konteks yang berbeda, sehingga terbebas dari tudingan mencampur-adukkan ajaran agama.

Karena Pemilihan Gubernur Dayak Tengah tahun 2020, sudah hampir dipastikan sebagai ajang pertarungan pengaruh antar sesama politisi Suku Dayak, adalah momentum bagi orang Dayak untuk kembali kepada identitas, karakter, dan jatidiri Suku Dayak yang menganut trilogi peradaban Kebudayaan Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada sesama.

Trilogi peradaban kebudayaan Asia dimaksud, membentuk karakter, identitas dan jatidiri Suku Dayak beradat (berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, serta berdamai dan serasi dengan sesama).

Karakter manusia Suku Dayak beradat, menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban dengan sumber doktrin, yaitu legenda suci Suku Dayak, mitos suci Suku Dayak, adat istiadat Suku Dayak, dan hukum adat Dayak.

Filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274), melahirkan teologi adikodrati atau teologi natulis alamiah, dengan mengatakan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Itu berarti Suku Dayak memiliki kemampun mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, melalui sistem religi Dayak yang lahir dari Kebudayaan Dayak itu sendiri. Teologi natulis alamiah atau teologi adikodrati, telah mematahkan tudingan atheisme yang sempat dilontarkan kalangan penganut agama samawi sebelum abad ketiga belas.

Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), melahirkan ideologi Pancasila yang disarikan dari berbagai kebudayaan Suku Bangsa di Indonesia. Itu berarti, Kebudayaan Suku Dayak, turut andil di dalam melahirkan ideologi Pancasila.

Dengan demikian, langkah orang Dayak kembali kepada karakter, identitas dan jatidiri, dalam Pemilihan Gubernur Dayak Tengah tahun 2020, sebagai wujud paling nyata di dalam pengalaman ideologi Pancasila. (Aju)