Jakarta (Independensi.com)
Rencana pemerintah untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke salah satu daerah di wilayah Kalimantan sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di sejumlah kalangan.
Bahkan sejumlah pihak yang tidak setuju dengan pemerintah mendesak agar rencana untuk pemindahan ibukota negara tersebut sebaiknya dihentikan.
“Pemerintah lebih baik fokus dan berkonsentrasi penuh untuk memperjuangkan pertumbuhan ekonomi nasional dalam kurun waktu lima tahun kedepan,” kata pengamat hukum Suhardi Somomoeljono kepada Independensi.com, Selasa (13/8/2019).
Diakui Suhardi dalam perspektif hukum boleh saja pemerintah membuat suatu kebijakan misalnya untuk pemindahan ibukota negara.
“Tapi ada syarat bersifat absolut yang tidak dapat disimpangi yaitu tersedianya undang-undang dan aspek mendesak demi kepentingan umum,“ tuturnya.
Dikatakan Suhardi jika belum ada undang-undang maka kebijakan pemerintah seperti misalnya Instruksi Presiden yang dikemas dalam kebijakan Menteri atau Pemerintah Daerah tersebut sama sekali tidak memiliki dasar hukum.
Apalagi, katanya, jika kebijakan mengatasnamakan negara itu sampai mengeluarkan dana baik APBN atau APBD, maka secara diskripsi berpotensi menimbulkan kerugian atas keuangan negara.
Oleh karena itu, tutur dia, para pembantu presiden sebaiknya tidak membiarkan presiden melakukan langkah-langkah yang dapat dengan mudah menimbulkan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.
Dikatakan juga Suhardi yang dapat menjawab pertanyaan soal ketersediaan undang-undang hanya pemerintah dan DPR RI dalam suatu proses dan mekanisme pembuatan Undang-Undang.
“Tentu dengan melibatkan juga komponen masyarakat secara luas yang memiliki kepedulian dan keahlian untuk pemindahan sebuah ibukota negara,” ujarnya.
Tapi, kata dia, untuk menjawab satu pertanyaan saja tidaklah mudah. “Misal kenapa harus pindah ke Kalimantan? Mengapa tidak di Sumatera, Sulawesi dan bahkan tidak di Papua?”.
Pertanyaan itu, tegas Suhardi,
bukan hanya di jawab melalui pendekatan kekuasaan. “Tapi wajib ditinjau dari aspek politik, ekonomi, hukun, sosial dan budaya,” kata dosen pasca sarjana Universitas Matlh’laul Anwar, Banten ini.
Apalagi, kata dia, nama Jakarta sendiri sebagai Ibukota negara Indonesia memiliki gelombang sejarah dan nilai-nilai spiritual yang sangat menggetarkan hati.
“Mulai dari nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Kemudian berubah menjadi Batavia dan kini Jakarta. Sungguh merupakan gelombang sejarah dan memiliki nilai-nilai spiritual tidak terhingga bagi bangsa Indonesia,” tuturnya.(MUJ)
Setuju pak Suhardi harus ada peninjauan secara komprehensif dalam pengambilan sebuah keputusan apalagi yg menyangkut masalah hak dan kepentingan masa depan bangsa pada umumnya, kalau sistem keputusanya hanya berdasarkan dari aspek politik saja ,lama2 jadi negara atas dasar kekuasaan . Semoga para penguasa lebih selektif setiap pengambilan bijakan demi kepentingan rakyat ,yg mana masih terlalu banyak rakyat yg memerlukan akan kehadiran negara.