Jakarta (Independensi.com)
Pengamat hukum Abdul Fickar Hadjar menilai sangat beresiko apabila kinerja penegak hukum dalam pemberantasan korupsi hanya diukur dari berapa potensi korupsi bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan seperti perspektif Presiden Joko Widodo di Sidang Tahunan MPR-RI.
“Itu beresiko. Karena jika tidak terdeteksi (potensi korupsi–Red) kerugian negara tetap terjadi,” kata Abdul Fickar kepada Independensi.com, Sabtu (17/8/2019).
Disebutkannya juga jika yang dimaksudkan presiden dalam perspektifnya agar supaya semua penyelenggara negara sadar diri untuk tidak korupsi, maka itu bukan hanya tugas penegak hukum, tetapi semua pihak.
“Termasuk dunia pendidikan, tokoh agama dan berbagai instansi untuk menciptakan paradigma mental dan moral orang Indonesia tidak koruptif,” tuturnya.
Sebelumnya Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR RI menyampaikan ukuran kinerja para penegak hukum dan HAM, termasuk kinerja pemberantasan korupsi harus diubah.
Jokowi menyebutkan kinerja jangan hanya diukur dari jumlah kasus dan jumlah orang dipenjarakan, tetapi diukur dari berapa potensi korupsi yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.
“Oleh sebab itu, manajemen tata kelola serta sistemlah yang harus dibangun,” kata Jokowi.
Terkait sistem, Abdul Fickar menegaskan meskipun sistemnya rusak, jika orangnya baik maka korupsi menjadi minimal. “Karena itu, yang nomor satu adalah mental dan moral orangnya,” kata staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
Namun dia mengakui korupsi bisa terjadi karena orangnya, dan karena sistemnya yang koruptif. “Sehingga tersangka korupsi bisa terstruktur. Mulai bawah keatas dan berjamaah.”
Selain itu, kata dia, sistematis karena sistemnya, aturannya mendukung dan bisa disiasati, serta masif menyeluruh dibanyak tempat. “Karena itu pencegahan korupsi pun harus dilakukan secara komprehensif,” tegas Abdul Fickar.(MUJ)