JAKARTA (Independensi.com) – Kementerian Pertanian saat ini terus mendorong masuknya investasi dan berupaya terus meningkatkan ekspor. Salah satu yang menjadi andalan ekspor adalah komoditas perkebunan, bahkan menjadi penyumbang terbesar devisa di sektor non migas.
Hal ini dilihat berdasarkan data dari BPS yang menunjukan kontribusi perkebunan 97,4 persen terhadap volume ekspor sektor pertanian dan berkontribusi 96,9 persen terhadap nilai ekspor sektor pertanian. Makanya tidak heran, subsektor perkebunan menjadi penyumbang devisa negara terbesar dari ranah pertanian.
Agar nilai ekspor perkebunan dapat meningkat, diperlukan adanya percepatan investasi. Data Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di pertanian selama 2009-2013 masih rendah, yakni hanya sebesar Rp 96,1 trilIun. Kemudian pada periode tahun 2014-2018 meningkat 150,7 persen atau Rp 240,8 triliun.
“Kalau berdasarkan data kami, untuk saat ini ada 514 calon investor yang tertarik berinvestasi di subsektor perkebunan. Itu nilainya cukup tinggi, yakni sekitar Rp 313 triliun,” kata Direktur Jenderal Perkebunan, Kasdi Subagyono saat acara Silaturahmi dan Konsolidasi Percepatan Investasi Sektor Perkebunan di Jakarta, Kamis (19/9).
Kasdi mengungkapkan, dalam 5 tahun mendatang (2020-2024), pemerintah menargetkan investasi sektor pertanian mencapai Rp 2.231,5 triliun atau meningkat 827 persen, sedangkan tenaga kerja sektor pertanian ditargetkan meningkat 3,26 juta orang (naik sebesar 8,4 persen).
Secara makro, PDB sektor pertanian ditargetkan tumbuh diatas 5 persen.
Untuk di perkebunan sendiri, target investasi selama 5 tahun mendatang adalah Rp 1.567, 1 triliun. Dengan rincian, kelapa sawit (integrasi sawit-sapi-jagung) 70 persen, tebu sebesar 26 persen, tembakau 1 persen dan lainnya (karet, kopi, kakao, rempah) 3 persen.
“Memang masih didominasi kelapa sawit, lalu diikuti oleh tebu dengan pembangunan 15 Pabrik Gula (PG) yang akan diarahkan ke luar Pulau Jawa dengan total nilai Rp 45 triliun,” ungkap Kasdi.
Investasi di subsektor perkebunan, ungkap Kasdi memang diarahkan ke industri hilirnya karena nilainya akan jauh lebih tinggi dibandingkan hanya sebatas hulu. “Tergantung investornya sanggup kemana. Apakah ke hulunya, khususnya perbenihan atau hilirnya. Tetapi dari kami (Ditjenbun), akan mengarahkan ke hilirnya karena hasil yang didapat jauh lebih tinggi dibandingkan hanya sebatas hulunya saja,” terang Kasdi.
Kasdi mengakui, investasi memang masih kecil dibandingkan dengan ekspor. Ini terjadi karena masalah kebijakan (perizinan). Agar proses investasi di Indonesia berjalan lancar, ada beberapa kebijakan yang dipangkas atau digabungkan, sehingga proses perizinannya jauh lebih mudah, tanpa berbelit-belit. “Sebenarnya syaratnya tidak susah, punya modal dan komitmen, bisa langsung jalan,” katanya.
Atasi Hambatan investasi
Menurut Kasdi, kendala yang menghambat untuk melakukan investasi adalah proses perizinan (pelepasan HGU) sangat sulit, tidak ada kepastian waktu dan biaya, Implementasi Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) antara pusat dan daerah tidak sinkron, pengembangan infrasturktur yang tidak sinkron dengan kegiatan investasi serta tenaga kerja kurang terampil dan produktivitas rendah.
Agar kendala-kendala tersebut dapat teratasi, ada beberapa solusi. Untuk proses perizinan, kewajiban pemenuhan persyaratan setelah kegiatan usaha berjalan. Kemudian adanya transparansi kepastian waktu dan biaya proses perizinan.
Dikatakan, agar pusat dan daerah sinkron harus ada penyeragaman NSPK pusat dan daerah serta Online Single Submission (OSS), sehingga cukup dengan satu pintu secara online, regulasinya akan lebih jelas. Infrasturktur pun akan disediakan tepat waktu dan sesuai fungsi. Dan masalah SDM (tenaga kerja), yakni dengan menyiapkan tenaga kerja melalui pendidikan atau pelatihan vokasi.
“Jadi terobosan kami untuk mempercepat investasi adalah OSS pengembangan investasi terintegrasi dengan sektor pendukung lainnya, pengembangan pendidikan/pelatihan vokasi investasi, dan fasilitasi kemudahan inevestasi,” jelas Kasdi.
Setidaknya ada enam hal penting yang akan dilakukan pemerintah. Pertama, pengawalan proses perizinan oleh Satuan Tugas (SATGAS) Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Kedua, perizinan hanya melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai front line. Ketiga, adanya standar perizinan melalui penerbitan izin induk operasional terkait kewajiban pemenuhan persyaratan setelah kegiatan usaha berjalan serta transparansi kepastian waktu dan biaya proses perizinan.
Keempat, harmonisasi regulasi dan penyeragaman NSPK perizinan untuk mengatasi disharmonisasi sebagai akibat otonomi daerah. Kelima, pelayanan perizinan yang terintegrasi secara elektronik yaitu OSS, dan keenam, mekanisme pengawasan.
Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian, Erizal Jamal menambahkan, peraturan yang menangani investasi di sektor pertanian cukup jelas. Dari UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden No.91/2017 tentang Percepatan Pelayanan Berusaha, Keputusan Menteri Pertanian No.707/2017 tentang Satgas Percepatan Berusaha Lingkup Kementan, PP No.24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, dan Permentan No.40/2019 tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian. “Dengan diperkuat Permentan No.40/2019 tentu terjadi perubahan paradigma. Yang tadinya ke arah birokrasi, sekarang lebih menekankan ke standar dan persyaratan,” ungkapnya.
Di dalam Permentan No.40/2019, permohonan dan layanan Perizinan Berusaha dilaksanakan melalui OSS (Online Single Submission), yakni dijalankan dengan sistem online. “Dengan OSS ini memang jauh lebih terstruktur, cepat, transparan dan tidak ada penyimpangan,” terang Erizal.
Ketika belum OSS, menurutnya, izin usaha diberikan dengan hanya pemenuhan komitmen. Lalu waktu yang dibutuhkan rata-rata 30 hari dan syarat-syaratnya harus seluruhnya dipenuhi. Dengan OSS, izin usaha dibagi menjadi 4 tipe pemenuhan komitmen. Waktunya tergantung tipe izin usaha, tetapi tidak sampai 30 hari, yakni sekitar 5-15 hari.
Kemudian pemenuhan persyaratannya tidak harus dipenuhi diawal, melainkan dapat dipenuhi setelah izin usaha terbit dengan batasan waktu yang telah diatur. “Jadi nanti peran pusat (Kementerian Pertanian) akan lebih dominan melakukan pengawasan setelah izin usaha terbit agar si penerima izin usaha selain menjalankan usahanya, sambil memenuhi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi,” kata Erizal.