Ilustrasi. Presiden Jokowi. (Ist)

Jokowi, TNI, Gerindra dan Keutuhan NKRI

JAKARTA (Independensi.com) – “Lima tahun kedepan, mohon maaf, saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi apapun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan,” kata Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Shangri-la, Jakarta, Kamis, 9 Mei 2019.

Senin, 21 Oktober 2019, pasangan Joko Widodo – K.H. Ma’aruf Amin, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden, hingga masa jabatan berakhir 20 Oktober 2024. Periode pertama, 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2019, Jokowi berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pelantikan diundur satu hari, karena tanggal 20 Oktober 2019, bertepatan dengan hari Minggu, untuk menghargai kalangan Nasrani melakukan peribadatan di Gereja. Sebuah tradisi ketatanegaraan yang layak dijadikan contoh menghargai keberagaman di dalam kehidupan bermasyarakat, di tengah masyarakat di Indonesia, mayoritas memeluk Agama Islam.

Hal menarik di tengah-tengah menjelang pelantikan, Senin, 21 Oktober 2019, isu partai oposisi, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), bergabung di dalam Kabinet Kerja Jilid II. Padahal, lima tahun terakhir, Gerindra merupakan kelompok oposisi, bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Selasa dinihari, 21 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU), menetapkan petahana Presiden Joko Widodo berpasangan dengan K.H. Ma’aruf Amin, sebagai pemenang Pemilu Presiden, pada Rabu, 17 April 2019.

KPU menyebut jumlah suara sah nasional 154.257.601 suara. Jumlah suara sah pasangan Jokowi – Ma’aruf mencapai 85.607.362 atau 55,50 persen dari total suara sah nasional. Pasangan Prabowo Subianto – Sandiaga S Uno yang diusung Partai Gerindra, PKS dan PAN, mengantongi 68.650.239 suara atau 44,5 persen.

Bagi pendukung fanatik Jokowi, sebagian besar menghendaki Gerindra lebih terhormat tetap sebagai partai oposisi, demi keseimbangan pemerintahan. Karena selama lima tahun sebelumnya, 2014 – 2019, Gerindra dikenal sebagai pengkritik kebijakan Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Namun, menjelang pelantikan presiden periode kedua, suasana menjadi cair. Prabowo Subianto terlihat kembali dekat dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebuah partai politik yang sudah tiga kali pemenang Pemilu di era demokratisasi, yaitu tahun 1999, 2014 dan 2019.

Jokowi, mantan Wali Kota Solo dan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, merupakan salah satu kader PDIP. Bagi Jokowi, keberadaan partai pengusung yang menguasai mayoritas perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu PDIP, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan partai baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Rakyat Indonesia (Perindo), sudah cukup membuat stabilitas politik di dalam negeri.

Kendati Hanura, PSI dan Perindo, tidak masuk di DPR, karena perolehan suara di Pemilu 2019, tidak mampu memenuhi ambang batas minimal, tapi perolehan kursi PDIP, Golkar, PKB, dan PPP, sudah melebihi 60 persen perolehan kursi di DPR.

Kelompok radikal

Masalah yang dihadapi Jokowi lima tahun mendatang, adalah membersihkan kelompok radikal yang sampai sekarang terus melakukan pemaksaan kehendak menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi yang bersumbu kepada sumber keyakinan iman, yaitu khilafah yang selalu didengungkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kendati sudah dibubarkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017.

Kendati sudah dibubarkan, tapi paham HTI sudah sangat mengakar di masyarakat. Terutama di kalangan perguruan tinggi. Sehingga menimbulkan anekdot Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi Institut Perakit Bom, pasca Detasemen Khusus 88 Polri menangkap Abdul Basith, dosen IPB, karena ditemukan bom molotov berdaya ledak tinggi di rumahnya, Sabtu, 28 September 2019.

Turut pula ditangkap, seorang purnawirawan bintang dua Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), Sony Santoso, atas sangkaan sebagai aktor intelektual akan melakukan pengeboman massal di tengah-tengah aksi unjukrasa di Jakarta, 27 – 29 September 2019, menuntut pembatalan pelantikan Jokowi – Ma’aruf, Senin, 21 Oktober 2019.

Sebagai partai politik nasionalis, Gerindra diharapkan bergabung di dalam Kabinet Kerja Jilid II, dimaknai untuk lebih menstabilkan suasana politik di DPR, apabila Presiden Jokowi nanti, melakukan hal-hal mendasar, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana diungkapkan di Musrenbangnas Bappenas di Hotel Shangri-la, Jakarta, Kamis, 9 Mei 2019.

Secara logika, kinerja pemerintahan, di negara demokrasi manapun di dunia, sangat tergantung dari dukungan parlemen. Untuk mencapai tujuan kinerja Ppemerintah, terutama terkait hal mendasar, prinsip dan sensitif, demi keutuhan sebuah negara, apapun alasannya harus mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen.

Presiden Jokowi, diyakini, masih belum aman, untuk melakukan tindakan hukum terhadap kelompok radikal, apabila jumlah anggota parlemen pendukung pemerintah hanya sekitar 60 persen. Dengan dukungan Gerindra sebagai peraih suara terbanyak kedua dalam Pemilu Legislatif tahun 2019, setelah PDIP, diyakini akan membuat solid DPR di dalam mendukung kebijakan Presiden Joko Widodo periode kedua.

Pemberantasan kelompok radikal, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Wahabi, Salafi, dan dalam takaran tertentu terkait kepada jaringan terorisme Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Anshorut Syariah (JAS), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK) dan lain-lain yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), tidak akan berjalan sesuai harapan, apabila kekuatan pemerintah di DPR tidak maksimal.

HTI itu FPI

Semua pihak memahami, Jokowi merupakan figur presiden yang tegar dan tegas kepada prinsip, demi keutuhan NKRI. Tapi pembubaran HTI melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017, tidak akan ada artinya, apabila tidak disertai tindakan eksekusi lebih lanjut, berupa tindakan hukum terhadap para pengikutnya.

Sumber keyakinan iman dipaksa jadi ideologi negara, memunculkan sikap intolerans, paham radikalisme sebagai muara aksi terorisme, seperti pengeboman Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu pagi, 13 November 2016, dan pengeboman Gereja di Surabaya, Jawa Timur, 13 – 14 Mei 2018.

Sikap intolerans dan paham radikalisme sudah masuk di perguruan tinggi. Setara Institute for Democracy and Peace, di Jakarta, Jumat, 31 Mei 2019, menyebut, minimal ada 10 (sepuluh) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, sudah terpapar paham radikalisme.

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu, 17 Oktober 2018, menyebut, 6 (enam) dari 10 (sepuluh) guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sekolah milik Pemerintah bersikap intolerans.

Itu artinya, tindakan hukum terhadap kelompok radikal, membutuhkan dukungan maksimal parlemen. Di samping itu, dukungan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga Presiden Joko Widodo memutuskan menaikkan tunjangan kinerja alat pertahanan negara ini mencapai 80 persen, sebagaimana sudah diumumkan di sela-sela Hari Ulang Tahun (HUT) TNI ke-74 di Jakarta, Sabtu, 5 Oktober 2019.

Persoalan TNI, tidak bisa pula sesederhana dilihat. TNI, dalam sejarahnya, terutama TNI Angkatan Darat (AD), ikut mewarnai peta perpolitikan nasional. Gerakan 30 September (G30S) 1965, melibatkan TNI AD. Di dalam disertasi John Roosa, 1998, menyebut G30S 1965, merupakan kudeta Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Soeharto dan TNI-AD, terhadap Presiden Soekarno yang dibiayai Central Inteligence Amerika Serikat (CIA), menandai keberhasilan penganut ideologi liberalis memenangkan pertarungan di Indonesia, melalui G30S 1965.

Kiprah TNI AD di bidang politik nasional, tidak semerta-merta berakhir, pasca penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pemisahan institusi TNI dan Polri, berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyaratan (MPR) Nomor VI/MPR/2000.

Kemudian, Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran Polisi Republik Indonesia (Polri) maka pada tanggal 30 September 2004 telah disahkan Rancangan Undang-Undang TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Oktobe4 2004.

Saat KH. Abdurahman Wahid menjadi Presiden, 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001, kegerahan TNI AD terhadap Presiden dari masyarakat sipil muncul, melalui pembentukan Front Pembela Islam (FPI). Jadi FPI memang organisasi kemasyarakatan binaan oknum di TNI AD.

Ini mengingatkan kita akan kiprah sejumlah oknum petinggi TNI AD pasca G30S 1965 yang melakukan pembinaan terhadap berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai ujung tombak melakukan pembantaian terhadap berbagai pihak yang dituding sepihak terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). (John Rossa, 1998).

Para pentolan FPI sewaktu-waktu berganti baju menjadi HTI. Demikian pula sebaliknya, ketika HTI dibubarkan melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017, para pentolan beralih menjadi bagian tidak terpisahkan menjadi FPI. FPI itu HTI, dan sebaliknya.

FPI sekarang status perpanjangan legalitas ormasnya menggantung di Kementerian Dalam Negeri, karena permintaan untuk mencamtumkan Pancasila sebagai ideologi negara, tidak kunjung dipenuhi.

Keterlibatan mantan Kepala Staf TNI AL Laksama (Purn) Slamet Subijanto, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) TNI AD, Mayjen (Purn) Soenarko, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayjen (Purn), Kivlan Zen, Marsda (Purn) Sony Santoso di pusaran demonstrans kelompok radikal anti Jokowi yang berakhir rusuh di Jakarta, 21 – 22 Mei 2019, dan 27 – 29 September 2019, mesti dilihat dalam tataran insiden kekerasan politik mulai dari G30S 1965.

Itulah sebabnya, Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Andika Perkasa, memberikan keterangan pers di Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019, “Kalau ada pesanan dan perintah di luar komando, itu tidak bisa dilakukan.”

Untuk menjalin sikap solid Pemerintah di dalam memberangus kelompok radikal, Presiden Jokowi, apapun alasannya menjadi alat pertahanan dan keamanan negara, tetap di bawah kendali, kemudian DPR bersuara bulat mendukung sikap dan langkah Pemerintah.

Di sini, posisi Gerindra, sebagai partai politik nasionalis, dibutuhkan bergabung dengan Pemerintah, demi keutuhan dan masa depan NKRI.