Oleh. : Adlan Daie
( Mantan Relawan Pesantren Jokowi, Jawa Barat)
INDRAMAYU (IndependensI.com) Timbangan kritis atas penunjukan sejumlah menteri dan para staf khusus Presiden kita letakkan dalam perspektif Ali bin Abi Thalib yang dalam salah satu petikan surat politiknya dalam kitab “Nahjul Balaghah” mengingatkan kita, “Wala taqulanna inni’ mu’ammaritun fa utha’a“,janganlah sekali kali menganggap diri anda sebagai penguasa yang diangkat oleh kekuasaan legal, lalu meminta ketaatan tanpa reserve dari rakyat yang memilihnya.
Dalam konteks di atas itulah kita letakkan suara-suara kritis terhadap Jokowi, tidak memahami setiap kritik selalu dituduh terpapar radikalisme, anti NKRI dan intoleran melainkan sebagai pandangan yang bersifat komplementer dan saling melengkapi untuk ikut menjaga mau dibawa kemana kapal besar Indonesia, setidaknya hingga lima tahun ke depan.
Penunjukan Jenderal (Purn) Fahrur Rozi sebagai Menteri Agama, Nadiem Makariem sebagai Mendikbud dan tujuh staf khusus Presiden dari generasi milenial, misalnya, meskipun sepenuhnya hak prerogatif Presiden tentu penting dikritisi agar tidak sekedar dibaca sebagai “out of the box“, di luar pakem dimana Kementerian Agama dan Kemendikbud selama ini nyaris identik menjadi kapling NU dan Muhammadiyah.
Urgensi kritik di atas juga dalam kerangka mengukur “uji coba” penunjukannya dengan relevansi kemungkinan pertimbangan menguatnya trend radikalisme dan sesaknya jargon era milenial di ruang publik, era yang disebut dalam penelitian Boston Consulting Group (BCG), salah satunya bercirikan.”No gadget no life” era “tanpa smartphone, matilah aku”.
Dalam pandangan penulis, terus terang, penunjukan Fahrur Rozi sebagai Menteri Agama, Nadiem Makariem sebagai Mendikbud adalah “uji coba” Jokowi yang sangat rapuh dari sisi kultural dan legitimasi sosial. Keterbatasan pemahaman keagamaan Menteri Agama Fahrur Rozi yang tidak lahir dari rahim tradisi moderasi (“Wasathiyah“) mayoritas umat Islam tampak jelas tercermin berkali-kali dari narasi, diksi dan pernyataaannya di ruang publik hanya menyentuh urusan recehan seperti soal cadar, celana cingkrang dan lain lain yang sama sekali tidak substansial dan bersifat kostum lahiriyah, semata-mata menghadirkan sensasi kegaduhan-kegaduhan. Pendekatan konstruksi toleransinya semi militeristik, asbun dan tidak masuk dalam ruang ruang suasana kebatinan umat.
Dalam hal Nadiem Makariem, ia sosok hebat dan salah satu figur milenial yang sangat berpengaruh (most infuencer), terutama terkait sukses besar menciptakan aplikasi “Gojeck”, sebuah wirausaha kreatif tepat merespon dinamika tantangan prilaku sosial milenial. Akan tetapi penting disadari bahwa pendidikan lebih dari sekedar urusan kemahiran menciptakan sistem aplikasi berbasis smartphone.
Pendidikan bukanlah semacam kebijakan politik etis ala penjajah Belanda dulu sebagai pabrik tenaga kerja melainkan sebuah ikhtiar besar, bersifat kolosal dan berkelanjutan dalam kerangka membentuk karakter, memperkuat kepribadian dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Inilah tantangan yang dihadapi Nadiem Makariem sebagai Mendikbud yang miskin bersentuhan dengan tradisi dan budaya persekolahan di Indonesia.
Kritik yang sama kita arahkan terhadap penunjukan tujuh staf khusus Presiden, orang-orang lingkar dalam Presiden yang seluruhnya dari generasi milenial. Seolah-olah urusan bangsa dan negara layaknya sebuah corporasi yang dapat didrave dengan kalkulasi milenial, cepat dan instan. Seolah-olah segmentasi sosial bangsa Indonesia seluruhnya generasi milenial, tidak mengakomodasi varian lain di luar segmentasi milenial dari sudut keragaman usia dan tingkat keakrabannya dengan dunia media sosial.
Urusan berbangsa dan bernegara bukanlah urusan teknis mesin yang sepenuhnya dapat didekati secara mekanis dan pendekatan pola pendidikan link and match ala milenial melainkan berkelindan dan bertali temali dengan keafiran-kearifan lokal bangsa yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan kemahiran instrumental media sosial untuk dikonstruksikan dalam menjaga nilai-nilai keadaban berbangsa dan bernegara.
Negara dan bangsa kita terlalu besar jika kritik absen di ruang publik, terlalu besar resikonya jika sepenuhnya dimandatkan ke perwakilan rakyat yang acapkali disandra hak hak konstitusionalnya oleh penguasa oligarkhi politik dan rakyat dibiarkan terlena disuguhi pencitraan-pencitraan indah tentang kerja-kerja negara di media-media mainstream dimana para tuan pemiliknya adalah bagiam dari korporasi politiknya.
Tugas kita bersama dengan proporsi dan posisinya masing-masing untuk menjaga bangsa dan negara ini agar tidak tertimbun narasi radikalisme dan milenialisme yang over dosis, ibarat iklan Meikarta yang berakhir tragis dan nestapa. Negara kita dibentuk oleh para Founding Fathers bukan semacam VOC, kongsi dagang Belanda, yang hanya menghadirkan kemewahan bagi para elitenya tetapi untuk menghadirkan keadilan sosial bagi rakyat Indonedia