Lahan hutan di wilayah Kalimantan terus berkurang karena dijadikan lahan prkebunan kelapa sawit oleh korporasi

Sengaja Dibakar, Dayak Segera Rebut Lahan Sawit Koorporasi

Loading

JAKARTA (Independensi.com)  – Komunitas Suku Dayak menyebut segera merebut lahan kelapa sawit milik koorporasi (investor) di semua wilayah di Kalimantan yang sengaja dibakar selama musim kemarau tahun 2019.

“Kami segera rebut melalui ritual Adat Dayak, untuk selanjutnya menjadi milik komunitas adat Dayak, demi keadilan dan kepastian hukum. Jangan main-main dengan orang Dayak,” ancam Sopian, Ketua Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN) Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Minggu, 1 Desember 2019.

Sopian mengemukakan hal itu menanggapi penyidik Polisi Republik Indonesia (Polri) tidak berani menetapkan pemilik koorporasi sebagai tersangka Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) selama musim kemarau tahun 2019.

Saat berdamaan, Polri hanya berani menjadikan petani peladang Dayak hampir di semua provinsi di Kalimantan sebagai tersangka Karhutla.

Di antaranya Polri terbukti melakukan kriminalisasi, karena telah menangkap 6 peladang Dayak yang membuka lahan ladang dengan sistem bakar, dan sekarang kasusnya tengah bergulir di Pengadilan Negeri Sintang.

Padahal, pasal 69 ayat (2) Undangel-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), menyebutkan, buka lahan dengan sistem bakar diperbolehkan sesuai kearifan lokal dengan luas maksimal 2 (dua) hektar.

“Alasan belum ada tersangka koorporasi karena harus didasarkan uji forensik, sama sekali tidak masuk akal. Karena sudah jelas sekali kebakaran terjadi di lokasi kebun sawit milik koorporasi. Kalau petani Dayak langsung ditersangkakan kalau lahan dibuka dengan sustem bakar di areal ladang milik sendiri, maka seharusnya pemilik koorporasi langsung jadi tersangka saat terbukti terjadi kebakaran di lahan kebun miliknya,” demikian Sopian.

“Menurut logika sederhana saja, Polri belum menetapkan tersangka kebakaran di lahan kebun kelapa sawit di lokasi kebun milik koorporasi, itu, berarti lahan bekas kebakaran itu, tidak bertuan, tidak ada pemiliknya, sehingga Suku Dayak berhak merebut kembali lahan dimaksud dari tangan koorporasi, menjadi milik masyarakat Adat Dayak setempat,” tambah Sopian.

Diungkapkan Sopian, masyarakat Suku Dayak mendukung kepastian berusaha para investor, tapi tidak boleh di dalam implementasinya merugikan eksistensi masyarakat adat Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo.

Hak-hak adat orang Dayak, ujar Sopian, sudah digariskan di dalam Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.

Di antaranya, Dayak berhak mempertahankan hak atas tanah adat, berhak pertahankan identitas budaya hingga berhak menentukan haluan dan atau sikap politiknya.

Diungkapkan Sopian, Pemerintah Republik Indonesia dan Polri hanya menjadikan orang Dayak obyek kriminalisasi setiap terjadi Karhutla pada musim kemarau.

Pahadal orang Dayak paling pantang bakar hutan, karena hutan sebagai sumber dan simbol peradaban. Bakar hutan bagi orang Dayak, sama saja dengan menghancurkan sistem peradaban sendiri.

“Dayak tidak mengenal ladang berpindah, melainkan sistem rotasi atau gilir balik, dan dari seluruh tahapan buka lahan ladang ada ritualisasinya,” ungkap Sopian. (Aju)