Jakarta (Independensi.com)
Upaya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) jadi wadah tunggal Advokat dan satu-satunya organisasi advokat yang diakui di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat akhirnya kandas.
Majelis hakim Mahkamah Kontitusi (MK) diketuai Anwar Usman dalam putusannya Nomor 35/PUU-XVII/2018, Kamis (28/11/2019) dengan tegas menolak uji materi dari pemohon anggota Peradi agar Peradi menjadi wadah tunggal terkait prasa “Organisasi Advokat”.
Pengamat hukum Suhardi Somomoeljono menilai putusan hakim MK sudah tepat, mengingat persoalan organisasi advokat menyangkut domain kasus kongkrit yang bukan wewenang MK.
“Hakim MK rupanya cukup cerdas dan konstitusional dalam menjatuhkan putusannya dan ini wajib dihormati para advokat dan dan seluruh pengurus organisasi advokat, “ kata Suhardi kepada Independensi.com, Senin (01/12/2019).
Dia pun menegaskan persoalan organisasi advokat hanya dapat diselesaikan oleh advokat sendiri dengan mengacu Kode Etik Advokat yang telah diakui sah dan berlaku oleh UU Advokat.
“Memang putusan MK tidak menjelaskan cara menyelesaikan kasus kongkrit yang dimaksud. Termasuk jika diselesaikan melalui gugatan di Pengadilan Negeri juga tidak bisa menemukan solusi yang tepat,” katanya.
Begitupun, ucap Suhardi, jika diselesaikan melalui legislatif. “Tentunya juga tidak tepat karena Undang-Undang Advokat masih sah dan berlaku sebagai hukum positif,” katanya.
Bahkan seluruh organisasi advokat, tutur Suhardi, baik yang lahir sebelum dan sesudah UU Advokat semuanya mengaku telah menjalankan perintah UU Adokat.
“Jika benar siapa yang memerintahkan mereka dan apa bukti mereka punya kewenangan selaku regulator dan operator untuk menjalankan perintah UU Advokat,” ucap mantan Ketua Umum Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) ini.
Dikatakannya juga apakah mungkin setiap advokat secara privat-privat datang ke notaris berbondong-bondong membuat organisasi advokat . “Kemudian minta pengesahan pemerintah dan setelah itu menjustifikasi menjalankan perintah UU Advokat,” katanya.
Ditegaskan Suhardi jika hal itu tidak segera dihentikan maka jumlah organisasi advokat akan sangat banyak sekali dan merasa bisa berperan sebagai regulator dan operator yang berwenang menjalankan perintah UU Advokat.
Solusinya, kata Suhardi, tidak boleh lepas dari asas legalistik yaitu pada Kode Etik dan UU Advokat dan berpulang kepada advokat sendiri. “Apa punya kemampuan atau tidak mengelola dirinya yang oleh kode etik dan UU Advokat frasa organisasi advokat telah secara jelas diatur dan tidak perlu ditimbulkan tafsir yang bersifat meluas.”
Karena dalam keadaan seperti itu, tuturnya, tidak mengherankan jika pemerintah melalui Kementerian Pendidikan mempersiapkan pengambil alihan peran organisasi advokat dalam penyelenggaraan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA).(MUJ)