Ilustrasi/istimewa

Mekanisme Suksesi Secara Konstitusional

Loading

Oleh : Bachtiar Sitanggang

KETIKA Letjen TB Simatupang berbaring di rumah Sakit PGI Cikini Desember 1989, teman-temannya secara bergantian datang berkunjung (antara lain Nasution, Frans Seda, dan Sumitro Djojohadikusumo).
Presiden Soeharto didampingi Mensesneg Moerdiono juga datang. Entah apa yang menjadi pembicaraan mereka.

Namun beberapa hari sebelum Pak Sim meninggal pada 1 Januari 1990, ia sempat mendiktekan tulisannya untuk dimuat di koran sore Suara Pembaruan.

Semacam wanti-wanti kepada Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Ia nasihati supaya Orde Baru (maksudnya, agaknya Presiden Soeharto yang baru mengunjunginya) mawas diri dan tidak mengulangi kesalahan fatal Orde Lama (pimpinan Presiden Soekarno, 1960-1965) yang terlalu memusatkan kekuasaan dan tidak mengatur suksesi kepemimpinan secara konstitusional.

Uraian di atas dikutip dari buku “Pemantauan dan Pemahaman 100, Tulisan Pilihan 1973-2013, Sabam P. Siagian”. Tulisan nomor 62 dengan judul “Tahi Bonar Simatupang Pahlawan Nasional” halaman 439-447, Penerbit Buku Kompas, 2015.
Sabam menambahkan, “Andaikata Soeharto mendengar kata-kata bijak seniornya itu dan mengambil Keputusan pada tahun 1993 tidak lagi terus sebagai presiden, serta mengatur suksesi secara konstitusional, sejarah Indonesia mungkin sekali tidak akan separah seperti yang kita alami. Proses reformasi dapat berlangsung lebih bertahap”, tutupnya.

Setelah reformasi tulisan Sabam Siagian ini menjadi penting saat ini menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029 yang akan dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024 yang akan datang.

Menghadapi Pilpres yad perlu dijawab dua pertanyaan, apakah pilpres tersebut suksesi dan kalau “ya”, apakah suksesi tersebut secara konstitusional? Dan kalau jawabnya “ya” Sejarah Indonesia akan dengan mudah mencapai Indonesia emas, akan tetapi kalau jawabnya “tidak” bagaimana Sejarah Indonesia berikutnya.

Tulisan TB Simatupang yang disebut Sabam P. Siagian tersebut, dimuat di harian umum Suara Pembaruan dengan judul :”Memasuki Dasawarsa Terakhir Sebelum Abad ke-21” Sabtu, tanggal 30 Desember 1989, dua hari sebelum Pak Sim wafat tanggal 1 Januari 1990.

Dalam tulisan tersebut, Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP 1950-1953) Dr. TB Simatupang mengingatkan Orde Baru agar tidak mengulangi kegagalan total Orde Lama sebagai berikut: “ Oleh sebab itu kita bertekad tidak akan gagal seperti Orde Lama, tetapi kita akan tetap mencapai sukses dan mengembangkan Orde Baru itu.

Justru untuk itulah kita bertekad menarik Pelajaran pokok dari sebab-sebab kegagalan Orde Lama.
Orde Lama telah gagal pertama-tama oleh karena tidak rendah hati untuk mengadakan koreksi dan pembaharuan dalam dirinya.

Dari pengalaman itu kita belajar, bahwa Orde Baru juga akan dapat mengalami kegagalan total, bila ia tidak menjadikan dirinya orde yang terus-menerus mengoreksi dan memperbaharui dirinya.

Kedua, Orde Lama telah gagal oleh karena ketidak rendahan hati untuk mengembangkan mekanisme pengawasan terhadap dirinya sendiri.

Ketiga, Orde Lama juga telah gagal oleh karena ketidak rendahan hati untuk mengembangkan mekanisme suksesi terhadap dirinya sendiri”.

Mengoreksi diri ditambahkan oleh TB Simatupang, “Dengan menarik Pelajaran dari ketiga pengalaman itu maka Orde Baru diharapkan tidak akan mengulangi pengalaman dari Orde Lama itu, apabila ia terus-menerus menjadikan dirinya Orde yang memperbaharui dan mengoreksi dirinya, orde yang mengembangkan mekanisme pengawasan terhadap dirinya dan orde yang mengembangkan mekanisme suksesi yang efektif terhadap dirinya sendiri.

Pengembangan itulah yang telah menjadi bagian dari pendapat umum yang beredar sekarang ini, dan itulah yang akan kita terapkan.

Oleh sebab itulah kita gigih untuk mengembangkan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila Menuju Tinggal Landas, agar Orde Baru yang telah dibeli dengan harga yang begitu mahal itu tidak akan gagal tetapi terus membawa kita lebih lanjut kepada tujuan Orde Baru itu”, demikian TB Simatupang.

Tidak akan begitu sulit mencerna apa yang tersirat dalam pesan Pak Sim tersebut. Bagi generasi yang menyaksikan peralihan Orde Lama ke Orde Baru, dan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, dan bagaimana proses tersebut tergantung pada pengoreksian dan pembaharuan diri dari pemegang mandat rakyat.

Apakah pemegang kekuasaan mengembangkan pengawasan terhadap dirinya atau sebaliknya aji mumpung dan berbuat di luar aturan kepatutan? Apakah pemegang tampuk pemerintahan dengan rendah hati melakukan mekanisme suksesi secara konstitusional?

Apa yang dikemukakan oleh Sabam Siagian, tidak akan kita alami dalam peristiwa peralihan Orde Baru ke Reformasi seandainya apa yang dikemukakan TB Simatupang diperhatikan Presiden Soeharto tahun 1993.

Menatap ke masa depan dengan mengacu pada proses Pilpres 2024-2029 menjadi pertanyaan, apakah proses suksesi yang sedang berjalan dengan tiga pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hasil dari mekanisme suksesi secara konstitusional?

Secara peraturan perundang-undangan yang berlaku juridisformal, tidak boleh dibantah bahwa proses pencalonan semua melalui ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa proses di Mahkamah Konstitusi yang memberikan jalan bagi salah seorang calon Wakil Presiden sehingga dikenai label “cacat etika”, menjadi pertanyaan apakah rentetan dan atau proses pencalonan itu sudah dapat dianggap sebagai mekanisme suksesi secara konstitusional?

Sejarah akan mencatatnya.
Pekerjaan besar dan harapan masyarakat Indonesia saat ini bagaimana agar proses pemungutan suara itu dapat berjalan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber-jurdil), tidak diganggu dan dinodai oleh berbagai kecurangan baik kecurangan melalui intervensi kekuasaan atas kebijakan dan proses maupun kecurangan melalui politik uang dengan transaksi, jual beli suara dalam pelaksanaan pemilu. Selamat menggunakan hak pilih.***

Bachtiar Sitanggang, penulis adalah
wartawan senior dan advokat.