JAKARTA (Independensi.com) – Institut Analisis Kebijakan Konflik atau Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), merilis aktifitas Islam aliran salafi di kalangan penduduk mayoritas beragama Islam di Mindanao, Filipina Selatan. Mindanao merupakan sebuah wilayah yang berhadapan laut langsung dengan Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.
Mindanao atau Maluku Besar adalah pulau terbesar kedua di Filipina dan salah satu dari tiga kelompok pulau utama bersama dengan Luzon dan Visayas. Mindanao, terletak di bagian selatan Filipina, adalah kawasan hunian bersejarah bagi mayoritas kaum Muslim dan Suku Moro serta etnis lainnya seperti Marano, Tausang, Budis, Bajao dan Sangir.
Di Indonesia, keberadaan Islam Salafi, diklaim sebagai sebuah ajaran pemurnian doktrin Agama Islam, tapi di kalangan tertentu masih menjadi sebuah perdebatan panjang.
Dalam rilis Rabu petang, 8 Januari 2020, peneliti IPAC, Nava Nuraniyah, berjudul: “The Growing Influensce of Salafism in Muslim Mindanao” atau “Pengaruh Tumbuhnya Salafisme di Muslim Mindanao”, menyebutkan, aliran puritan Islam yang dikenal sebagai Salafisme membuat terobosan besar di Daerah Otonomi Bangsamoro di Muslim Mindanao atau Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM) di Filipina selatan.
Menurut Nava Niraniyah, menggeliatnya akfitas salafi di Mindanao, dapat mendorong konservatisme sosial yang lebih besar di bidang-bidang seperti pendidikan, kebebasan beragama dan hak-hak perempuan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata puritan, adalah orang yang hidup saleh dan yang menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa.
Institut Analisis Kebijakan Konflik atau Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), meneliti bagaimana Salafisme – yang melihat Islam dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan tiga generasi yang mengikutinya sebagai model yang semua Muslim harus mengikuti – telah berakar di Filipina, tetapi dengan cara yang telah menghasilkan banyak varian, beberapa lebih toleran daripada yang lain.
“Salafisme sering digambarkan sebagai sebuah doktrin yang lebih cocok untuk abad ke-7 daripada abad ke-21, tetapi sekarang ini memberikan daya tarik yang kuat kepada Muslim yang lebih muda,” kata Nava Nuraniyah.
“Ini adalah para pengkhotbah selebritas Islam yang sedang tren di YouTube dan Facebook. Siswa dengan ponsel pintar dan akses Internet menjadi lebih berpengetahuan, lebih jeli dan lebih konservatif daripada orang tua mereka.”
Sementara Internet dan media sosial telah menghasilkan dukungan untuk Salafisme dari bawah ke atas, birokrasi agama BARMM juga menjadi semakin didominasi oleh orang-orang Salafi ketika para ulama yang dilatih Saudi mengisi barisannya.
Kekhawatirannya bukanlah bahwa pengaruh Saudi akan menghasilkan ekstremisme kekerasan, karena Front Pembebasan Islam Moro atau Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang sekarang mengendalikan BARMM, telah membuktikan kredensial anti-terorisnya berkali-kali sejak mengusir pejuang asing dari wilayahnya pada tahun 2005.
“Itu lebih tepatnya bahwa visi pluralis masyarakat inklusif terbuka yang diabadikan dalam Undang-Undang Organik Bangsamoro yang menetapkan BARMM dapat menghadapi tantangan dari para sarjana muda yang lebih doktriner,” ujar Nava Nuraniyah.
Ketegangan meningkat antara Salafi dan kelompok-kelompok Muslim lain yang mereka anggap tidak cukup Islami, termasuk tradisionalis Sunni, praktisi semacam Islam tradisional, anggota Tabligh Jamaat dan kelompok yang diinspirasi oleh sufi Turki Risale-i-Nur. Populasi kecil Syiah juga menjadi sasaran fitnah oleh Salafi.
Menurut IPAC, beberapa kelompok Salafi mendesak untuk fatwa yang melarang sekte Islam minoritas. Laporan tersebut mencatat bahwa persaingan di antara tiga donor Timur Tengah – Arab Saudi, Iran dan Turki – untuk pengaruh budaya dan ideologis telah memupuk beberapa divisi intra-Islam ini.
“Dalam banyak hal, perjuangan politik MILF bertindak sebagai pengaruh moderat terhadap agama, karena tujuan mendapatkan kekuasaan lebih diutamakan daripada mendefinisikan sifat Islam yang tepat dalam negara masa depan,” kata Sidney Jones, Direktur IPAC.
“Pertumbuhan Salafisme dapat memaksa para pejabat BARMM untuk mengambil langkah-langkah yang lebih proaktif untuk memastikan perlindungan hak-hak minoritas dan kesetaraan gender.”
Di Indonesia, keberadaan Islam salafi, menjadi sebuah perdebatan panjang di kalangan internal masyarakat Islam. Dr Arrazy Hasyim, MA, 2017, “Teologi Kaum Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi”, Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, menyebutkan, kaum salafi, sebagai satu aliran yang berkembang pesat di dunia Islam, memiliki runtutan ajaran akidah yang bersambung hingga para ulama terdahulu.
Pemahaman tekstual dalam membaca sumber Islam, disebutkan menjadi akar dari segala model puritanisme.
Arrazy Hasyim, mengupas tiga istilah yang kerap dialamatkan kepada salafi: kaum puritan, fundamentalis, dan radikal.
Dari tiga istilah itu, kaum salafi terjebak dalam “ruang nostalgia” pemurnian ajaran Islam berdasarkan teks Al Quran dan Hadis, serta kecenderungan arabisasi – karena berpegangan kepada makna teks. Sedangkan perihal radikal, dipandang tidak terkait dengan fenomena akidah yang dianut, melainkan terkait aksi organisasi yang terkait dengan kaum salafi.
Arrazy Hasyim, menelusuri kaitan salafi dengan pemahaman akidah, sejarah persebaran, kekuasaan dan politik, serta pendidikan. Akidah, meskipun adalah sebuah konsep kebertuhanan yang abstrak, memiliki pengaruh yang nyata dalam memahami model beragama Salafi.
Kaum salafi, menurut Arrazy Hasyim, merujuk model beragama mereka pada setidaknya tiga generasi pertama pasca Rasulullah SAW. Kemunculan ini lebih bersifat akidah dibandingkan persoalan fikih, meskipun tokoh utama dari aliran ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pendiri mazhab Hanbali.
Kala itu, dunia Islam sedang berada dalam kuasa Dinasti Abbasiyah, dan paham rasionalis yang diwakili Mutazilah menjadi dominan.
Karena dipandang sebagai akidah resmi negara, agaknya orang-orang rasionalis ini mendapat pertentangan keras dari kaum ahli hadits.
Negara memaksakan ajaran tersebut, dan para ulama yang bertentangan dengan keinginan negara mendapat represi. Salah satu yang merasakannya adalah Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Hanbal adalah ahli hadits, yang menjadi rujukan para ulama setelahnya. Kecenderungan ahli hadits kala itu adalah antipati terhadap kaum rasionalis. Peran persebaran mula akidah kaum salafi ini mulai mencuat dari murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal.
Buku ini mencatat daerah persebaran yang khas dari ajaran Ahmad bin Hanbal, yaitu di Baghdad, Khurasan, Damaskus, serta Saudi Arabia.
Tokoh-tokoh kunci seperti Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah (w. 751 H) adalah rujukan dalam masalah akidah kaum salafi, meskipun masih banyak lainnya yang melakukan pembakuan maupun penyusunan risalah di bidang akidah.
Setidaknya doktrin utama dalam kalangan salafi ini, terletak pada doktrin trilogi tauhid yang disistematisasi oleh Ibnu Taimiyah: tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid al asma’ wa sifat. Belum lagi perdebatan mengenai hal-hal terkait kedudukan Tuhan, sifat dan perbuatan Tuhan, yang akan banyak perbedaan dengan aliran akidah lainnya.
Kaum salafi, sebagaimana mereka mengikuti Ibnu Taimiyah, menjadikan hal tersebut sebagai kaidah teologis mereka. Selain itu, akibat salah satunya kecenderungan tekstual mereka, perilaku celaan dan mengkafirkan menjadi hal yang mudah ditemui pada model ajaran salafi.
Persebaran di Saudi Arabia, dipunggawai oleh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri aliran Wahabi. Karena itulah kaum Wahabi, sangat diidentikkan – juga mendaku – sebagai orang-orang salafi. Jejaring salafi dari Saudi Arabia inilah yang banyak berpengaruh ke Indonesia.
Karya-karya ulama Wahabi seperti Syekh Ibnu Utsaimin dan Syekh Bin Baz banyak diterjemahkan di Indonesia, serta beberapa pesantren modern mengkaji karya Shalih Fauzan dalam bidang akidah. Begitu pula ada beberapa institusi pendidikan yang berkecenderungan menganut ajaran salafi.
Arrazy Hasyim dalam bukunya, mencantumkan KH. Ali Mustafa Yaqub, salah satu ulama terkemuka Indonesia dalam ilmu hadits, memiliki keterkaitan dengan ajaran salafi di Saudi Arabia, terutama dari guru-guru beliau.
Namun, karena memiliki latar belakang kepesantrenan dan ke-NU-an yang kuat, Kiai Ali bersikap cenderung moderat, dan menyerukan titik temu antara kaum Wahabi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam masalah akidah.
Patut dicermati bahwa selain ada pola yang runtut dalam persebaran ajaran salafi lewat pengajaran, ada orang seperti Nashiruddin al Albani, salah satu ulama kontemporer rujukan kaum salafi dalam bidang hadits, sebagai pengkaji otodidak dalam hadits dan teologi.
Karya-karyanya banyak digunakan dalam pemahaman “ustadz sunnah” di Indonesia, dan ia mengaku tidak bermazhab berdasarkan penelusuran mandirinya dalam hadits dan teologi. Tapi dalam beberapa poin penting, ternyata al Albani juga kritis pada penyebar akidah salaf.
Menurut Arrazy Hasyim, kaum salafi, terbagi menjadi kaum salafi murni, yang fokus pada ajaran akidah dan fikih, serta salafi campuran yang jihadi atau haraki, yang memang terpengaruh dalam teologi dan syariat kaum salafi, namun bergerak dalam bentuk politik, bahkan aksi-aksi ekstrem bersenjata.
Dalam bukunya, Arrazy Hasyim, memberikan informasi informasi penting terkait bagaimana akidah kaum salafi memiliki sejarah panjang di kalangan umat Islam.
Represi maupun dukungan penguasa terkait erat dengan pasang surutnya persebaran ajaran akidah mereka. Selain itu karena juga soal ajaran fikih, kaum salafi cenderung menganut model beragama mazhab Hanbali.
Selain itu, fenomena para pemuka agama dan penceramah yang naik daun saat ini yang sangat mengapresiasi syariah Islam secara formal tak lepas dari model persebaran salafi via jalur Saudi Arabia.
Cerminan institusi media massa, radio, media daring, serta gerak di lembaga-lembaga pendidikan, turut menyuburkan merebaknya salafi di Indonesia.
Jika memang model akidah ini dipandang mengkhawatirkan, maka untuk bersikap berimbang atas ajaran salafi, buku tulisan Arrazy Hasyim, ini, bisa menjadi salah satu rujukan ilmiah. (Aju)