DR TB Simatupang /foto: istimewa

Mengenang 100 Tahun Pak Sim, Jenderal Mumpuni

Loading

Independensi.com – DOKTOR TAHI BONAR SIMATUPANG, jenderal pemikir dan nasionalis sejati, lahir di Sidikalang, 28 Januari 1920 dan wafat di Jakarta 1 Januari 1990, adalah putra dari ayah Sutan Mangaradja Soadoan Simatupang dan Ibu Mina Boru Sibuea.

Dalam usia 29 tahun tanggal 29 Januari 1950, TB Simatupang, biasa disapa Pak Sim, diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) oleh Presiden Soekarno menggantikan Jenderal Sudirman. KSAP merupakan atasan dari KSAD, KSAU dan KSAL. Kemudian tanggal 4 November 1953, jabatan KSAP ditiadakan oleh Presiden Soekarno sendiri, sehingga Jenderal TB Simatupang seakan diberhentikan secara tak langsung oleh Presiden.

Tidak jelas apakah persoalan seragam atau ada kaitannya dengan Peristiwa 17 Oktober 1952, di mana beberapa perwira militer mengarahkan moncong meriam ke Istana dan diduga Pak Sim “membela” rekan-rekannya, sehingga Bung Karno mengeluarkan kebijakan itu.

Namun, Pak Sim pernah mengemukakan bahwa beberapa perwira militer yang mengumpulkan tanda tangan yang meminta Presiden Soekarno mengganti Kol. H Nasution, dan Pak Sim sebagai KSAP, kaget, dan menemui Presiden bersama KSAD AH Nasution dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkuwubono IX. Dengan penjelasan panjang lebar Pak Sim menyampaikan ketidaksetujuannya tentang penggantian Kolonel AH Nasution sebagai KSAD lalu Presiden Soekarno menjawab dengan nada marah: “Saya sudah bilang kamu mempunyai kemampuan untuk memojokkan seseorang”.

Menurut banyak cerita, ketika Pak Sim keluar ruangan dia membanting pintu. Tetapi, menurut Pak Sim, dia tidak membanting pintu, mungkin angin kencang waktu itu, katanya sambil tertawa kalau ada yang mempertanyakan hal tersebut.

Akan tetapi, Pak Sim sendiri tidak mempersoalkan penghapusan jabatan KSAP dan selama kepemimpinan Presiden Soekarno dia berdiam diri, bahkan menggunakan waktu luangnya untuk gereja dan kemanusiaan, tidak hanya di Indonesia bahkan menjadi Presiden Gereja-gereja se-Dunia.

Jenderal TB Simatupang memilih pensiun pada tahun 1959 (dalam usia 39 tahun) dan setelah itu dia menolak bertemu dengan Bung Karno, meski Presiden berkali-kai mengutus orang menyampaikan pesan/undangan untuk bertemu.

Ketulusannya untuk berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak terganggu walau dia memperoleh perlakuan di luar prosedur. Kemampuan dan pengaruhnya di TNI tidak disalahgunakannya untuk mengobati sakit hatinya.

Dasar-dasar kemiliteran dari bekas jajahan ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sampai menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tentara negara merdeka telah diletakkanya dengan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Dia mengabdi tanpa pamrih.

Jenderal TB Simatupang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2013.

Keteladanan Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta dan KSAP Jenderal TB Simatupang yang menanggalkan jabatannya karena perbedaan pendapat dengan Bung Karno perlu dijadikan pelajaran bagi generasi penerus, bahwa NKRI adalah di atas segalanya dan apa sumbangsihnya untuk negara dan bangsa tidak dijadikan alasan untuk bertindak negatif.

Sebagai seorang pemikir yang cerdas, Pak Sim menggunakan berkat Tuhan yang dia miliki untuk nusa dan bangsanya, negara dan pemerintahnya, gereja dan masyarakatnya.

Setelah ada waktu pada Orde Baru, sebagai pemikir tidak hanya di bidang kemiliteran, juga negara dan bangsa serta masyarakat, Pak Sim mengeluarkan pokok pikirannya tentang strategi pembangunan, yaitu Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila. Pembangunan harus dilaksanakan dengan mengamalkan sila-sila yang tercantum dalam Pancasila untuk meningkatkan harkat dan martabat seluruh masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

Dalam Ibadah Syukur 100 Tahun TB Simatupang yang diselenggarakan Selasa, 28 Januari 2020 di Graha Oikumene Gedung PGI, Salemba, Pdt Arti Sembiring yang memimpin Ibadah menyebutkan bahwa Pak Sim pernah menjadi Penatua di Gereka Kristen Indonesia (GKI) Kwitang, dan selama memangku tugas Penatua, TB Simatupang keluar-masuk gang mengunjungi jemaatnya termasuk ke rumah-rumah tahanan dan penjara. Di kala berkunjung ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Jl. Siliwangi, Penatua TB Simatupang bertemu dengan Kolonel Maludin Simbolon.

Pdt. Arti Sembiring yang kelihatannya mengikuti gerak langkah TB Simatupang sehingga mampu menguraikan panjang lebar.

Pendeta Dr. SAE Nababan saat memberikan kesaksian dalam Ibadah itu mengatakan, hampir semua tentang Pak Sim dikemukakan oleh Pak Pendeta.

SAE Nababan menggarisbawahi bahwa selama 25 tahun bersama-sama di PGI (dahulu DGI), Pak Sim adalah pribadi yang rendah hati dan sederhana, bahkan disebut, kalau kita lihat Presiden Joko Widodo yang hidup sederhana, masih ada yang lebih sederhana yaitu Bapak TB Simatupang.

Seusai Ibadah Syukur, Prof. Dr. Emil Salim, mantan menteri di era Orde Baru, juga memberikan kesaksian tentang TB Simatupang, sebagai pemikir yang cerdas, dan karena kecerdasannya, Pak Sim, katanya, pernah diusir gurunya, karena Pak Sim melawan sang guru berdebat. Dan karena kesan guru menyuruhnya ke luar itu menunjukkan bahwa Pak Sim adalah orang yang cerdas dan konsisten. Dan hal itu juga terjadi dengan Bung Karno yang menyebabkan jabatan KSAP ditiadakan. Pak Sim, perjuangan dan hasil karyamu abadi. (Bch)