Lampung Barat (Independensi.com) – Wakil Ketua DPRD Lampung Barat (Lambar) Sutikno berjanji segera menindak lanjuti pengaduan tokoh masyarakat menyangkut penjual Kantor Desa dan Tanah Bengkok yang dilakukan mantan Kepala Desa priode 1977-1999 Damiri Ibrahim kepada pihak swasta.
Hal itu disampaikannya dihadapan sejumlah tokoh masyarakat Desa Tanjung Raya, Kecamatan Sukau, Lampung Barat di ruang Komisi I DPRD setempat yang juga dihadiri anggota dari Komisi I, Anggi Romando, Sugeng, Mawardi dan Sarjono, pada Senin (10/2/2020).
“Saya meminta agar masyarakat bersabar, jangan membuat anarkis. Sebab, jika anarkis tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa jadi menambah kisruh suasana dan berujung Pidana”, ujarnya sambil memberi wejangan kepada sejumlah masyarakat yang hadir.
Menurutnya, masalah penjualan aset daerah, berupa tanah dan bangunan kantor desa dan tanah bengkok akan mudah dilacak. Apalagi, jika aset itu tercatat di register Pemda.
Pihaknya juga meminta masyarakat untuk sabar, karena masalah ini memerlukan waktu. Dan dia berjanji dalam waktu dekat pihak DPRD akan memanggil pihak -pihak terkait. Baik, BPN, Camat Sukau, Peratin (Kades), mantan Kades Damiri, bagian kearsipan Pemda dan mengundang tokoh-tokoh masyarakat.
Dalam kesempatan lain, Solimi (68) yang mewakili masyarakat meminta pihak DPRD setempat serius menangani kasus ini. Sebab, masalah ini sudah berlarut-larut. Bahkan, sejak tahun 2012 sudah berulangkali disampaikan ke pihak pemerintah, namun tidak ada penyelesaian.
“Nah kalau tidak ada penyelesaian, dikhawatirkan ada masyarakat yang bertindak diluar jalur hukum dan akibatnya kita semua rugi. Nama Lampung Barat pun bisa tercemar, hanya disebabkan orang satu”, ujar Solimi.
Solimi berharap, pengaduan ini ditanggapi secara serius, serta dapat diselesaikan secara baik. Bahkan ia tidak bisa menjamin masyarakat tidak berbuat anarkis. “Selama ini, masyarakat masih sabar, karena kantor desa masih dijadikan tempat tinggal mantan kades. Sedang sekarang sudah dijual”, tambahnya.
Lain lagi dengan pengakuan Wahdi (66) yang juga hadir dalam kesempatan itu. Wahdi menceritakan proses pembuatan Balai Desa itu, di mana dilakukan secara bergotongroyong sejak mulai meratakan tanah, sampai membuat kantornya.
“Jadi jelas kantor balai desa itu milik masyarakat. Sebab, kalau milik pribadi bapak Damiri, kami tidak mungkin mau bergotong royong secara rutin”,ujarnya.
Dikatakan, pihaknya merasa heran saat sertijab (serah terima jabatan) Kades pada tahun 1999 dari Damiri Ibrohim ke Supardi. Pada saat itu, tidak ada memori serah terima jabatan. Baik penyerahan aset desa berupa tanah bengkok, maupun bangunan kantor.
Hal senada disampaikan, Supardi yang juga mantan Kades priode 1999-2004, dikatakan, pihaknya membenarkan saat serah terima jabatan tidak ada aset desa yang diserahkan. Baik berupa kantor, maupun tanah bengkok.
“Jangankan kantor atau tanah bengkok, alat tulis berupa kertas pun saya beli sendiri. Dan kantornya saya pindahkan ke rumah pribadi saya”,tegasnya.
Dalam kesempatan lain, Damiri Ibrohim menjelaskan melalui surat tertulis mengakui, tanah dan bangunan yang berlokasi di jalan lintas Liwa-Ranau merupakan tanah balai desa.
Dijelaskan, riwayat tanah berasal dari Dalam Bustami seorang tokoh adat. Pemilik tanah meminta tanah yang akan dibangun kantor desa itu bisa digunakan masyarakat dengan syarat tukar-menukar.
“Kamipun mendapat tanah 2 kapling sebagai tukarnya yang berlokasi di Pelita Raya dengan ukuran 10 x 15 per kapling. Jadi 2kapling 2 x150 : 300 meter persegi”,ungkap Dami. Namun pihaknya tidak menjelaskan, alasan penjualan kantor desa itu. (Zakoni Tb)