Oleh Aju
JAKARTA (Independensi.com) – Masyarakat Suku Dayak dengan sikap rendah hati, dalam takaran tertentu idealnya berterimakasih kepada Nasuri Adam, warga Desa Sebadu, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat.
Lelaki asal Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak, ini, mendadak terkenal, namanya viral di media sosial, setelah postingan di akun facebook-nya, Senin siang, 23 Maret 2020.
Bunyi postingan Nasuri Adam, “Landak berduka sekarang diguyur hujan deras khusus kami di daerah Mandor Kec Mandor “Balalak” pilu rasanya hati ini masih ada org kita Dayak yg percaya ritual animismis yang meminta pertolongan kepada “batu keramat”, kepanyugu dan kak kadiaman” padahal ada Tuhan yang masa kuasa yaitu TUHAN YESUS yg bisa menolong, melindungi, dan menyelamatkandari segala virus apapu..contohnya orang israel tidak ada kebinasaan karena tanda darah di ambang pintu…”
Postingan Nasuri Adam, menanggapi inisiatif masyarakat Suku Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak, menggelar ritual Balala’ Tamakng (atau nama dengan sebutan lainnya), Senin pagi, 23 Maret 2020.
Tujuan digelarnya ritual sesuai religi Dayak Kanayatn, ini, agar terhindar dari penularan Corona Virus Disease-19 (Covid-19), sebagai bentuk respons positif masyarakat Dayak.
Respon positif masyarakat Dayak Kanayatn, setelah Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengumumkan Status Darurat Covid-19 sejak 29 Februari 2020 sampai 29 Mei 2020.
Ritual Balala’ Tamakng, bertujuan agar masyarakat terbebas dari penularan Covid-19. Usai ritual, masyarakat Suku Dayak Kanayatn mengurung diri, tidak berpergian ke luar rumah, sesuai anjuran Pemerintah Republik Indonesia, agar terhindar dari penularan Covid-19.
Istilah yang keren Balala’ Tamakng, adalah lockdown atau tetap tinggal di rumah, tidak boleh melakukan aktifitas di luar.
Akan tetapi, ritual adat Dayak Kanayatn, direspon negatif oleh Nasuri Adam, melalui postingan di akun facebooknya, Senin siang, 23 Maret 2020, sehingga mendapat reaksi dari berbagai lapisan masyarakat Suku Dayak.
Nasuri Adam, kemudian meminta maaf. “Saya secara pribadi minta maaf bukannya saya menghina atau tidak setuju balalak, cuma sebagai hamba Tuhan saya mengungkapkan perasaan saya saja sebagai hamba Tuhan saya merasa gagal memberi pemahaman yang benar tentang Tuhan itulah tujuan mulia saya,” demikian Nasuri Adam dalam akun facebook-nya pukul 16.25 WIB, Senin, 23 Maret 2020.
Kendati sudah minta maaf, tapi kemarahan warga Dayak meluas, sehingga Polisi Sektor Mandor, mengambil inisiatif, melakukan mediasi. Keputusannya, Nasuri Adam dihukum adat Dayak di Kota Mandor, Ibu Kota Kecamatan Mandor, Selasa siang, 24 Maret 2020. Dalam kesempatan itu, Nasuri Adam, sekaligus meminta maaf untuk kesekian kalinnya.
Ajang introspeksi
Ada beberapa catan sebagai introspeksi diri bagi masyarakat Suku Dayak, melalui postingan akun facebook Nasuri Adam. Karena Nasuri Adam, masih mengaku sebagai orang Dayak, tudingan Balala’ Tamakng sebagai praktik animisme, maka ada tujuh aspek yang mesti menjadi catatan.
Pertama, pemahaman kita akan filsafat budaya dan anthropologi budaya, mesti diperkaya kembali. Karena masalah animisme, sudah tidak dikenal lagi sejak abad ke-13, setelah Filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274) dengan teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. (Bandingkan: Doera, Isak: 2002).
Kedua, postingan menuding orang Dayak meminta pertolongan kepada “batu keramat”, ke panyugu, merupakan pengabaian atas pemahaman anthropologi budaya. Sementara di dalam teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, sejak abad ke-13 orang Dayak memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, melalui sistem religinya. Tidak ada praktik animisme di dalam Kebudayaan Dayak.
Tempat keramat atau panyugu bukan tempat dan atau praktik menyembah berhala sebagaimana digambarkan di dalam aninimisme. Panyugu (tempat menggelar ritual adat di dalam istilah Dayak Kanayatn), adalah media untuk berkomunikasi kepada Tuhan. Tempat keramat atau panyugu bukan disembah, tapi hanya media untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Aplikasi sistem religi Dayak yang akrab dengan alam, membuktikan kecerdasan berpikir dan kecerdasan bersikap orang Dayak, untuk selalu menjaga keseimbangan ekosistem dan alam sekitar.
Ketiga, sebagian dari kita belum cerdas akan pemahaman universal, bahwa karakter dan jatidiri sebuah suku bangsa di manapun di dunia, tidak terkecuali Suku Dayak, selalu bersumber dan atau berurat berakat dari sistem religi suku bangsa yang bersangkutan, yaitu legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.
Dengan demikian, menuding praktik animisme melalui ritual balala’ tamakng, mengindikasikan sebagai salah satu profil manusia Dayak yang sudah kehilangan karakter dan jatidirinya.
Karena bagi orang Dayak, dimanapun berada, selalu berprinsip, agama sebagai sumber keyakinan iman, dan sistem religi Dayak meliputi legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku. Bagi orang Dayak, keduanya harus dimaknai di dalam konteks yang berbeda, supaya tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama.
Keempat, kita dihimbau untuk melihat realita rasionalitas kebudayaan Barat bertolak dengan kebudayaan masyarakat di Benua Asia. Masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, termasuk orang Dayak di dalamnya, menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Triologi peradaban kebudayaan masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, membentuk karakter dan identitas/jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem religi atau bersumber doktrin (legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak), dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban, terutama situs pemukiman dan situs pemujaan. (Aju, 2020).
Kelima, kitapun mesti diingatkan lagi akan sejarah lahirnya ideologi Pancasila yang diilustrasikan Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia.
Karena Suku Dayak bagian integral Bangsa Indonesia, maka kebudayaan Suku Dayak turut andil melahirkan ideologi Pancasila. Dengan demikian, melestarikan dan mencintai Kebudayaan Dayak, sebagai wujud nyata dari pengalaman ideologi Pancaila.
Dengan demikian, tudingan ritual balala’ tamakng sebagai praktik animisme, berpotensi sebagai indikasi awal dari pengingkaran terhadap ideologi Pancasila.
Menilai kebudayaan Dayak semata-mata dari sudut pandang sumber keyakinan iman (agama), merupakan titik awal dari kehancuran kebudayaan Dayak dan titik awal dari pengingkatan ideologi Pancasila.
Keenam, kita pula mesti pula diingatkan kembali akan kebudayaan melahirkan tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, ekonomi dan politik. Supranata peradaban sosial, mengatur relasi antar sesama, dan ada sistem religi, termasuk religi Dayak.
Jadi agama adalah produk budaya. Kebudayaan masyarakat pada sebuah kawasan, kemudian melahirkan agama, seperti di Timur Tengah, misalnya, melahirkan beberapa kelompok agama samawi. (Aju, 2020).
Dampak G30S 1965
Memang, sangat tidak adil untuk menghakimi Nasuri Adam seorang diri, sehubungan postingannya yang menuding praktik animisme pada ritual balala’ tamakng Dayak Kanayant di Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Senin, 23 Maret 2020.
Karena profil Nasuri Adam, merupakan gambaran umum masyarakat di Indonesia. Pengingkaran terhadap karakter dan jatidiri yang bersumber doktrin dari sistem religi, sudah terkait dampak negatif dari situasi politik di dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sudah kehilangan karakter dan identitas/jatidirinya semenjak Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta. Ini diakui Prof Dr John Roosa, Guru Besar Departemen Sejarah di University of British Columbia, Vancouver, Kanada, dalam Indoprogress.com, edisi 17 September 2012, mengatakan, “Identitas bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965.”
“Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warga negara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total,” ujar John Roosa.
John Roosa, penulis buku kudeta Panglima Komando Cadangan Strategis Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto melakui G30S 1965, dengan judul: “Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia”, dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia: “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007).
“Kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa di Indonesia,” kata John Roosa, sebagaimana dikutip Indoprogress.com, edisi 17 September 2012.
Selama pemerintahan Presiden Indonesia, Soeharto (1 Juli 1966 – 21 Mei 1998), kampanye antikomunis, diperparah kebijakan yang menganggap Pemerintah Republik Indonesia sebagai Tuhan, dengan mewajibkan masyarakat memiliki agama, tapi kriteria sebuah agama ditentukan sepihak oleh Pemerintah Indonesia, yaitu ada nama agamanya, ada nama kitab suci dan ada nama tempat ibadatnya.
Kebijakan pemerintahan Tuhan di Republik Indonesia, ini, menguntungkan keberadaan agama impor seperti kelompok agama samawi yang sudah memiliki jaringan infrastruktur yang sudah mapan, seperti sudah ditentukan nama agama, nama kitab suci dan nama tempat ibadatnya.
Akibatnya, agama asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk agama asli Suku Dayak (bersumber doktrin dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak), tidak diakui sebagai agama, hanya karena belum disepakati nama agamanya, belum disepakati nama tempat ibadatnya dan belum disepakati nama kitab sucinya.
Masyarakat di Indonesia, akhirnya bisa kembali kepada karakter dan jatidirinya, setelah keluar keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 35-PUU-X/2012, tanggal 16 Mei 2013, tentang Hutan Adat menyatakan bahwa Hutan Adat milik Masyarakat Adat setempat; dan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan yang dimaknai pula pengakuan terhadap agama (religi) asli Suku Dayak (dalam kaitan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban).
Panutan peradaban
Bagi masyarakat Suku Dayak, kembali kepada karakter dan identitas/jatidiri menjadi sangat penting dan strategis, untuk menjadikan Kebudayaan Suku Dayak sebagai panutan peradaban, seiring dengan pengumuman Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019, memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.
Syaratnya, orang Dayak harus kembali mencintai dan melestarikan kebudayaan sendiri, melalui pemantapan strategi pembangunan jaringan insfrastuktur kebudayaan Dayak.
Apabila jaringan infrastruktur kebudayaan Dayak tidak dibangun secara terintegratif dan mengikat semua kepentingan di lingkungan internal, maka kebudayaan Dayak akan gagal menjadi panutan peradaban di Kalimantan. Dampak lebih jauh, orang Dayak akan menjadi punah dan tinggal nama, karena kehilangan karakter dan jatidiri.
Paling tidak ada 5 kejadian tidak bisa dijelaskan dari sudut pandang doktrin kebudayaan luar (termasuk di antaranya doktrin agama samawi, misalnya) terhadap sistem religi Dayak yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kebudayaan Dayak.
Pertama, pergerakan komunal Suku Dayak di dalam kerusuhan di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Februari 2001.
Kompas.com, Rabu, 22 Februari 2001, memberitakan kejadian aneh ketika terjadi kerusuhan rasial paling berdarah di Kota Sampit. Puluhan ribu manusia berbaju kaos merah dan ikat kepala merah memenuhi Kota Sampit, Selasa, 21 Februari 2001, disertai hujan lebat, bunyi halilintar bersahut-sahutan memekakkan telinga.
Kerusuhan sangat dramatis, sehingga aparat keamanan harus kerja keras mengevakuasi warga pendatang ke Kapal Perang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) untuk dipulangkan ke Madura, Provinsi Jawa Timur.
Ini tindaklanjut kejadian aneh sebelumnya di tempat berbeda. Karena tujuh jam sebelumnya, salah satu lelaki paruh baya berpakaian baju kaos merah lusuh meminta disediakan 500 lembar baju kaos oblong warna merah.
Anehnya, warga Dayak di Kota Palangka Raya, manut saja saat harus menyiapkan 500 lembar baju kaos oblong, untuk kemudian diletakkan di depan rumah. Ketidakwajaran terjadi. Baju kaos merah oblong warna merah tidak sampai satu jam, raib, tanpa bisa dilihat dengan kasat mata siapa yang mengambilnya.
Tapi tujuh jam kemudian, warga Dayak di Palangka Raya mendapat laporan bahwa Kota Sampit sudah dipenuhi puluhan ribu lautan manusia berbaju kaos oblong dan ikat kepala merah.
Kerusuhan dipicu tindak pelecehan terhadap simbol-simbol kekuatan supranatural Suku Dayak oleh sejumlah oknum warga pendatang, sambil berkoar-koar melalui alat pengeras suara, mengeluarkan ancaman tantangan, mengelilingi Kota Sampit. (Aju, 2017; 2020)
Kedua, Tim Ekspedisi Harian Sore Sinar Harapan, Selasa, 23 Juni 2013, di Desa Jaras, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, meliput upacara agama asli Suku Dayak Kantuk, salah satu subsuku Ibanic. Namanya, nyengkelan tanah, atau memberkati tanah.
Upacara nyengkelan tanah, selalu digelar Suku Dayak Kantuk yang sebagian besar sudah memeluk Agama Katolik. Tujuannya, meminta bantuan kepada Tuhan, agar memberkati orang Dayak Kantuk selama satu tahun kalender.
Terutama mohon berkat bagi Dayak Kantuk supaya selama melakukan aktifitas ekonomi, terutama saat membuka lahan ladang, untuk ditanami padi sebagai jaminan pasokan sumber pangan untuk satu tahun kemudian.
Peserta yang terlibat di dalam upacara nyengkelan tanah, ritual agama asli Dayak Kantuk, duduk bersila di atas tikar yang dihampar di tanah terbuka, diselingi musik gendang bersahut-sahutan. Lokasi, dipagari bambu yang sudah dibelah empat, dililit melingkar dan diikat dengan kayu cerucuk yang dihunjam berjejer berbentuk persegi empat.
Selama ritual agama asli Suku Dayak Kantuk digelar, ada dua kejadian aneh. Saat pemimpin upacara nyengkelan tanah, Temenggung Terapit, memanggil arwah roh lelulur, melalui sebuah teriakan histeris, dedaunan berguguran, dampak tanah bergetar dalam hitungan detik.
Demikian pula, di sela-sela musim kemarau, saat sesajen berupa potongan kepala babi diletakkan Temenggung Terapit di pinggir Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, itu, tiba-tiba muncul gelombang ketinggian sekitar 25 centimeter disertai suara gemuruh, beberapa detik. Setelah itu, air permukaan Sungai Kapuas, kembali terlihat mengalir tenang ke wilayah hilir sektor barat Provinsi Dayak Barat. (Aju: 2017; L.H.Kadir: 2017).
Ketiga, dalam forum: “Extention Course of Education and Religion” di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Senin malam, 14 Nopember 2016, ada pengakuan Slamet Purwadi.
Slamet Purwadi, salah satu staf pengajar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, mengutip pengalaman salah satu rekannya yang dihadiahi sebilah mandau (parang hias) dari salah satu tokoh Dayak di Palangka Raya.
Teman Slamet Purwadi, menolak secara halus hadiah mandau, karena pasti akan disita aparat saat akan diperiksa di Bandara Internasional Tjilik Riwut, Palangka Raya, karena masih dalam suasana traumatis dari kerusuhan rasial di Sampit, Februari 2001.
Mendengar alasan penolakan teman Slamet Purwati, tokoh Dayak tadi tersenyum dan kembali membawa sebilah mandau tadi ke dalam kamar. Saat ke luar, mandau sudah dibungkus dengan kertas koran bekas dan dijamin pasti lolos saat diperiksa di Bandara Tjilik Riwut.
Saat diperiksa di Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya, untuk kembali ke Jakarta, mandau yang terbungkus koran bekas, lolos dari pemeriksaan petugas. Karena saat dipantau petugas dari layar komputer, mandau yang dibungkus koran bekas tadi, hanya terlihat berupa tongkat pendek. (L.H. Kadir: 2017; Aju: 2020).
Keempat, jauh sebelumnya, pernah meledak kerusuhan rasial diprovokasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), berupa aksi pengusiran dan tindak kekerasan lainnya terhadap Etnis Tionghoa dari kawasan pedalaman dan perbatasan Provinsi Dayak Barat, September – Desember 1967, oleh Suku Dayak dalam rangkaian operasi penumpasan Pasukan Gerila Rakyat Sarawak (PGRS), 1966 – 1974.
Kerusuhan rasial paling berdarah, menyebabkan 8 ribu warga Tionghoa tewas, meliputi 3 ribu tewas selama kerusuhan, September – Desember 1967, dan 5 ribu lainnnya tewas dalam pengungsian, karena sanitasi buruk dan kekurangan pangan.
Kerusuhan di Dayak Barat, September – Desember 1967, digerakkan kekuatan supranatural melalui upacara agama asli Suku Dayak Kanayatn, bernama pamabakng, lewat media mangkok kecil berisi darah ayam berwarna merah. Karena mangkok kecil, isinya darah ayam berwarna merah beserta peralatan ritual lainnya, maka secara sederhana kemudian dikenal dengan sebutan Mangkok Merah.
Dalam kekerasan politik diprovokasi Komando Daerah Militer (Kodam) XII/Tanjungpura, melalui pengumuman dan pemberitaan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pontianak, mengatasnamakan Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, tokoh Dayak dan mantan Gubernur Dayak Barat, 1960 – 1966, dengan menyatakan perang terhadap PGRS.
Menurut pengakuan Robertus Antonius Rahmat Sahudin dalam Tabloit Mutiara, pekan kedua Maret 1997, menyebutkan, ada kekuatan roh leluhur digerakkan melalui upacara pamabakng, yaitu upacara agama asli Suku Dayak Kanayatn. (Aju: 2017).
Upacara pamabakng digelar, lantaran banyaknya tokoh adat Dayak ditemukan tewas terbunuh di kawasan perbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, dan kemudian dituding PGRS yang identik dengan Etnis Tionghoa sebagai dalang pembunuhan itu.
Di antaranya Temenggung Garanse, ditemukan tewas dengan alat kemaluannya diletakkan di atas tunggul di dalam mangkok kecil, dimana kemudian dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap tokoh Dayak.
Dalam upacara pamabakng, dipanggil tujuh bersaudara manusia Dayak Kanayatn dari alam gaib, yaitu Bujang Nyangko Samabue, Kamang Mudak Santulangan, Sarukng Sampuro, Sansak Lalu Samarawe, Bujang Gila Palepak, Nyaro Nyantakng Pajamuratn, dan Bensel Sampayangan, karena memiliki keunggulan masing-masing di dalam berperang.
Upacara pamabakng adalah bagian dari sistem religi Suku Dayak Kanayatn dalam kerusuhan rasial di Dayak Barat, September – Desember 1967, kemudian diklaim menyelamatkan muka militer Indonesia, karena melalui aksi pengusiran dan berbagai tindak kekerasan lainnya terhadap Etnis Tionghoa dari pedalaman dan perbatasan, membuat peta kekuatan PGRS melemah, karena terputusnya jaringan logistik.
Peristiwa September – Desember 1967 di Provinsi Dayak Barat, di kalangan dunia militer dikenal dengan Peristiwa Mangkok Merah. Peristiwa Mangkok Merah di Provinsi Dayak Barat, kemudian dicatat pernah meledak dalam kerusuhan Dayak – Madura di Provinsi Dayak Barat, tahun 1952, 1959, 1977, 1996, 1997, 1999, 2000. (Aju: 2017).
Peristiwa berdarah di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Dayak Tengah, 19 – 21 Februari 2001, kekuatan supranatural yang lebih dikenal Peristiwa Mangkok Merah, selalu mewarnai gerakan terstruktur dan masif kalangan Suku Dayak di alam bawah sadar yang sulit dijelaskan dengan akal sehat.
Kelima, kisah mandau peninggalan Mayor Alianjang lain lagi. Mayor Muhammad Alianjang (lahir 20 Oktober 1920 – meninggal dunia di Singkawang, 7 April 1970 pada umur 49 tahun) seorang Suku Dayak Uud Danum asal Desa Menantak, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Dayak Barat, peraih Penghargaan Bintang Mahaputera Nararya tahun 1999, akibat jasanya dalam perang melawan Belanda dalam mempertahankan kemerdekaan di Dayak Barat, memiliki sebilah mandau yang sampai sekarang masih disimpan putera-puterinya.
Mayor Jenderal TNI Armin Angkasa Alianjang (kelahiran Singkawang, Dayak Barat, 5 Februari 1956) yang pernah menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) XII/Tanjungpura di Pontianak, 2011 – 2012, salah satu putera Muhammad Alianjang, mengaku, mandau peninggalan ayahnya, selalu mengeluarkan suara aneh, apabila ada rencana akan dibawa ke luar Kalimantan Barat.
Di samping bersuara aneh, orang seisi rumah, tidak bisa tidur sepanjang malam, karena selalu diganggu oleh sebuah penampakan yang tidak jelas. Itulah sebabnya, mandau antik peninggalan Mayor Muhammad Alianjang masih tetap disimpan oleh salah satu anaknya yang sekarang menetapkan di Kota Pontianak.
Sementara Mayjen TNI Armin Alianyang setelah pensiun sebagai Staf Ahli Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Tingkat III Bidang Komunikasi Sosial (Komsos) Markas Besar (Mabes) TNI di Jakarta tahun 2012, dengan pangkat terakhir mayor jenderal, memilih menetap di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. (Aju, 2020).
Memahami dunia
Dampak negatif akibat dari sebuah kekuatan ‘tidak wajar’ menyertai massa dari kalangan Suku Dayak yang terlibat konflik, dimana di kalangan Suku Dayak Kanayatn dinamai kekuatan roh leluhur disebut tariu, melalui media bernama mangkok merah, dimana konflik menjadi sangat sulit dilerai, menelan korban cukup banyak, kemudian suara aneh selalu muncul saat mandau peninggalan Alianjang akan dibawa ke luar Dayak Barat, memang, sulit dijelaskan dari sudut pandang kebudayaan luar yang melahirkan beberapa kelompok agama samawi. (Aju: 2020).
Akan tetapi, apabila orang Dayak, mampu menyelami, memeliharan dan mencintai doktrin agama asli Suku Dayak yang bersumber doktrin atau berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, maka klaim kesaktian dan atau tudingan kejam dan atau tudingan biadab dan atau tudingan penganut seks bebas kalangan Suku Dayak, bisa dengan sendirinya mampu terbantahkan.
Karena dalam ilmu filsafat sekalipun, soal kesaktian orang Dayak, kekejaman orang Dayak, kebrutalan orang Dayak, kebiadaban orang Dayak, Dayak penganut seks bebas, memang tidak benar, karena memang tidak pernah ada dari sudut pandang sistem religi Suku Dayak.
Sering terjadi hal-hal di luar akal sehat saat meledak konflik sosial, semata-mata ekses dari pelanggaran pihak luar terhadap hekakat manusia Dayak beradat, yakni berdamai dan serasi dengan sesama, leluhur dan alam sekitar.
Orang Dayak, dalam takaran tertentu, tiba-tiba bertindak di luar batas alam bawah sadar, karena selalu bermula dari adanya tindak pelecehan pihak luar terhadap doktrin agama asli Suku Dayak (bersumber dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak) yang mengedepankan kesopanan, kesantunan, ketentraman, dan kedamaian dengan sesama, leluhur, alam sekitar. Istilahnya benturan peradaban.
Bahwa dalam berperilaku keseharian, implikasi dampak negatif dari benturan peradaban, seperti kerusuhan rasial Suku Dayak dengan suku lainnya di Pulau Kalimantan, bisa dijelaskan secara lebih ilmiah, apabila berangkat dari pemahaman teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati.
Teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati, diajarkan filsuf Thomas Aquinas, 1225 – 1274, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal budinya. Thomas Aquinas dari Ordo Pengkotbah atau OP. (Doera, Isak: 2002).
Semenjak munculnya ajaran filsuf Thomas Aquinas, berarti sejak abad ketiga belas, sudah tidak ada lagi istilah seseorang atau kelompok masyarakat sebagai tidak bertuhan atau ateis, karena komunitas masyarakat dari berbagai suku bangsa, termasuk Suku Dayak, terbukti mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya sendiri-sendiri.
Orang Dayak pun, mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, seperti adanya sebuah ‘kekuatan’ lebih, saat terjadi benturan peradaban dengan etnis lainnya di Pulau Kalimantan.
Dengan demikian, membangun masyarakat Suku Dayak di Pulau Kalimantan, harus berangkat dari akar budaya Suku Dayak itu sendiri, yaitu filosofi atau ideologi yang terkandung di dalam agama asli Suku Dayak.
Melalui pemahaman teologi naturalis seseorang dapat memaknai setiap pengalaman untuk mewartakan kebesaran Allah, versi Gereja Katolik. Sebuah pemikiran didasarkan atas ide-ide Aristoteles.
Gagasan yang memahami segala sesuatu termasuk pikiran atau jiwa adalah bagian dari alam. Teologi yang menekankan, bagaimana pikiran atau jiwa seseorang manusia melihat dan memahami dunia dalam tujuan dan makna kehidupan serta keteraturan universal menuju Allah sebagai tujuan terakhir.
Teologi adikodrati adalah dasar dari filsafat moral. Thomas Aquinas menjabarkan teologi adikodrati secara tradisional yang berbeda dari ajaran Anselmus dari bukti-bukti adanya Allah dan sifat-sifat Allah. Pengetahuan manusia tidak terlepas dari alam indrawi. (Doera, Isak: 2002).
Pemikiran Thomas Aquinas atas eksistensi Allah ditemukan dalam lima jalan atau quinque viae dengan prinsip kausalitas. Allah dipandang sebagai prinsip pertama yang menjadi sebab (causa) tertinggi dari setiap gejala alamiah di bumi.**
Penulis adalah wartawan senior Independensi.com