Kriminalisasi peladang, Pengkhianatan Pancasila dan Nawacita

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Praktik kriminalisasi peladang Suku Dayak dalam musim kemarau tahun 2019, sebagai bentuk pengkhianatan aparat penegak hukum terhadap ideologi Pancasila dan Program Nawacita Pemerintahan Republik Indonesia, 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024.

Pengkhianatan terjadi karena tidak adanya kualifikasi pemahaman aparat penegak hukum terhadap anthropologi budaya. Apabila kriminalisasi masih terus-terusan terjadi, tetap akan membuat gabuh dan bisa mengancam stabilitas keamanan di Pulau Borneo.

Disebut pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila, dengan argumentasi sebagai berikut. Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), melahirkan ideologi Pancasila yang disarikan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia.

Karena Suku Dayak bagian integral Bangsa Indonesia, maka Kebudayaan Suku Dayak (dimana di dalam implementasi ada sistem religi, di antaranya lewat buka ladang dengan cara bakar) turut andil melahirkan ideologi Pancasila.

Dengan melestarikan Kebudayaan Suku Dayak, di antaranya dengan berladang dengan cara bakar mengandung nilai-nilai religi, sebagai wujud nyata pengamalan ideologi Pancasila.

Kriminalisasi peladang bentuk pengkhianatan terhadap Program Nawacita, argumentasinya sebagai berikut. Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), kekayaan dan keragaman budaya Indonesia, termasuk berladang orang Dayak sebagai bagian dari kebudayaan Dayak yang mengandung nilai-nilai religi, dijadikan soft power kepada masyarakat internasional tentang karakter manusia Indonesia yang santun, ramah, gotong-royong, yang berakar pada budaya tradisi bangsa.

Secara ideologi, Presiden Soekarno menjadikan berkarakter dalam budaya sebagai salah satu pilar strategis dalam konsepsi Trisakti; berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkarakter secara budaya.

Trisakti sebagai tujuan utama pembangunan politik, ekonomi dan budaya bangsa, kembali direvitalisasi Presiden Indonesia, Joko Widodo, sejak menjadi Presiden pada 20 Oktober 2014 (Eko Sulistyo: 2019).

Komitmen Presiden Joko Widodo

Komitmen Presiden Indonesia, Joko Widodo, 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024, akan kebudayaan sebagai salah satu pilar Trisakti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015 – 2019. Program Nawacita dipertajam kembali pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode periode kedua, 20 Oktober 2019 – 20 Oktober 2024.

Dengan Trisakti, Presiden Indonesia Joko Widodo, menegaskan kebudayaan tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan sebagai proses nation-building.

Tapi juga penting sebagai pilar menuju Indonesia maju dengan sumber daya manusia yang unggul berkarakter kebangsaan, bukan hanya pintar dan piawai dalam teknologi (Eko Sulistyo: 2019).

Dalam pembangunan memang ada kesinambungan antara industri (ekonomi), budaya dengan pembangunan manusia. Perlu menunjukkan cara industri kebudayaan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Misalnya, sumbangan produksi, penyebaran, partisipasi, serta konsumsi budaya. Selain menjadikan masyarakat berdaya dari segi ekonomi, berbagai kegiatan tersebut juga memperkaya kebudayaan itu sendiri, serta memperkuat kohesi sosial masyarakat.

Manfaat kebudayaan dan pembangunan manusia dapat diukur melalui dua nilai, yakni dari segi ekonomi dan budayanya. Dari segi ekonomi, industri kebudayaan menghasilkan barang dan jasa untuk pasar dan kepentingan publik, serta berdampak pada inovasi industri lain.

Dari segi budaya, industri kebudayaan berkontribusi dengan menunjukan nilai dari barang dan jasa artistik, menaikan nilai peran individu dalam kegiatan kreatif, mewujudkan nilai sosial dialog lintas budaya, serta mendukung peran seni dalam Pendidikan.

Pemajuan kebudayaan

Undang-undang Nomor 5 tahun 2017 tentang: Pemajuan Kebudayaan menyediakan platform untuk meningkatkan ekonomi dan mengurangi kesenjangan.

Indonesia telah memiliki asset kebudayaan yang begitu kaya dan perlu didukung Bersama secara gotong-royong. Ekonomi berbasis kebudayaan memperkuat alasan pemerintah, swasta, pegiat budaya, dan masyarakat untuk berkonsolidasi memadukan pengembangan budaya dalam pembangunan (Kebudayaan.kemdikbud.go.id, Kamis, 5 September 2019).

Dalam seminar nasional diselenggaraka Kantor Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa, 4 April 2017, dengan judul: “Peran Kebudayaan di dalam Pembangunan Nasional”, ditegaskan, dengan belajar dari China, Jepang dan Korea Selatan, sebagai negara maju karena pembangunan berbasis kebudayaan, maka di masa mendatang pembangunan di Indonesia, harus berbasiskan kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia.

Praktik berladang dengan cara bakar, simbol peradaban agraris Suku Dayak, dengan menempatkan tanaman padi sebagai paling dihormati dan disakralkan.

Legenda penciptaan padi menurut Dayak Uud Danum di Provinsi Kalimantan Barat, juga menyebut erat kaitannya dengan keberadaan Puruk Mokorajak di Taman Nasional Puruk Mokorajak (Bukit Baka Bukit Raya), dengan akses terdekat dari Desa Lato Malom (Rantau Malam), Kecamatan Sorabai (Serawai), Kabupaten Sintang.

Dilegendakan, binatang jenis beruk, kelampiau, tikus, orangutan, burung pipit, kupu-kupu, mesti dihormati karena penentu keberlangsungan hidup manusia, melalui padi, api dan kelapa hutan (nira).

Di dalam legenda suci Suku Uud Dayak, ada istilah yang dinamakan kolunon, artinya manusia. Kolunon, menurut legenda Dayak Uud Danum, hidup di dua alam, yaitu di danum diang dan di danum pinak.

Danum diang, artinya manusia di alam atas. Danum diang disebut juga lobuk liow atau rumah Tuhan atau surga. Kolunon (manusia) nuk (di) danum (alam) diang (atas), artinya manusia yang hidup di alam atas. Penguasa nuk danum diang dinamai Ranying Mohotarak Langit, penguasa alam atas.

Puruk Mokorajak

Tempat kehidupan manusia di alam atas, di antaranya diyakini berada di Puruk Mokorajak, Taman Nasional Puruk Mokorajak (Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya) dan Puruk Keminting. Puruk (Bukit) Keminting berada di wilayah Kabupaten Puruk Bulo (Gunung Mas), Provinsi Kalimantan Tengah.

Dalam legenda suci Dayak disebutkan pula, tempat kediaman manusia alam gaib terbesar berada di Tanjung Lokang, wilayah Taman Nasional Betung Kerihun, Kabupaten Kapuas Hulu.

Pemukiman manusia alam gaib terbanyak kedua di Puruk Mokorajak, dan terbanyak ketiga di Gunung Bawakng, Kabupaten Bengkayang. Di samping itu, pemukiman manusia alam gaib menurut legenda Suci Ddayak, terpecah-pecah lagi pada ratusan da bahkan ribuan situs pemukiman dan situs pemujaan.

Itulah sebabnya bagi orang Dayak menjadikan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban, karena khusus di situs pemukiman dan pemujaan sebagai tempat sakral dan paling disucikan, tempat bersemadi arwah para leluhur (Damianus Lele: 2020), sebagaimana Agama Shinto di Jepang meyakini Gunung Fujiyama sebaai tempat suci dan sakral.

Danum pinak, artinya kehidupan manusia di alam bawah, kehidupan manusia nyata di muka bumi.

Manusia hidup di danum pinak, diyakini Suku Dayak Uud Danum, suatu saat akan kembali menyatu dengan manusia yang hidup di danum diang, lewat proses kematian secara fisik.

Maka untuk menghantar arwah manusia yang meninggal dunia, mesti digelar tiwah/dalok, berupa ritual menghantarkan arwah famili yang meninggal dunia menuju lobuk liow, surga, danum diang.

Danum pinak, artinya manusia di alam bawah, atau manusia yang hidup di alam nyata, alam bumi.

Padi dalam Bahasa Dayak Uud Danum disebut paroi. Beras disebut bojah. Nasi disebut barik. Kuman disebut makan. Kuman barik artinya makan nasi. Bolasut artinya panas.

Tapi istilah kuman barik bolasut, tidak bisa diterjemahkan secara harafiah sebagai makan nasi panas. Kuman barik balasut, diartinya suguhan diberikan kepada tamu kehormatan, berupa makanan paling baik, paling enak, dan paling baru.

Sama seperti di dalam legenda Dayak Bakatik di Kabupaten Bengkayang, padi berasal dari serpihan jasa Mula Batondok yang dikorbankan untuk sumber kehidupan umat manusia, maka di dalam legenda Dayak Uud Danum di Provinsi Kalimantan Barat, sebagai jelmaan dari anak manusia dari pasangan suami istri: Antang dan Tigang. Antang berjenis kelamin laki-laki dan Tigang berjenis kelamin perempuan.

Di awal penciptaan manusia, menurut legenda Dayak Uud Danum, manusia di danum pinak bisa dengan mudah berinteraksi sosial dengan manusia nuk danum diang. Malah kolunon nuk danum pinak, sewaktu-waktu bisa dengan bebas berkunjung ke danum diang.

Dilegendakan, dalam beberapa kali proses penciptaan umat manusia, Atang diciptakan Ranying Mohotarak Langit dari 10 keping bulo (emas) dan Tingang diciptakan dari 10 keping hitan (intan). Setelah melahirkan, anak pertama Antang dan Tingang, berjenis kelamin perempuan, belum diberi nama.

Antang kemudian dikenal sebagai burung elang (accipitridae) dan Tingang kemudian dikenal sebagai burung enggang (hornbill). Hornbil sekarang sebagai binatang langka di Kalimantan yang dilindungi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang: Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Ranying Mohotarak Langit, meminta kepada Antang dan dan Tingang, sebelum diberi nama, anaknya dimandikan terlebih dahulu di sebuah kolam nuk danum diang, yaitu nuk Tohutun Cahai Habun, sebuah permandian khusus bagi anak yang baru lahir di danum diang. Lokasi Tohutun Cahai Habun, dilegendakan berada di puncak Puruk Mokorajak.

Dalam proses permandian anak, ternyata ada tatacara yang salah dilakukan pasangan suami istri, Antang dan Tigang. Keduanya meletakkan anaknya terlebih dahulu di pinggir Tohutun Cahai Habun.

Usai meletakkan anaknya keduanya menceburkan diri bersamaan ke dalam kolam. Dalam keadaan basah kuyup, keduanya bermaksud mengambil anaknya yang diletakkan di pinggir Tohutun Cahai Habun.

Jadi tanaman beringin

Tapi rembesan air Tohutun Cahai Habun dari rambut panjang Antang dan Tingang, jatuh ke tubuh anaknya. Akibatnya, tubuh anaknya diselimuti akar pohon lunuk (beringin/ficus benjamina).

Keduanya secara refleks membersihkan akar lunuk yang menutupi tubuh anaknya. Tapi sesaat kemudian, akar lunuk hanya dalam hitungan menit, menutup seluruh tubuh anak Atang dan Tingang di pinggir tohutun cahai habun.

Keduanya menangis dan meminta bantuan Ranying Mohotarak Langit, agar melepaskan cengkeraman akar lunuk.

Ranying mohotarak langit berkata, “Erih uwas kosalakh ihkam morok. Eyam taai hulik nai jadik kolunon. Lunuk erik morasih a kiak. Nein arok ketuun a lunuk tuh akhan ulun bolum danum pinak.”

Artinya, “Itu sudah kesalahan kalian berdua. Sudah tidak bisa kembali lagi menjadi manusia. Nanti akan ada manfaatnya bagi kehidupan manusia di alam bumi.”

Atas perintah Ranying Mohotarak Langit, Antang dan Tingang, selalu memberlakukan pohon lunuk seperti anak kandung mereka sendiri.

Dalam periode tertentu, gulma di sekitar pohon lunuk selalu dibersihkan. Setiap kali didatangi Antang dan Tingang, seakan ada gerakan batin dari pohon lunuk, akan kehadiran kedua orangtuanya.

Di antaranya, muncul bau harum di sekitar pepohonan lunuk. Gerakan daun lunuk tertiup tiup angin, seakan sebagai respons kegembiraan atas kedatangan Antang dan Tingang.

Di danum diang, lunuk tumbuh sangat subur. Tapi kesuburan lunuk, membuat iri Kojaik Anak Atang Pusuk Konyabung Tingang (angin puting beliung). Kojaik Anak Atang Pusuk Konyabung Tingang, membuat ulah, sehingga pohon lunuk hancur. Dahannya patah berkeping-keping. Pohonnya hancur dalam beberapa patahan.

Sebagian patahan dahan lunuk, jatuh ke danum pinak, di kehidupan di alam nyata, di muka bumi. Tapi karena kesuburannya, patahan dahan lunuk menjelma menjadi berbagai jenis tanaman di muka bumi.

Lokasi tempat tumbuh serpihan dahan lunuk di danum pinak, namanya Lunuk Kosanak. Lunuk Kosanak dilegendakan berada di sekitar kaki Puruk Mokorajak.

Jadi tanaman padi

Dari berbagai sudut patahan dahan lunuk yang jatuh ke bumi, terus menjelma menjadi berbagai jenis tanaman. Bagian bungkil keras patahan dahan lunuk yang jatuh ke bumi, menjelma menjadi paroi (padi).

Patahan dahan inti lunuk, tetap saja tumbuh subur di sebuah tempat di sekitar Puruk Mokorajak di danum pinak, di pinggir sungai yang dalam, dan disebut Lunuk Kosanak. Saat berbuah lebat, buah lunuk pun menjadi pasokan makanan berbagai jenis hewan.

Tiap hari setiap berbuah, berbagi jenis hewan berdatangan, menikmati makanan dari buah lunuk. Mereka ribut, sehingga mengusik ketenangan Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum atau lobahtak (ular raksasa, penguasa alam bawah air).

Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum atau lobahtak atau ular raksasa, muncul ke permukaan, memperingatkan kawan-kawannya yang menikmati buah lunuk untuk tidak ribut, karena istrinya di dasar sungai tengah merawat anak bayi yang baru lahir.

Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, memperingatkan, kalau tetap ribut bisa berimplikasi buruk kepada keselamatan jiwa istrinya baru melahirkan bayi. Kalau keributan terus terjadi, maka istrinya akan sakit dan bisa meninggal dunia.

Namum, peringatan Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, tidak diindahkan oleh ribuan ekor hewan yang menikmati buah lunuk. Mereka tetap saja ribut, sambil menikmati makanan.

Karena tetap saja ribut, Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, muncul lagi kedua kalinya, dengan kembali memperingatkan kawan-kawannya yang tengah ribut sambil menikmati buah lunuk.

Tidak dipedulikan, kemudian, Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, muncul lagi ke permukaan air, untuk memberikan peringatan ketiga. Tapi tetap saja tidak dipedulikan.

Karena peringatan pertama, kedua dan ketiga, tetap tidak dipedulikan berbagai jenis hewan yang terus ribut sambil menikmati buah lunuk, Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, muncul lagi ke permukaan sungai, untuk keempat kalinya di Lunuk Kosanak.

Kemunculan Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum ke permukaan air sungai yang dalam untuk keempat kali, sudah dalam batas kehilangan kesabaran.

Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, berkata, “Ikham tuh, buho mahtoi. Iyam buho, mahtoi.”

Artinya, “Kalian ini, tidak lari meninggalkan tempat, mati. Lari meninggalkan tempat, mati.”

Usai berkata pendek itu, Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, kembali ke dasar sungai yang dalam. Di dalam legenda Dayak Uud Danum, posisi Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, sebagai penguasa alam di bawah air, bisa berkolaborasi dengan penguasa alam atas atau Ranying Mohotarak Langit, di dalam menjaga keseimbangan alam di alam nyata.

Karena itu, segala tutur kata Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, selalu menjadi rujukan, wajib dipatuhi, dan bahkan sebagai vonis terhadap implikasi suatu kesalahan.

Dilegendakan Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, jenis ular raksasana penguasa alam di dasar sungai, adalah profil makhluk hidup yang disegani dan dihormati. Karena Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, tidak pernah membuat susah kehidupan makhluk hidup lainnya, apabila tidak melakukan kesalahan fatal.

Kata-kata Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, itu, dimaknai, para hewan yang telah membuat ribut sambil menikmati buah lunuk, sebagai sumpah kematian.

Karena meratapi nasib, para hewan tadi melakukan kompromi untuk meminta maaf, agar kehidupan kembali seperti sedia kala. Jika maaf dikabulkan, mereka berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang bisa mengusik ketenangan Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, sebagai penguasa makhluk hidup yang berada di bawah air.

Para hewan, memutuskan meminta bantuan polit (tikus kecil/soricidae), bergelar Lacak Ukang Nopulung Habun. Lacak Ukang Nopulung Habun, dimintai bantuannya, karena sebelumnya dikenal memiliki pengaruh terhadap Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum.

Lacak Ukang Nopulung Habun diklaim mampu membujuk Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, agar mencabut sumpahnya yang akan membuat mati semua hewan yang telah membuat keributan saat menikmati buah lunuk di pinggir sungai di Lunuk Kosanak.

Masalahnya kemudian, ternyata Lacak Ukang Nopulung Habun tengah berada laut lepas, jauh dari muara Sungai Kapuas di Pontianak, sehingga sulit untuk dipanggil. Tapi kolobamakng (kupu-kupu/rhopalocera), menyatakan kesanggupannya menjemput Lacak Ukang Nopulung Habun.

Dalam perjalanan sangat melelahkan, hinggap dari ranting Lacak Ukang Nopulung Habun polit yang tengah mandi di tengah laut.

Faktor kesetiakawnan

Karena faktor kesetikawanan, Lacak Ukang Nopulung Habun, menyatakan bersedia membantu. Perjalanan Lacak Nopulung Habun dan kolobamakng ke Lunuk Kasanak, hanya dalam hitungan menit.

Karena perjalanan diperpendek berkat jembatan terbuat dari tali tongang (sejenis anyaman akar yang biasa dipakai untuk tali jerat binatang) yang dipasang Lacak Nopulung Habun.

Sampai di Lunuk Kasanak, para hewan, atas arahan Lacak Nopulung Habun, membagi tugas. Arahan harus dilaksanakan melalui berbagai persyaratan digariskan Lacak Ukang Nopulung Habun, sebagai syarat agar Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, bisa dibujuk untuk muncul di permukaan sungai.

Karena semenjak kemarahan Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, dilegendakan secara otomatis sarana pendukung utama kehidupan manusia, dikuasai makhluk gaib jenis tertentu.

Apabila arahan tidak dilaksanakan, sumpah Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, akan terwujud, sehingga semua makhluk hidup yang pernah menikmati buah lunuk di Lunuk Kosanak, akan mati.

Hasil arahan, boruk (beruk/macaca nemestrina) dan kolabot (kelampau/hylobatidae), ditugaskan mengambil ahpui (api), bolabo (tikus ekor panjang) dan opit (burung pipit/estrildidae) diberi tugas mengambil paroi (padi), dan kohiuk (orangutan/pongo pygmaeus) diberi tugas mengambil tanaman umbut-umbutan bernama bonakng, bibit kelapa hutan sejenis tanaman nira.

Ahpui dilegendakan berada pada sebuah tempat yang sangat panas, dan sewaktu-waktu jilatannya bisa mengenai siapa saja yang melintas. Paroi dilegendakan, dijaga tiga makhluk alam gaib, yaitu horomaung (harimau), joliban dalung (ular kobra/naja), dan uwang katung (tawon/hymenoptera).

Keberadaan aphui, paroi dan bonakng harus melewati perjuangan hidup-mati, sebagai konsekuensi sebuah perjuangan untuk mencabut sumpah yang sudah dilontarkan manusia penguasa alam bawah air, ular raksasa, Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum.

Bonakng dilegendakan mesti diambil di suatu tempat, tapi harus sangat hati-hati karena bibir dahannya sangat tajam, sehingga bisa membuat luka serius di bagian tangan.

Dalam pelaksanaannya, misi para hewan pada tiga tempat yang berbeda secara umum berjalan sukses, tapi para hewan yang ditugaskan, mengalami catat fisik seumur hidup.

Bolabo (tikus ekor panjang) dan opit (burung pipit) yang sebelumnya berekor panjang, kemudian dikenal berekor pendek, karena terkena terkaman horomaung, joliban dalung dan sengatan uwang katung. Saat akan disergap homoraung, joliban dalung dan uwang katung, posisi bolabo dan opit, tengah berlari kencang sambil menggotong tangkai paroi, sehingga ekor panjangnya terputus terkena sergapan.

Itulah yang menyebabkan sampai sekarang, baik bobalo (tikus) maupun opit (burung pipit) memiliki ekor pendek.

Boruk (beruk) dan kolabot (kelampiau), saat bola api dibawa dengan diikat di bagian ekor panjangnya, dalam perjalanan nyaris habis terbakar. Saat sampai di Lunuk Kosanak, api tetap hidup dan nyala api bisa dibesarkan.

Tapi bagian pantat boruk dan kolabot menderita luka serius, terkena api seperti bekas luka borok. Itulah sebabnya, sampai sekarang, beruk dan kelampiau memiliki pantat kasar seperti bekas luka borok.

Orangutan mengalami hal yang sama. Jari-jarinya mengalami luka serius, karena mesti menggotong bonakng yang dahannya sangat tajam. Itulah sebabnya, di dalam legenda Dayak Uud Danum, populasi orangutan selalu tidak ditemui di hutan belantara, apabila ada tanaman pohon kelapa jenis bonakng. Orangutan dilegendakan trauma dengan jenis tanaman bernama bonakng.

Setelah tangkai paroi (padi), aphui (api) dan bonakng (kelapa hutan) sudah tersedia di Lunuk Kosanak, maka Lacak Nopulung Habun, memanggil Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, penjaga alam bawah sungai/laut untuk muncul ke permukaan.

Tidak lama kemudian, Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, muncul ke permukaan. Saat muncul di permukaan, Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, melihat para hewan yang sudah disumpahnya, dalam keadaan berduka. Terlebih lagi, beruk, kelampiau, burung pipit, tikus dan orangutan, dalam keadaan terluka serius sehingga mengalami cacat fisik seumur hidup.

Saat muncul ke permukaan air, Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, hanya berkata pendek, “Sumpah saya cabut. Untuk lain kali, jangan lagi melakukan kesalahan serupa. Kalian tetap berpegang teguh kepada pesan Ranying Mohotarak Langit, hidup tidak boleh serakah, hargai orang lain, hormati orang lain, dan tetap jaga keseimbangan alam sekitar.”

Tikus dan pipit

Semenjak itulah kehidupan manusia dilegendakan harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh, berdamai dan serasi dengan alam sekitar dan sesama, sehingga tetap ada ketergantungan dengan yang lain.

Manusia dilegendakan harus menaruh hormat kepada antang (elang) dan tingang/enggang, karena awal mula orang Dayak Uud Danum dalam legenda anaknya melahirkan padi sebagai sumber kehidupan.

Tikus dan burung pipit, harus dihormati dan diberi makan terlebih dahulu, sebelumnya padi dipanen, karena dilegendakan paling berjasa membawa bibit padi saat lolos dari sergapan harimau, ular kobra dan sengatan tawon, sebagai syarat manusia terbebas dari kutukan Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum.

Beruk dan kelampiau, dihormati karena berjasa membawa api dari sumber gunung api. Sedangkan orangutan dihormati, karena berjasa menggotong tanaman bonakng, sejenis kelapa hutan yang buahnya paling enak dimakan dan umbutnya enak dijadikan bahan sayur, kendatipun dahannya sangat tajam.

Di dalam religi Suku Dayak Uud Danum, atas pesan Ranying Mohotarak Langit lewat Kolitik Batun Tapang Jolahing Kanan Danum, ular raksasa sebagai penguasa alam di bawah air, setiap kali membuka ladang, harus terlebih dahulu menggelar ritual, seperti ritual menebas, menebang, bakar ladang, membuang rumput hingga memanen.

Salah satu ritual terpenting harus dilakukan Dayak Uud Danum, adalah nyahkik uroi artinya memohon izin kepada arwah horomaung (harimau), joliban dalung (ular kobra) dan uwang katung (tawon), agar padi segera ditanam. Ritual Nyahkik Uroi (arwah) dilakukan saat hari pertama menugal.

Ritual Nyahkik Uroi dengan memotong hewan kurban berupa satu ekor ayam. Darah ayam diolesi di daun sabang, somomolum (cocor bebek), tanaman lain bernama sodirung.

Tiga jenis tanaman ini (sabang, cocor bebek dan sodirung) dilegendakan sebagai pengganti arwah horomaung (harimau), joliban dalung (ular korba) dan uwang katung (tawon), untuk menyertai dan membimbing padi selama pertumbuhan sehingga menghasilkan bulir bernas, dan panen padi yang melimpah.

Kekuatan arwah leluhur

Dayak Uud Danum meyakinan, kekuatan arwah leluhur selalu menyertai manusia di alam nyata, setiap kali melakukan semua tahanan membuka ladang sampai memanen. Apabila tanaman padi diserang hama tikus dan burung pipit, dan sebagainya, berarti ada kesalahan yang dilakukan orang Dayak Uud Danum, sehingga harus menggelar ritual khusus, memohon ampun kepara Ranying Mohotarak Langit.

Apabila padi diserang hama tikus dan berbagai jenis hama lainnya, mesti digelar ritual di pinggir ladang, memohon maaf. Usai ritual digelar, diyakini hama tidak akan lagi menyerang tanaman padi.

Setiap akan bakar ladang, mesti pula digelar ritual, memohon bantuan arwah leluhur, supaya api tidak merembes ke lokasi yang bukan dijadikan ladang.

Paroi di dalam Suku Dayak Uud Danum adalah simbol peradaban agraris. Padi sebagai sumber nafas kehidupan. Padi dikodratkan untuk ditanam, bulirnya yang bernas sebagai sumber pasokan karbohidrat manusia.

Dalam legenda disebutkan pula, pernah pada suatu kesempatan, paroi yang disimpan di dalam jaot (tempayan antik), menangis sejadi-jadinya, karena tidak dikeluarkan dari tempatnya.

Ketika dipindahkan ke depan rumah, tangisan paroi tetap terdengar. Manusia kemudian mengeluarkan paroi dari dalam jaot untuk dipindahkan ke tanah. Begitu diletakkan di atas tanah, paroi berhenti menangis dan berpesan.

Arwah paroi mengingatkan kolunon (manusia), untuk menanamnya kembali di tanah, sesuai jadwal yang ditentukan. Karena sebagai sesama saudara, paroi sudah ditakdirkan oleh Ranying Mohotarak Langit, untuk tumbuh dan buahnya memberikan sumber kehidupan bagi umat manusia di alam nyata.

Itulah sebabnya, sejumlah tahapan ritual berladang di dalam religi Suku Dayak Uud Danum tidak boleh ditiadakan. Peniadaan salah satu tahapan religi, berarti pelanggaran terhadap doktrin Raying Mohotarak Langit.

Di antaranya ritual Hinjam Ngohtom, yaitu pesta panen padi, dengan kerja sukarela di lahan padi milik salah satu warga yang ladang sudah dalam kodisi siap panen.

Ritual Hinjam Ngohtom selalu digelar tiap tahun secara simultan pada satu kampung, sampai semua peserta ritual mendapat gilingan menjadi tuan rumah, di musim panen paroi periode berikutnya.

Orang Dayak Uud Danum tidak berani mengingkari untuk tidak datang pada Hinjam Ngohtum periode berikutmya di ladang milik terangganya yang sebelum datang, karena itu perintah leluhur.

Berbagai jenis penyakit menular, sebagai kutukan arwah leluhur, akibat kesalahan manusia. Untuk menghentikan penularan wabah, maka digelar ritual Nulak Lating, yaitu membuat rakit dari pohon batang pisang, kemudian diberi atap.

Rabab (2020), mengatakan, berbagai sesajen di simpan di dalam rakit terbuat dari batang pohon pisang tersebut, dan kemudian dihanyutkan ke awah sungai bagian hilir. Saat menghanyutkan batang pisang melalui ritual Nulak Lating (nolak rakit), dilegendakan arwah roh jahat akan menyertai rakit terbuat dari pisang tadi, sehingga tidak lagi menyerang masyarakat.

Setelah itu warga satu kawasan atau satu kampung, melakukan aktifitas berpantang, minimal selama tiga hari, tidak boleh ke luar rumah, sebagai tanda pertobatan kepada arwah leluhur. (Aju)