Prof DR Arief Budiman (tengah)

Sosiolog Soe Hok Djin, Lekra dan Manikebu

Loading

Oleh Aju

JAKARTA (Independensi.com)  – Prof Dr Soe Hok Djin (Arief Budiman) sosiolog Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, dan Universitas Melbourne (Australia) meninggal dunia dalam usia 79 tahun karena menderita penyakit parkinson di Rumah Sakit Ken Saras, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah, pukul 11.30 WIB, Kamis siang, 23 April 2020.

Pria kelahiran Jakarta, 3 Januari 1941, meninggalkan satu orang istri, Leila Chairani dan dua orang anak, Adrian dan Santi.

Ucapan belasungkawa atas wafatnya Soe Hok Djin, datang dari berbagai pihak. Termasuk dari UKSW dan Universitas Melbourne, Australia.

Profesor Vedi Hadiz dari Melbourne University, dalam pernyataan dikeluarkan Asia Institute atas nama Universitas Melbourne menyampaikan ucapan belasungkawa.

Menurut Vedi Hadiz yang juga berasal dari Indonesia, Profesor Arief Budiman merupakan pendiri studi Indonesia di universitas tersebut dan mereka yang mengenalnya pasti mengenal dengan rasa bangga, sebagaimana dikutip Kompas.com, Jumat pagi, 24 April 2020.

Soe Hok Djin, seorang penganut ideologi global, yaitu sosialis tulen yang dimusuhi Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Januari 1967) dan Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998).

Dimusuhi Soekarno dan Soeharto, karena ketegaran Soe Hok Djin di dalam mempertahankan prinsip demokrasi yang bertujuan terciptanya keadilan sosial.

Soe Hok Djin, berhasil mempertahankan disertasi doktor sosiologi di Universitas Harvard, Amerika Serikat, 1986, dengan judul: “Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende”.

Dalam situasi politik di dalam negeri sudah berubah, Soe Hok Djin, tetap konsisten para sikap politiknya. Pada Agustus 2006, Soe Hok Djin menerima penghargaan Bakrie Award, acara tahunan disponsori keluarga Bakrie dan Freedom Institute untuk bidang penelitian sosial.

“Saya terima penghargaan ini sebagai penghinaan. Saya ini orang kiri yang menolak paradigma modernisasi dan pembangunanisme, tetapi saya malah mendapatkan penghargaan dari orang kanan,” kata Soe Hok Djine, saat menerima Penghargaan Achmad Bakrie 2006.

Di era Soe Hok Djin masih muda belia, dua ideologi global, sosialis – komunis diusung Union of Soviet Socialist Republic (USSR) di dalamnya anggotanya berintikan China dan liberalis – kapitalis diusung Amerika Serikat (AS).

Dua kekuatan besar saling berhadap-hadapan memperebutkan pengaruh pada semua kawasan.

Konsistensi Soe Hok Djin

Namun dalam perkembangannya, perjalanan ideologi global, penuh dengan dinamika. USSR runtuh pada 25 Desember 1991, karena kegagalan ideologi sosialis – komunis menciptakan keadilan sosial, sementara penganut ideologi liberalis – kapitalis, secara umum sukses di bidang pembangunan ekonomi.

Pasca keruntuhan USSR, 1991, secara umum sudah tidak ada lagi persaingan tajam antara dua penganut ideologi global. Dunia sudah berubah sedemikian rupa. Sudah tidak ada lagi sebuah negara, seratus persen menetapkan ideologi sosialis – komunis dan liberalis – kapitalis (A.M. Hendropriyono: 2013).

Di sinilah, pemikiran Soe Hok Djin, terbukti. Presiden Soekarno, melahirkan Indonesia berdasarkan ideologi sosialis, tapi sudah disesuaikan dengan alam dan budaya Bangsa Indonesia, melalui ideologi Pancasila, memang sangat relevan.

Karena menurut Soe Hok Djin, hakikat dari ideologi Pancasila, mengharuskan Indonesia dibangun sesuai dengan alam dan budaya Indonesia. Tidak boleh mengimpor budaya luar untuk dipaksakan diterapkan di Indonesia, dalam kaitan agama adalah produk budaya. Tidak boleh sumber keyakinan iman (agama yang dianut) dipaksakan menjadi ideologi di Indonesia.

Dari konsisten pemahaman Soe Hok Djin, sekarang, berbukti. China, sekarang, sebuah negara dengan komunis sebagai partai penguasa, menjadi kekuatan ekonomi, politik dan pertahanan baru di Dunia. China menjadi negara maju, karena konsisten, terukur, inovatif, utamakan kepentingan nasional di dalam membangun stabilitas politik dan keamanan.

China membuktikan kepada dunia internasional, bahwa kemampuan sebuah negara di dalam menyesuaikan diri di dalam perkembangan regional, nasional dan internasional, menjadi salah satu kunci utama di dalam keberhasilan pembangunan nasional.

Kepiawaian dan inovatif China, melalui penerapan ideologi sosialis – komunis dikolaborasi dengan ideologi liberalis – kapitalis, serta disinergikan dengan kebudayaan masyarakat lokal, dengan trilogi peradaban kebudayaan Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara, menjadi kunci kemajuan negara itu.

China sukses meramu program pembangunan, koloborasi ideologi sosialis – sosialis dan liberalis – kapitalis, tapi di dalam implementasinya disesuaikan dengan trilogi peradaban Kebudayaan masyarakat di Benua Asia (A.M. Hendropriyono: 2013; Aju: 2020).

Banyak negara sekarang tergantung dengan China di bidang ekonomi. Malah utang Amerika Serikat (AS) ke China menduduki peringkat pertama, lebih besar dari utang negara mana pun ke China.

Per Juni 2017, China memegang surat utang Pemerintah Amerika Serikat senilai US$1,15 triliun atau Rp15.295 triliun, naik US$44 miliar dalam sebulan (Detik.com, Rabu, 30 Agustus 2017).

Manikebu dan Lekra

Soe Hok Djin, dimusuhi Presiden Soekarno, karena sebagai salah satu pelaku sejarah saat terjadinya pertentangan kebudayaan cukup besar di Indonesia, antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

Tapi polemik di sekitar Lekra dan Manikebu, sejatinya hanya didasarkan pada persepsi politik. Pada masa itu, tidak ada ruang publik untuk berani membahas Lekra dan Manikebu dari sudut pandang ilmiah.

Lekra terbentuk pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif anggota yang aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu, D.N Aidit, Nyoto, M.S Ashar, dan A.S Dharta. Mukmadiah Lekra, dengan tegas menyatakan “revolusi Agustus 1945 telah gagal”.

Lekra menilai, revolusi rakyat pada Agustus 1945 seharusnya menjadi revolusi rakyat. Namun, revolusi digagalkan dengan adanya perjuangan diplomasi, karena Indonesia membuka perundingan dengan Belanda.

Kesibukan-kesibukan diplomatik disebut Lekra sebagai suatu pengkhianatan terhadap gerakan yang terus berkobar di lapisan bawah. Revolusi bagi Lekra begitu penting, revolusi adalah pra syarat lahirnya kebudayaan Indonesia baru. Sebab, kebudayaan feudal dan imprealis harus dihancurkan terlebih dahulu.

Karena itulah, Soe Hok Djin, sebagai salah penandatangan Manikebu tahun 1963. Manikebu, bentuk respon dari teror-teror dalam ranah budaya dilancarkan Lembaga Lekra.

Pada itu, dua kelompok lembaga kebudayaan itu, saling berhadap-hadapan di alam mempertahankan argumentasinya. Dalam berbagai kesempatan kampanye terbuka, Lekra sering memplesetkan Manikebu menjadi Manikebo yang artinya sperma kerbau.

Manikebu hadir karena Lekra dinilai berdasarkan realisme sosialis, yang disebut seni untuk mempromosikan kemajuan sosial dan mencerminkan realitas sosial, bukan mengeksplorasi jiwa manusia dan emosi. Lekra mendesak seniman untuk berbaur dengan orang-orang (turun ke bawah) untuk lebih memahami kondisi manusia.

Ada empat point Manikebu ditandatangani di Jakarta, 17 Agustus 1963. Pertama, “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.”

Kedua, “Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.”

Ketiga, “Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.”

Keempat, “Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.”

Manikebu ditandatangani di Jakarta, 17 Agustus 1963. Manikebu, adalah konsep kebudayaan pengusung humanisme universal, dicanangkan pada 1963 sebagai bentuk respon dari teror-teror dalam ranah budaya dilancarkan Lekra.

Para pengusung Manikebu terdiri dari para intelektual, sastrawan, dan seniman yaitu: H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasudut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk ,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.’

Manifes Kebudayaan dipublikasikan lewat surat kabar Berita Republik dalam ruang “Forum” Sastra dan Budaya No.1, Th I, 19 Oktober 1963 dan majalah Sastra Nomor 9/10, Tahun-III, 1963.

Manikebu dibubarkan Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964. Karena, Manikebu dianggap memiliki sikap ragu-ragu terhadap revolusi. Soekarno menganggap Manikebu sebagai narasi ‘manifesto politik’ yang lain, karena ragu-ragu memposisikan Pancasila sebagai perjuangan revolusi (Wijaya Bambang: 2013).

Lekra dan CIA AS

Dua tahun setelah Lekra dibubarkan, meledak Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta, berupa penculikan dan pembunuhan 7 jenderal senior Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).

Dampak G30S 1965, menimbulkan gelombang demonstrasi berbagai elemen mahasiswa melakukan aksi unjukrasa. Gelombang demostrasi, mengarah kepada ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Soekarno, karena keterpurukan ekonomi secara nasional pada tahun 1966.

Para mahasiswa penggerak demonstrasi tahun 1966, dinamakan Eksponen ‘66, dan Soe Hok Djin, alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, masuk daftar sebagai peserta.

Eksponen ’66 dimotori mahasiswa Unversitas Indonesia, Depok, pada 12 Januari 1966, menggelar aksi unjukrasa di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tri Tura, yaitu (1) Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, (2) Perombakan Kabinet Dwikora, (3) Turunkan harga pangan.

Dalam perkembangannya, Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (TNI-AD) Letnan Jenderal TNI Soeharto, pada 12 Januari 1966, dengan memanipulasi Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikeluarkan Presiden Soekarno (Subandrio: 2006).

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Ketetapan MPRS/XXV/MPRS/1966, tentang: Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Anggota Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

G30S 1965, membuat Pidato Nawaksara Presiden Soekarno ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebanyak tiga kali, yaitu pada 22 Juni 1966, pada 10 Januari 1967, dan pada 16 Februari 1967.

Penolakan Pidato Nawaksara Presiden ditolak, karena tidak secara tegas menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aksi pemberontakan melalui G30S 1965.

Akibat penolakan, Presiden Soekarno, menandatangani penyerahan kekuasaan di Istana Negara Jakarta, 20 Februari 1967. MPRS kemudian memberhentikan Presiden Soeharo pada 12 Maret 1967.

MPRS menunjuk Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto, menjadi Penjabat Presiden pada 1 Juli 1967, kemudian dikukuhkan menjadi Presiden setiap lima tahun sekali selama 32 tahun hingga 21 Mei 1998.

Pembubaran PKI, berimplikasi pula kepada pemberangusan Lekra, karena dituding secara sepihak, hanya berdasarkan persepsi politik, berhaluan sosialis – komunis. Sebuah tudingan paling ditakuti sejak G30S 1965.

Tapi dalam perkembangannya, G30S 1965, adalah kudeta Pangkostrad Letnan Jenderal TNI Soeharto kepada Presiden Soekarno, dibiayai Central Inteligence Agency Amerikat (CIA).

Terungkap pertama kali secara ilmiah bahwa G30S 1965 sebagai kudeta Soeharto, dari mantan diplomat Amerika Serikat, Peter Dale Scott. Peter Dale Scott, 1998, menulis buku: “Konspirasi Soeharto – CIA, Penggulingan Presiden Soekarno, 1965 – 1967”; Surabaya: Perkumpulan Kebangsaan dan Anti Diskriminasi (Pekad) Univeritas Airlangga.

G30S 1965 sebagai kudeta Pangkostrad Letjen TNI Soeharto, diungkap lebih terbuka dalam disertasi John Roosa, peneliti dari Kanada. Profesor Dr John Roosa dari University of British Columbia (UBC), Kanada. Bukunya, “Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia”, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007). John Roosa sebut, G30S 1965, kudeta Soeharto dibiayai CIA AS.

Soe Hok Djin ditangkap Soeharto

Era pemerintahan Presiden Soeharto, aktifis Soe Hok Djin, tetap menunjukkan konsistensi sebagai seorang penganut ideologi sosialis.

Ketika sebagian di antara oknum anggota penandatangan Manikebu, patut diduga berubah menjadi ilmuwan tukang, sastrawan tukang, dan budayawan tukang, Soe Hok Djin, tetap konsisten pada pendiriannya sebagai seorang sosialis tulen.

Tahun 1973, Soe Hok Djin ditangkap Presiden Soeharto, karena pendukung Golongan Putih (Golput), yakni sebuah gerakan tidak boleh memilih Golongan Karya (Golkar). Soe Hok Djin, menilai Presiden Soeharto, berkaca hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1971, Golkar tidak lebih dari alat pemerintah untuk terus berkuasa.

Akan tetapi, di sisi lain, kawan seperjuangan Soe Hok Djin penandatangan Manikebu tahun 1963, patut diduga terbuai rayuan Presiden Soeharto dan CIA AS di dalam menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Karena selama berkuasa Soeharto sebagai alat AS di dalam memberangus paham komunis di Asia Tenggara (John Roosa: 2012).

Melalui sebagaian oknum eks penandatangan Manikebu, inilah, patut diduga berbagai manipulasi di sekitar G30S 1965, dilakukan.

Wijaya Bambang (2013), mengatakan, rezim Soeharto sukses dalam memelintir sejarah kiri di Indonesia untuk mencitrakannya sebagai ideologi iblis yang menjadi ancaman terbesar bagi negara.

Terbukti, jauh sesudah Soeharto jatuh, 21 Mei 1998, anti-komunisme tetap bercokol kuat dalam masyarakat Indonesia.

Faktor-faktor membentuk dan memelihara ideologi anti-komunis itu, bukan saja sebagai hasil dari kampanye politik, melainkan juga hasil dari agresi kebudayaan, terutama melalui pembenaran atas kekerasan yang dialami oleh anggota dan simpatisan komunis pada 1965 -1966.

Produk budaya dan CIA AS

Pemerintahan Presiden Soeharto (1 Juli 1966 – 21 Mei 1998) beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966.

Ada intervensi Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS) kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme bukanlah isapan jempol belaka. Ada perlawanan kelompok-kelompok kebudayaan Indonesia kontemporer terhadap warisan anti-komunisme rezim Soeharto.

Ada lembaga filantropi bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme barat dan anti-komunisme’ (Wijaya Bambang: 2013).

Jika ini benar, maka tidak menutup kemungkinan, Manikebu dalam perjalannya kemudian disusupi CIA AS untuk melawan Lekra yang dipersepsikan secara politik bagian dari PKI dan memberangus ideologi sosialis di Indonesia (dalam kaitan ideologi Pancasila berurat-berakar dari ideologi global, sosialis, tapi sudah disesuaikan dengan alam dan budaya Indonesia).

Karena CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC), pimpinan Frank Wisner, seorang pejabat CIA AS terlibat dalam perencaaan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Persatuan Rakjat Semesta (PRRI/Permesta), 1957-1958.

Salah satu oknum penandatangan Manikebu, patut diduga mendapat proyek dari Ivan Kats, Congrès pour la Liberté de la Culture’, Perancis, diminta menuliskan upaya-upaya PKI dalam menghancurkan identitas dan pengalaman kultural orang-orang yang tidak sepaham dengannya, hingga menterjemahkan karya sastrawan Prancis, Albert Camus, mendapat bayaran US$50 (Wijaya Bambang: 2013).

Dari pengalaman ini, Soe Hok Djin, telah memberikan teladan kepada kita semua, betapa konsistensi keilmuwan seseorang dibutuhkan. Ilmuwan dan politisi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bisa digunakan untuk kemanfaatan, namun di sisi lainnya bisa digunakan untuk kejahatan.

Jika pisau itu di tangan seorang ibu rumah tangga, barangkali akan dipakai untuk memotong sayuran. Namun jika pisau itu ada di tangan ilmuwan, maka digunakan mati-matian mempertahankan argumentasi ilmiah berupa pembenaran, sesuai pesanan, sehingga muncul istilah ilmuwan tukang.

Jalan hidup Soe Hok Djin, penuh dinamika. Soe Hok Djin, seorang Tionghoa yang menganut Agama Islam yang taat. Kembali dari Harvard, Arief mengajar Universitas Kristen Satya Wacana (UKWS) di Salatiga sejak 1986 sampai 1995.

Ketika UKSW dilanda kemelut yang berkepanjangan karena pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Soe Hok Djin melakukan mogok mengajar, dipecat, dan akhirnya hengkang ke Australia, serta menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne.

Soe Hok Djin pernah menjadi redaktur Majalah Horison (1966-1972). Sejak 1972 sampai 1982, Soe Hok Djin menjadi anggota Dewan Penasehat Majalah Horison. Soe Hok Djin, pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971). Sejak tahun 1968-1971, Soe Hok Djin menjadi anggota Badan Sensor Film.

Soe Hok Djin dianggap sebagai tokoh Metode Ganzheit sejak Diskusi Sastra 31 Oktober 1968 di Jakarta dan terlibat polemik dengan M.S Hutagalung sebagai perwakilan Aliran Rawamangun. Soe Hok Djin juga dianggap sebagai tokoh dalam perdebatan Sastra Kontekstual sejak Sarasehan Kesenian di Solo, Oktober 1984.

Soe Hok Djin pernah memperdalam ilmu di bidang pendidikan di College d’Europe, Brugge, Belgia, 1964. Soe Hok Djin menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 1968.

Soe Hoe Djin kuliah lagi di Paris pada 1972, dan meraih Ph.D., dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1980.

Di antara buku ditulis Soe Hok Djin, adalah Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (skripsi sarjana psikologi (UI) (Pustaka Jaya, 1976).

Kemudian, Transmigrasi di Indonesia: Ringkasan Tulisan dan Hasil-Hasil Penelitian (1985). Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende (disertasi untuk gelar doktor sosiologi pada Universitas Harvard), dan terbit 1986.

Ada lagi, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1982). Soe Hok Djin, pernah mendapat Esainya, “Manusia dan Seni”, mendapatkan Hadiah Ketiga majalah Sastra, 1963.

Soe Hok Djin, selamat jalan. Beristirahatlah dalam damai. ***

Aju, adalah Wartawan, Divisi Pelayanan Publik, Data dan Informasi Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) di Pontianak.