Featured Video Play Icon

Pengelolaan Peternakan yang Buruk Berpotensi Picu Epidemi

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Organisasi non-profit internasional Sinergia Animal merilis video penyelidikan praktik kontroversial yang digunakan oleh produsen telur nasional. Potongan-potongan dokumentasi ini diperoleh di 13 peternakan yang berbeda di Indonesia dan masing-masing menunjukkan ayam yang tinggal dalam kerangkeng baterai, sebuah sistem kurungan intensif yang dapat berkontribusi pada penyebaran penyakit.

“Lebih dari sebelumnya, kita harus memperhatikan cara hewan diternakkan. Ada terlalu banyak hewan berjejalan dalam satu tempat, dan ini bisa menjadi tempat berkembangnya penyakit berbahaya yang dapat muncul atau menyebar,” kata Among Prakosa, koordinator Act For Farmed Animals, koalisi LSM yang terdiri dari Sinergia Animal and Animal Friends Jogja.

Peringatan dari para aktivis hewan didasari pada informasi dari Program Lingkungan PBB (UNEP), yang dalam beberapa pekan terakhir telah menyatakan bahwa ‘intensifikasi produksi ternak’– peternakan skala industri yang mengurung sejumlah banyak hewan, seperti halnya peternakan telur yang ada dalam video — meningkatkan risiko munculnya ‘epidemi zoonosis’, epidemi yang berasal dari hewan.

UNEP menyoroti bahwa tig a dari empat penyakit menular baru pada manusia adalah zoonosis. Banyak dari penyakit ini mungkin berasal dari hewan liar, tetapi mereka dapat menyebar dan menular ke hewan ternak. Kemudian, manusia – seperti buruh tani, tukang daging, penjual, dan konsumen yang pergi ke pasar, mengonsumsi produk hewani, atau mengonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh kotoran hewan – akan terinfeksi oleh hewan ternak atau makanan yang bersentuhan langsung dengan mereka.

Ini berarti bahwa ternak berperan sebagai jembatan antara penyakit satwa liar dan infeksinya pada manusia. Misalnya flu burung, yang pertama kali beredar pada burung liar, kemudian menginfeksi unggas domestik, dan akhirnya ditularkan dari unggas ke manusia.

Masalah kesehatan masyarakat lain yang relevan terkait dengan produksi telur dalam sistem kerangkeng, adalah risiko kontaminasi salmonella: infeksi bakteri yang bersentuhan langsung membuat manusia sakit melalui konsumsi produk hewani yang terkontaminasi, seperti daging unggas dan telur, dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak-anak dan orang tua, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Sebuah studi besar yang dilakukan oleh Otoritas Keamanan Pangan Uni Eropa (EFSA) menunjukkan bahwa peternakan kerangkeng baterai jauh lebih mungkin terkontaminasi salmonella daripada peternakan non-kerangkeng.

Saat melakukan penelitiannya, para peneliti menemukan bahwa sebagian ayam di peternakan yang dikunjungi di Indonesia juga memiliki penyakit yang disebut infeksi coryza, dan infeksinya sangat parah sehingga beberapa bahkan kehilangan penglihatannya.

(Foto: Sinergia Animal Indonesia)

Ilegal di Negara Lain

Kerangkeng baterai konvensional dianggap sangat kejam dan tidak aman, sehingga dihapuskan di lebih dari 30 negara yang berbeda — termasuk di dalamnya semua negara anggota Uni Eropa, Selandi a Baru, dan Kanad a. Di AS, tujuh negara bagian juga telah menyetujui undang-undang larangan terhadap berbagai sistem kerangkeng ini.

Meskipun demikian, sekitar 88% produksi telur di Indonesia diproduksi dalam sistem jenis ini, yang mana setiap kerangkeng dapat memuat hingga 12 ekor ayam. Mereka seringkali mengalami patah tulang dan osteoporosis karena kurangnya aktivitas, dan kerontokan bulu karena kontak terus menerus dengan jeruji kandang. “Para ilmuwan telah membuktikan bahwa ayam mampu merasakan sakit, stres, dan ketakutan. Kita tidak bisa terus memperlakukan hewan-hewan seperti ini,” kata Among.

Jalan Keluar

Sekarang, para aktivis meminta berbagai jaringan besar perusahaan makanan, seperti McDonald’s, untuk menerapkan kebijakan telur non-kerangkeng mereka ke Indonesia. McDonald’s telah berkomitmen untuk berhenti menggunakan telur dengan sistem kerangkeng di Amerika Utara dan Amerika Latin, tetapi hal yang sama belum juga dilakukan di Asia. Sebuah petisi daring telah mengumpulkan lebih dari 17.000 tanda tangan yang meminta McDonald’s Indonesia untuk mengadopsi standar serupa.

Selain itu, beberapa bisnis lain telah mengumumkan komitmen untuk tidak lagi menggunakan telur dari ayam yang dikerangkeng dalam rantai pasokan mereka. Kraf t Heinz, Nestlé, Mondelez, Radisson, Hilton, Best Western, Club Med, dan Wyndham adalah beberapa contoh perusahaan yang beroperasi dengan kebijakan ini di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

“Alternatif sudah tersedia. Produsen terkemuka sudah menjual telur non-kerangkeng di Indonesia. Selain itu, banyak orang yang beralih ke pola makan nabati dan berhenti mengonsumsi produk hewani, termasuk telur. Yang kami minta dengan kampanye ini adalah agar konsumen membuat pilihan yang lebih sadar dan bijaksana,” jelas Among.

Act for Farmed Animal adalah kampanye bersama yang dijalankan oleh organisasi non-profit Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal untuk meningkatkan kondisi hidup hewan ternak di Indonesia. Kami percaya dunia yang lebih baik untuk para hewan dapat diwujudkan, jika kita mulai memberikan edukasi kepada publik tentang bagaimana hewan diperlakukan dalam sistem produksi pangan.