Luhut, Said Didu dan Stereotip Investasi China

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Mantan Sekretaris Kementerian Badan Udaha Milik Negara (BUMN), Muhammad Said Didu, mangkir dari panggilan Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Metro Jaya), Senin, 4 Mei 2020. Said Didu dilaporkan atas pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dam Investasi (Marves) Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan.

Said Didu berurusan dengan hukum, karena menolak meminta maaf kepada Luhut, atas unggahan rekaman video di youtube. Said Didu, menyoroti soal isu persiapan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur yang masih terus berjalan, di tengah usaha Pemerintah dan semua pihak menangani wabah Corona Virus Disease-19 (Covid-19).

Said Didu mengatakan, Pemerintah tidak memprioritaskan masalah kesejahteraan rakyat umum dan hanya mementingkan legacy. Disebutkan, Luhut ngotot agar Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, tidak “mengganggu” dana untuk pembangunan IKN baru dan hal tersebut dapat menambah beban utang negara.

“Kenapa itu dilakukan karena ada pihak yang ngotot, agar anggarannya tidak dipotong, dan saya pikir pimpro (pimpinan proyek) pemindahan ibu kota, Luhut Pandjaitan, itulah yang ngotot agar anggarannya tidak dipotong. Sehingga, Sri Mulyani punya ide untuk menaikkan jumlah utang,” ucap Said Didu.

“Kalau Luhut, kan, kita sudah tahulah. Ya memang menurut saya, di kepala beliau, itu, hanya uang, uang, dan uang. Saya tidak pernah melihat bagaimana dia mau berpikir membangun Bangsa dan Negara,” ujar Said Didu.

“Memang karakternya demikian, hanya uang, uang, dan uang. Saya berdoa mudah-mudahan terbersit kembali Sapta Marga yang pernah diucapkan oleh beliau sehingga berpikir untuk rakyat bangsa dan negara. Bukan uang, uang, dan uang,” kata Said Didu.

Luhut menilai, ungkapan Said Didu, sudah di luar batas kritik konstruktif. “Secara keseluruhan, seseorang dapat dikenakan pasal hate speech, ujar kebencian, Pasal 317 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan 318 KUHP dan juga dapat dikenakan Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang: Informasi Teknologi Elektronik (ITE) jika menyebarkan ujaran kebencian, yaitu bisa memprovokasi, menghasut, serta penyebaran kabar atau berita bohong melalui media sosial,” tegas Jodi Mahardi, Jurubicara Kementerian Marves.

Melihat polemik di sekitar perseteruan Luhut dan Said Didu, mudah ditebak, terkait keterlibatan seseorang di dalam penyelenggaraan roda pemerintahan negara. Karena Said Didu, sebelumnya pernah terlibat langsung di dalam pemerintahan. Said Didu, tiba-tiba bicara lepas kontrol, setelah tidak lagi dilibatkan sejak tahun 2018.

Luhut, memang jadi sasaran tembak banyak pihak, karena dinilai menjadi bamper Presiden Indonesia, Joko Widodo, di dalam mengamankan investasi China. Luhut kemudian dicap antek China di Indonesia.

Menghujat Luhut, sekaligus pula sebagai bentuk sikap stereotip kalangan kadal gurun (kelompok garis keras kearab-araban) atau kadrun terhadap investasi China di Indonesia.

Tapi Luhut berdalih, meningkatkan investasi China di Indonesia, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja baru.

“Investasi dari China memang terbuka lebar, karena mudah diatur sesuai alam Indonesia. Kalau saya ditantang lagi (tentang investasi dari China). China lagi, itu mudah kami suruh apa saja mau. Buat saya, itu, kan, untuk kepentingan nasional,” ucap Luhut, di Jakarta, Kamis, 12 September 2019.

Luhut menegaskan, tidak masalah dengan investor mana, termasuk China, asal mereka membawa keuntungan bagi Indonesia. Lagi pula, siapa pun investornya, Pemerintah selalu memberikan aturan yang tegas.

Soal sumber investasi, Luhut, memastikan selalu berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo. Pemerintah selalu terbuka dengan pihak mana pun yang ingin menanamkan dananya di Indonesia.

“Saya bilang ke Presiden, Pak ini bicara soal national interest, sepanjang national interest bisa diamankan, ya tidak peduli dari mana. Kalau orang mau tembak saya biar saja, saya hanya mengabdi,” papar Luhut.

Luhut tidak memungkiri bahwa dirinya seringkali dianggap orang kepercayaan China. Sebab, banyak aliran investasi dari negara tersebut beberapa waktu terakhir.

“Saya sering dikritik China terus, Dubes kehormatan China. Yang ngomong asal bunyi atau asbu, saja. Kami kan punya rule of thumb, aturan, bagi investor,” jelas Luhut.

Yaitu, wajib mendidik tenaga kerja lokal. Di sini, investor diberikan kewajiban menggelar edukasi kepada karyawan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di dalam negeri.

“Mungkin tahun pertama oke pakai tenaga kerja asing dulu, tapi saya minta investor untuk dirikan politeknik,” kata Luhut.

Syarat lainnya, investor harus mengedepankan bisnis yang ramah lingkungan. Mereka juga harus memastikan bahwa pembangunan bisnisnya bisa berkelanjutan (sustainable).

Lalu, syarat lainnya adalah investor harus melakukan transfer teknologi dan memberikan nilai tambah bagi industri secara keseluruhan. Luhut menyatakan pemerintah akan memberikan prioritas bagi investor yang berniat mengolah sumber daya alam mineral di dalam negeri.

Pembelaan Moeldoko

Realisasi investasi China ke Indonesia, memang melesat, dari US$4,7 miliar tahun 2018 menjadi US$2,4 miliar 2019. Tapi investasi China, bukan yang terbesar di Indonesia. Badan Koordinasi Penanam Modal (BPKM) Republik Indonesia, Rabu, 29 Januari 2020, menyebutkan, investasi China berada di urutan kedua terbesar.

China menggusur posisi Jepang yang pada 2018 berada diurutan kedua dengan nilai investasi sebesar US$4,95 miliar. Investasi Jepang pada 2019 turun menjadi US$4,31 miliar.

Tahun 2019 investasi asing terbesar masih dipegang Singapura sebesar US$6,5 miliar. Namun, investasi Singapura merosot dibandingkan dengan tahun 2019 sebesar US$9,19 miliar. Singapura berkontribusi terhadap investasi asing 23,1 persen. Adapun, China sebesar 16,8 persen dan Jepang 15,3 persen (Bisnis.com, Rabu 29 Januari 2020).

Anti China, suara yang sering didengungkan kalangan yang tidak suka dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal itu, diakui Kepala Staf Presiden, Jenderal (Purn) Moeldoko.

Moeldoko mengingatkan semua pihak, supaya berpikir secara realistis, karena tidak ada negara manapun di dunia, bisa meningkatkan pertumbuhan ekonominya, bisa menciptakan lapangan pekerjaan, tanpa investasi, baik itu investasi dari dalam maupun luar negeri.

Menurut Moeldoko, situasi sekarang sudah sedemikian berubah. Dulu, Amerika Serikat dikenal dengan kekuatan ekonominya, pasca Perang Dingin, 1945 – 1991. Tapi sekarang China, menguasai surat utang Amerika US$1.15 trilyun tahun 2017.

“Apakah otomatis Amerika dicaplok China? Tidak. Arab Saudi, investasi di China US$870 triliyun. Apakah rakyat China terkencing-kecing merasa dijajah Arab? Tidak. Amerika Serikat, investasi US$122 triliun ke Singapura, apakah warga Singapura otamatis jadi antek asing? Tidak. Sebanyak 252.000 tenaga kerja Indonesia bekerja di Taiwan. Apakah rakyat Taiwan merasa dijajah Indonesia? Tidak,” kata Moeldoko.

Kemudian, menurut Moeldoko, “Jumlah tenaga kerja Indonesia di China 81.000 orang, sementara tenaga kerja Indonesia di Hongkong 153.000 orang, di Macau 16.000 orang, apakah rakyat China, Hongkong dan Macau merasa dijajah Indonesia? Tidak. Tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia sebanyak 74.183 orang. Sementara 21.271 orang di antaranya berasal dari China, disusul Jepang dan lain-lain. Tapi sebagian dari kita sudah terkencing-kencing merasa dijajah oleh China.”

Moeldoko, menuturkan, “Mengapa rakyat negara-negara dimana tenaga kerja Indonesia berkerja tersebut bisa bernalar dengan benar? Karena mereka bisa membedakan antara bisnis dengan kedaulatan negara. Dunia abad dua puluh satu, tidak dipetakan lagi oleh suku, ras dan agama. Masyarakat modern, sudah tidak mempermasalahkan lagi perbedaan keyakinan. Mereka, bersama-sama membangun peradaban.”

“Di sini, di Indonesia, tidak begitu. Yang didahulukan hanya kebencian karena takut berkompetisi dan takut kalah dalam persaingan hidup. Kemudian dibalut dengan pemahaman sempit dalam beragama,” ujar Moeldoko di dalam akun facebook-nya, Senin, 4 Mei 2020.

Pembelaan Erizeli Jely Bandaro

Pembelaan datang pula dari Erizeli Jely Bandaro, salah satu pelaku bisnis di Indonesia.

Ada orang bilang bahwa China berambisi masuk ke Indonesia karena Indonesia kaya sumberdaya alam.

“Kalau sumber daya alam, China sudah menguasai tambang nikel kadar tinggi di Australian. China buka smelter di Sulawesi, itu, karena pertimbangan logistik agar efisien,” ujar Erizeli Jely Bandaro di dalam akun facebooknya, Rabu, 5 Mei 2020.

Karena bahan mineral nikel kadar tinggi, China datangkan dari Australia. China hanya beli kadar rendah dari Indonesia. Artinya China tidak menguasai tambang di Indonesia. Mereka hanya jadi buyer lokal dan mengolahnya di Indonesia. Bahkan batu bara untuk pembangkit listrik kawasan, China datangkan dari Austalia. Di mana di Australia, China juga punya tambang batubara sendiri, dengan kadar tinggi.

“Untuk baja? China punya tambang raksasa di Brazilia dan di Australia. Kita, Indonesia, di pabrik baja PT Kratau Stell, beli biji besi dari Brazilia, di tambang punya China. Lahan pertanian? China punya estate food di Laos, Kamboja dan yang sangat luas mereka punya di Mongolia. Mereka juga tanam gandum di Brazilia dan Argentina yang luasnya 10 kali dari lahan mereka yang ada di Papua. Apa artinya? mereka tidak tergantung amat sama Indonesia,” ujar Erizeli Jely Bandaro.

Menurut Erizeli Jely Bandaro, “Kita protes China ikut dalam konsorsium bangun ibukota baru. Tetapi tahukah Anda, China sudah lebih dulu bangun Ibukota baru untuk Mesir? Bahkan, China lead consortium, proyek ibukota baru Mesir. Apakah ada rakyat Mesir protes? tidak ada. Bahkan, China, dianggap sebagai mitra terhormat di sana, Mesir.”

“China punya uang, dan semua sumber daya. Anda bisa bayangkan membujuk orang kaya saja susah, Apalagi membujuk orang punya uang, sumber daya, teknologi dan pasar. Saya selaku salah satu pelaku bisnis, mengalami sendiri, betapa sulit meyakinkan investor dari China. Apalagi kesan mereka kepada orang Indonesia, tidak seratus persen bagus.”

Menurut Erizeli Jely Bandaro, “Orang China itu, tidak suka konflik. Makanya investor dari China, sangat hati hati membuat keputusan bisnis. Kalaupun akhirnya mereka setuju, itu karena nilai-nilai persahabatan. Kalau Anda gagal menjadikan mereka sahabat, jangan harap bisa bermitra.”

“Setelah bermitra, perhitungan bisnis investor China,sangat kuat, sekuat mereka bekerja keras menciptakan laba. Jadi kalau dia lihat anda tidak serius, mereka cepat sekali cutloss. Tetapi kalau anda serius, maka apapun resiko mereka bisa terima dan bersama sama mengatasinya.”

“Makanya Luhut Binsar Panjaitan, berusaha merebut hati China. Karena Pemerintah Indonesia, sadar, saat sekarang, hanya China yang punya uang dan sumber daya. Meyakinkan China lebih sulit, dibandingkan meyakinkan Jepang dan Amerika Serikat.”

“Tetapi kalau deal, investor dari China, sangat serius. Di kepala investor China, hanya uang. Tidak ada urusan dengan politik. Kalau ditanya mereka sendiri tidak paham dengan komunis. Tapi kalau ditanya uang, pingsan pun mereka bisa segera sadar,” ujar Erizeli Jely Bandaro.(Aju)