Tahapan ritual religi Dayak yang mesti pula dibarengi pemahaman dari aspek religiositas dan spiritualitas. Manusia Dayak berspiritualitas, tidak akan melakukan hal-hal yang merusak alam. Moralitas hijau (yang berpihak pada kelestarian biodiversitas kehidupan) selalu menjadi bagian dari nurani alamiahnya.

Kriminalisasi Wartawan, Menakar Spiritualitas Agama Dayak

Loading

BANJARMASIN (Independensi.com) – Dayak International Organization (DIO), wadah berhimpun untuk pengembangan kebudayaan Suku Dayak di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, mengirim press release yang ditembuskan kepada Ketua Umum Majelis Hakim Adat Dayak Nasional dan Perwakilan Tetap Suku Dayak di Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, Sabtu malam, 9 Mei 2020.

Dalam siaran pers, DIO menilai, ada potensi kriminalisasi terhadap penangkapan wartawan Banjarhits.id, Dinanta Putra Sumedi (sebelumnya ditulis Dinata) dilakukan penyidik Polisi Republik Indonesia dari Polisi Daerah Kalimantan Selatan di Banjarmasin, Senin sore, 4 Mei 2020, sehubungan pemberitaan dinilai provokatif, Jumat, 8 Nopember 2019.

Karena sebelumnya, sudah ada kesepakatan dengan Dewan Pers di Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020, yaitu melalui Hak Jawab, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, tentang: Pers.

Ini sesuai memorandum of understanding Dewan Pers – Polisi Republik Indonesia, 9 Februari 2012, bahwa sengketa akibat pemberitaan pers, diselesaikan sesuai Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 40 Tahun 1999. Tapi Polisi Republik Indonesia, justru menangkap Dinanta, didasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008, tentang: Informasi dan Transaksi Elektronik.

Hak Jawab belum diturunkan, Dinanta ditangkap atas berita Banjarhits.id, Jumat, 8 Nopember 2019, berjudul: “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel (Polisi Daerah Kalimantan Selatan)”, berisi perampasan tanah adat Dayak seluas 500-an hektar di Desa Cantung Kiri Hilir, Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan yang patut diduga dilakukan PT Johnlin Agro Raya (JAR).

Penangkapan wartawan Dinanta Putra Sumedi, menjadi paradoks, karena didasarkan pelaporan yang patut diduga dari oknum pengurus salah satu lembaga agama asli Suku Dayak yang bersumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak, hukum adat, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.

Sumber doktrin ini sebagai pembentuk karakter dari jatidiri manusia Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Jika informasi ini benar, menjadi sangat ironis, ketika konstitusi di Indonesia, sudah mengakui keberadaan agama asli dari berbagai suku Bangsa Indonesia yang lahir dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia, didasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tanggal 7 Nopember 2017, sebagai pengakuan keberadaan aliran kepercayaan.

Jika informasi yang berkembang memang ada oknum pemuka agama asli Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Selatan, patut diduga, membuat laporan polisi, sehingga dijadikan alasan penangkapan Dinata Putra Sumedi oleh Polisi Daerah Kalimantan Selatan, Senin sore, 4 Mei 2020, membuktikan runtuhnya benteng pertahanan kebudayaan Suku Dayak, dalam konteks hutan sebagai simbol dan sumber peradaban di dalam aplikasi doktrin agama asli Suku Dayak.

Gambaran peradaban

Kasus dugaan pelaporan patut diduga dilakukan salah satu oknum pengurus lembaga agama asli Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Selatan, bisa dijadikan gambaran umum peradaban kebudayaan di Indonesia, dalam konteks salah satu subpranta peradaban kebudayaan yang melahirkan agama.

Wakil Presiden Pemerintah Republik Indonesia, K.H. Maaruf Amin, bahkan secara khusus menyorot eksistensi keberagaan Agama Islam di Indonesia, dimana diakui, penyebab sulit berkembangnya sebagian besar negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, karena sebagian besar umat masih konservatif dalam menerapkan ajaran agama di kehidupan sehari-hari.

Cara berpikir konservatif menjadi salah satu penyebab mengapa negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim masih tergolong underdevelopment country dan mengalami ketertinggalan dalam ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Dalam berbagai kesempatan selalu diklaim, dari 267 juta penduduk di Indonesia, berdasarkan data tahun 2020, misalnya, disebut lebih dari 80 (delapan puluh) persen beragama Islam.

Cara berpikir tersebut semakin berkembang akhir-akhir ini di Indonesia, khususnya ketika muncul kelompok-kelompok masyarakat yang berpikir bahwa kemurnian Islam harus dibangun dengan cara tekstualis.

Cara berpikir seperti itu memang sudah mulai berkembang akhir-akhir ini, ketika isu kemurnian Islam harus dibangun dengan kemudian kita mengalami kemunduran berpikir dan mengarah pada cara pikir yang sangat tekstual (baca, rmco.id, Minggu, 10 Mei 2020).

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berjuang menggantikan ideologi Pancasila menjadi ideologi Islam, sehingga dibubarkan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, dapat dijadikan salah satu contoh.

Kelompok konservatif, menurut Wakil Presiden Republik Indonesia, K.H. Ma’aruf Amin, biasanya menolak adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka menganggap, perkembangan itu tidak sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran agama Islam secara tekstual. Padahal, pemahaman secara tekstual dan konservatif itu tidak sesuai dengan salah satu Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW).

Cara berpikir konservatif menghambat upaya-upaya dalam mewujudkan peradaban Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, kata Pemerintah Republik Indonesia, pola pikir moderat harus ditanamkan dan dikembangkan di negara Islam dan negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Cara berpikir konservatif seperti itu menghambat dan kontraproduktif terhadap upaya membangun kembali peradaban Islam. Oleh karena itu, cara berpikir wasathi dapat menjadi pijakan untuk membangun kembali peradaban Islam yang kuat (rmco.id, Minggu, 10 Mei 2020).

Spiritualitas agama Dayak

Pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia, ini, menjadi catatan penting, karena agama pada dasarnya mengajarkan damai dan kerukunan. Tapi, perilaku umat dan pemimpin umatnya seringkali kontraproduktif, sangat agresif (penuh kekerasan), sombong dan menindas hak-hak asasi manusia.

Ada agama yang mengajarkan kesederhanaan dan cinta. Namun, perilaku umatnya suka pamer kekayaan, dan manipulatif. Agama asli Suku Dayak yang mengajarkan umatnya mesti akrab dengan alam, justru patut diduga menjadi alat untuk merusak alam.

Ini terjadi, karena agama dilihat sebagai sebuah lembaga, sehingga membedakannya dilihat dari sudut pandang religiositas, dan dengan spiritualitas.

Inilah akar kemunafikan yang ditemui dalam hidup sehari-hari. Termasuk jika ada dugaan kemunafikan di kalangan oknum pemuka lembaga agama asli Dayak. Agama hanya dilihat dari kulit luarnya saja, sehingga perlu dipahami tiga aspek penting di dalamnya.

Pertama, agama adalah organisasi. Sebagaimana semua organisasi, agama dijadikan alat pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan. Ada uang bermain di dalamnya. Manipulasi dan intimidasi kerap terjadi.

Di Indonesia, agama sering digunakan para mafia untuk menciptakan perpecahan dan mencapai tujuan di dalam pemilihan langsung Kepala Daerah dan kepentingan pragmatis lainnya, misalnya. Agama juga dikendarai oleh partai politik, dan di dalam kenyataannya, seringkali digunakan untuk merebut kekuasaan secara tidak jujur.

Kedua, religiositas adalah jantung hati agama, termasuk jantung hati agama Dayak. Ini menyangkut pengetahuan dan penghayatan seseorang pada agama tertentu. Orang yang religius berarti menghayati betul ajaran agamanya, termasuk menerapkan betul-betul ajaran agama asli Dayak, dan menerapkannya secara sungguh di dalam hidup sehari-hari.

Namun, ada masalah di sini. Orang yang religius masih terbatas pada ajaran agama tertentu, termasuk ajaran Agama Dayak. Religiositas masih menjadi manusia partikular. Pandangannya masih sempit, karena terpuku pada ajaran agama tertentu. Ia masih sektarian.

Ketiga, bentuk berikutnya adalah spiritualitas. Spiritualitas adalah pemahaman orang akan jati dirinya sejatinya, sebelum semua identitas sosial muncul. Menjadi manusia spiritual berarti menjadi manusia universal. Ajaran berbagai agama dipelajari, namun orang tidak terjebak di dalam salah satunya.

Manusia spiritual adalah manusia semesta. Manusia melihat dirinya sebagai warga semesta yang melintasi semua batas-batas buatan manusia (seperti negara, etnis, ras, dan agama).

Reza A.A. Watimmena (2019), mengatakan, moralitasnya bukan sekumpulan hukum yang tidak lagi cocok dengan jaman, melainkan nurani. Baik dan buruk selalu menyesuaikan dengan keadaan di sini dan saat ini.

Manusia spiritual, termasuk di dalam spiritualitas agama Dayak, juga melihat alam sebagai bagian dari dirinya. Manusia berspiritualitas, tidak akan melakukan hal-hal yang merusak alam. Moralitas hijau (yang berpihak pada kelestarian biodiversitas kehidupan) selalu menjadi bagian dari nurani alamiahnya.

Hidup seseorang amat tergantung pada cara pandangnya. Cara pandang seseorang amat tergantung pada identitasnya. Jika identitasnya sempit, maka cara pandangnya juga sempit. Hidupnya juga sempit dan menjadi mudah diperalat demi kepentingan pragmatis.

Sebaliknya, manusia spiritual adalah manusia semesta. Identitasnya seluas semesta. Cara pandangnya seluas semesta. Hidupnya pula, dengan demikian, seluas semesta. Kemunafikan terjadi, ketika orang hanya menjadi orang beragama dari kulit luarnya saja.

Ia tidak paham dan tidak menghayati ajaran agamanya. Hidupnya sempit dan korup dan serba pragmatis. Ia hanya mengabdi kekuasaan buta, tidak memiliki keteladanan moral, dan menggunakan agama, termasuk dugaan menggunakan lembaga agama asli Dayak, untuk mencapai itu.

Di Indonesia, menjadi manusia religius sebenarnya cukup. Orang sungguh menghayati ajaran agamanya dalam hidup sehari-hari. Namun, orang semacam ini belum menyentuh dimensi terdalam kehidupan.

Dikatakan Reza A.A. Watimena (2019), spiritualitas sudah mengetuk, namun pintu belum dibuka olehnya. Indonesia, butuh manusia-manusia spiritual. Mereka harus menjadi pemimpin politik sekaligus ekonomi. Mereka harus menjadi tokoh masyarakat. Hanya dengan begitu, perdamaian di dunia yang semakin majemuk dan kompleks ini mungkin terwujud.

Dalam konteks agama sebuah spritualitas inilah kita melihat keberadaan agama asli Suku Dayak diharapkan mampu panutan peradaban di Kalimantan, sebagai filosofi etika berperilaku.

Mestinya, kisah penciptaan manusia Suku Dayak menurut legenda suci dan mitos suci, kemudian dipraktikkan di dalam adat istiadat dan hukum adat sebagai sumber doktrin religi Dayak, mengilustrasikan orang Dayak akrab dan menyatu dengan alam sekitar, sehingga agama Dayak, sekaligus dalam takaran tertentu bisa pula dianalogikan sebagai agama konservasi.

Mestinya dalam aplikasi doktrin Agama Dayak adalah terjaminnya keseimbangan ekosistem alam sekitar. Tidak dijadikan alat untuk melegitimasi terhadap praktik perampasan tanah adat Dayak oleh para investor busuk yang tidak memiliki hatinurani, melalui sebuah pembenaran diri yang mengorbankan aspek religiositas dan spiritualitas.

Mestinya di dalam mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem religi Suku Dayak, dengan berpegang teguh kepada aspek religiositas dan spiritualitas agama asli Dayak sebagai bukti kecerdasan bersikap, bukti kecerdasan berpikir, bukti ketegaran moral, bukti keteguhan moral dan bukti keteladanan moral, sebagai implementasi doktrin yang mengharuskan orang Dayak berdamai, serasi dan menyatu dengan alam.

Aplikasi doktrin agama asli Suku Dayak, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya (Semuel S. Lusi: 2016; dan Marko Mahin: 2018).

Karena ikatan moral-substantif agama-agama lokal, termasuk agama asli Suku Dayak, jika tidak terkontaminasi kepentingan pragmatis yang mengabaikan aspek religiositas dan spiritualitas, mampu menciptakan solidaritas kemanusiaan tanpa sekat.

Sebabnya, karena agama lokal, termasuk agama asli Suku Dayak, merupakan “isi” dari budaya Bangsa Indonesia sendiri sehingga menjadi satu kesatuan integratif dengan diri dan roh individunya (Semuel S. Lusi: 2016). (Aju)