Manuel Kaisiepo

‘Kazoku Kokka’ – Negara Integralistik

Loading

Oleh : Manuel Kaisiepo S.IP, M.H.

SEJAK pertama kali disampaikan di depan Sidang BPUPKI 75 tahun lalu (31 Mei 1945), pemikiran Profesor Soepomo tentang konsep negara integralistik sudah langsung menuai perdebatan seru.

Jauh sesudah itu bahkan hingga kini konsep negara integralistik terus menjadi obyek kajian yang menantang: apa acuan filosofisnya, landasan teoritisnya, konteks politiknya, dan implementasinya dalam praktik politik kenegaraan.

Yang terakhir ini bahkan menimbulkan kontroversi karena sering dikaitkan dengan fasisme dan otoritarianisme yang mengekang kebebasan dan hak-hak individual.

Tapi terlepas dari debat itu, pemikiran Soepomo terbukti kemudian mampu menjelma dalam praktik politik kenegaraan era Demokrasi Terpimpin Soekarno hingga ke era Orde Baru Soeharto.

Awalnya Soekarno kurang merespons pikiran Soepomo. Tetapi ketika akhir 1950an Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin, menyerukan ide partai tunggal, dan manuver politik lainnya dalam tema “demokrasi ala Indonesia”, maka yang tampak di sana adalah jejak pemikiran Soepomo, manifestasi konsep negara integral.

Ketika melakukan pemetaan ulang aliran pemikiran politik di Indonesia 10 tahun pasca terbitnya buku Feith dan Castles (eds.), “Indonesian Political Thinking, 1945-1965” (terbit 1970), Feith menunjukkan bahwa sejak dekade 1980an di Indonesia terdapat dua aliran dominan, yaitu paham pluralis-kritis dan developmentalis-integralis.

Paham developmentalis-integralis terungkap dalam diri Soeharto dan pendukung utamanya (militer, birokrasi, Golkar sebagai “electoral machine”, dan sekelompok ekonom-teknokrat).

Unsur integralis dalam paham ini mirip paham kekuasaan dalam konsep tradisionalisme Jawa, dan menurut Feith juga merupakan kelanjutan negara integralistik dari Soepomo.

“Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lainnya dan merupakan persatuan masyarakat yang organis”, kata Soepomo.

Dalam pidatonya Soepomo juga menjelaskan bahwa konsep ini berasal dari teori integralistik Spinoza, Adam Muller, dan Hegel. Selain mencari legitimasinya pada pemikiran Barat, Soepomo menjelaskan konsep ini sesuai pula dengan sifat masyarakat asli Indonesia yang mengutamakan “persatuan hidup, keserasian sosial, persatuan kawulo-gusti, makrokosmos dan mikrokosmis, persatuan rakyat dan pemimpinnya”.

Tapi Soepomo mengakui konsep negara integralistik didasari juga pada tradisi Jepang yang mengutamakan “kekeluargaan”. Itu sebabnya Anthony Reid menyatakan konsepsi Soepomo sebenarnya adalah wujud lain dari ide “negara kekeluargaan” (Kazoku Kokka), yang dipromosikan militer Jepang yang memerintah Indonesia saat itu (Reid, “Political Tradition in Indonesia: The One and the Many”, dalam Asian Survey Review 22, 1998).

Tentu, pemikiran Soepomo telah mengundang berbagai tanggapan kritis sejak pertama kali dikemukakan. Konsep negara integralistik telah menjadi tema pembahasan mendalam dari berbagai perspektif kajian ilmiah.

Misalnya studi Marsilam Simanjuntak, ‘Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945 (Grafiti, 1994). Juga studi David Bourchier, ‘Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia” (disertasi Ph. D., Monash University, 1996).

Sebelumnya ada studi Adnan Buyung Nasution, ‘The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante’ (disertasi Ph. D., Utrecht, 1992).

Berbagai kajian di atas mencoba melacak jejak pemikiran Barat terutama Hegelian dalam pikiran Soepomo tentang organisisme, yang sebenarnya sudah ditinggalkan karena kaitannya dengan fasisme.

Ide-ide yang berakar pada romantisisme Jerman memang masuk ke Indonesia melalui Sekolah Hukum di Leiden dengan tokohnya Profesor C. van Vollenhoven yang punya beberapa murid di Indonesia. Dan salah satunya yang menonjol adalah Dr Soepomo.

“Menurut pengertian negara yang integralistik, maka pada dasarnya tidak ada dualisme staat dan individu, tidak akan membutuhkan Grund-und Freiheitsrechte (hak dan kebebasan asasi) dari individu contra Staat, oleh karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat”, kata Soepomo (dikutip dalam Bourchier).

Menurut Bourchier, dengan pemikiran yang berakar pada ide organisisme Barat dan juga cocok dengan paham “kekeluargaan” dari militer Jepang, maka pemikiran Soepomo agak mengabaikan hak-hak individual. Dalam hal ini dia kerap berbeda dengan Hatta saat pembahasan UUD 1945.

Menurut Bourchier, Soepomo dan para ahli hukum Indonesia saat itu memang kuat dipengaruhi romantisisme Jerman dan paham organik di Eropa, dan merekalah yang memberikan basis teoritis untuk negara integralistik.

Pemikiran mereka juga muncul kembali pada era Orde Baru yang otoritarian. Tapi otoritarianisme Orde Baru bukanlah semata warisan romantisisme Jerman dan fasisme Jepang. Dia juga berakar dalam tradisi politik patrimonial Indonesia (Jawa) masa lalu.

Seperti pernah ditunjukkan sejarawan Harry J. Benda ketika mengkritik buku Herbert Feith, ‘The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia’ (1962). Menurut Benda, tendensi otoritarian dalam politik Indonesia sebenarnya hanya kembali ke dasar “procrustean”.

Benda mengkritik Feith yang dianggapnya terlampau memaksakan standar demokrasi Barat yang tidak punya dasar pijak pada sebuah negara yang mewarisi sejarah dan tradisi otoritarian patrimonial.
***
Apapun bobot perdebatan tentang konsep negara integralistik, harus diakui bahwa Soepomo adalah seorang pemikir brilian dalam bidang hukum, kenegaraan, dan filsafat.

Tapi Soepomo tidak sendirian. Ada banyak pemikir hebat yang bersamanya terlibat diskusi intens, beradu argumen dalam persidangan BPUPKI dan PPKI sepanjang Mei – Agustus 1945. Dalam keterdesakan waktu, mereka intens merumuskan konstitusi, serta dasar dan bentuk negara.

Notulen persidangan BPUPKI/PPKI yang memuat lengkap pemikiran dan perdebatan politik dan intelektual yang berbobot itu dapat dibaca kembali dalam ‘RISALAH SIDANG BPUPKI dan PPKI 28 MEI – 22 AGUSTUS 1945’. Buku ini diterbitkan Sekretariat Negara (1998), dan diterbitkan ulang ALIANSI KEBANGSAAN (2014).

Dibaca dalam perspektif intelektual saat ini, pertukaran pemikiran dalam buku ini sungguh suatu ‘opus magnum’, mahakarya sejarah pemikiran politik dari para negarawan pemimpin politik sekaligus pemikir hebat, bagian dari suatu generasi “raksasa”.

Tapi masihkah dokumen semacam itu dibaca generasi sekarang?
Semoga kekhawatiran Hatta tidak terjadi. Hatta sering mengutip Friederich Schiller: “suatu abad besar telah lahir. Tapi abad itu menemui manusia-manusia kerdil”. (*)

Artikel ini dikutip dari laman Facebook Manuel Kaisiepo, S. IP., M.H., mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada Kabinet Gotong Royong. Ia meraih gelar sarjana pada tahun 1979 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional. Mengikuti program ekstensi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 1985.