WASHINGTON (Independensi.com) – Kalangan analis dan praktisi bisnis, menilai, kehancuran hegemoni global Amerika Serikat (AS) pada abad ke-21 dengan digantikan kebangkitan ekonomi dan teknologi Bangsa Asia, justru diperparah diplomasi brutal Presiden Donald John Trump.
Ancaman orang dekat Presiden Amerika Serikat, Donald John Trump, menolak bayar utang kepada China, sama sekali tidak masuk akal, tidak mungkin terwujud, sehingga hanya memperburuk citra Amerika Serikat di kalangan dunia internasional.
Hal itu dikemukakan praktisi bisnis di Indonesia, Erizely Bandaro, Selasa pagi, 2 Juni 2020, dan Wakil Dekan Sekolah Pengembangan Nasional Universitas Peking, China, Yu Mianojie.
Apabila abad ke-20 sebagai kebangkitan ekonomi, teknologi dan politik Amerika Serikat, maka abad ke-21 merupakan kebangkitan ekonomi dan teknologi inovasi masyarakat di Benua Asia yang dimotori China, Jepang dan Korea Selatan.
Pada Senin, 25 Mei 2029, The Guardian.com, dengan judul: “European Union, Dawn of Asian century puts pressure on EU to choose sides”, says top diplomat”, dan Telegrafnoie Agentsvo Sovietskavo Soyusa (TASS) Russian News Agency, dengan judul: “World witnessing US century ceding to Asian one, says EU foreign policy chief”, mengutip Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrel, bahwa dimana sekarang dunia tengah menyaksikan kemunduran Amerika Serikat (AS) dan kebangkitan satu Asia.
Keterpilihan Donald John Trump menjadi Presiden Amerika Serikat pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2016, semakin membuka mata semua orang tentang kondisi di dalam negeri Amerika Serikat yang sempat menjadi polisi dunia, akibat kekuatan ekonomi, teknologi dan politiknya sepanjang abad-20.
Utang tembus US$1,08 triliun
Thebalance.com, Rabu, 3 Juni 2020, menyebutkan, Utang AS ke China adalah $1,08 triliun pada Maret 2020. Itu lebih dari 15% dari US$ 6,8 triliun dalam surat utang, catatan, dan obligasi yang dipegang oleh negara-negara asing. Utang nasional senilai US$24 triliun dimiliki oleh rakyat Amerika atau pemerintah AS sendiri.
China memiliki jumlah utang AS terbesar kedua yang dipegang oleh negara asing. Jepang berada di puncak daftar yang memiliki US$1,27 triliun.
China telah mengurangi kepemilikan utangnya AS sejak 2011, ketika ia memegang US$1,3 triliun. Ini mengambil langkah-langkah untuk membuat mata uangnya, yuan, transisi ke mata uang global. Untuk melakukan itu, Cina harus melonggarkan patokannya terhadap dolar. Itu membuat yuan lebih menarik bagi pedagang valas di pasar global.
Pertumbuhan ekonomi China juga telah melambat sejak Donald Trump terpilih sebagai presiden dan memulai perang dagang. Saat ekspor Tiongkok menurun, ia kurang mampu berinvestasi di Treasurys Amerika Serikat.
Sikap kontrontatif
Erizely Bandaro, praktisi bisnis di Indonesia, mengatakan, hubungan politik memanas antara China dan AS, lebih karena sikap AS yang konfrontatif. Sementara China lebih memilih diam dan berusaha menenangkan keadaan. Bagi China hubungan Politik dengan AS tidak pernah disikapi serius. China hanya focus kepada masalah hubungan ekonomi dengan AS.
Menurut Erizely, karena sejarahnya AS sangat berperan besar membuat ekonomi China tumbuh pesat, dan pada waktu bersamaan AS juga mendapatkan keuntungan dari ekonomi China yang tumbuh pesat.
Hubungan ekonomi antara China dan AS sebelum perang dagang, pada dasarnya mutual benefit. Indikasinya ada tiga. Pertama, berdasarkan data statisk perdagangan. China adalah pasar ekspor terbesar ketiga bagi AS. Apalagi dengan semakin tumbuhnya kelas menengah di China.
“Itu potensi pasar yang sangat besar bagi AS. Memang produk AS yang diserap pasar China adalah produk tekhnologi tinggi dan produk pertanian seperti gandum dan kacang kacangan. Pertumbuhan industri hitech di AS sebesar 40% dalam 10 tahun belakangan ini. Dan itu berkat pasar China.”
Kedua, ekspor jasa dari AS ke China sangat besar. Seperti jasa konsultan design dan kontruksi Bangunan, jasa design tekhnologi Informasi Teknologi, Jasa keuangan. Nilainya engga kecil. Contoh sederhana. Apple itu design dan tekhnologi dari AS. Hitunglah berapa value MarCap Apple sekarang. Nilainya kurang lebih US$800 miliar.
Belum lagi General Electronic (GE) dengan design tekhnologi energi ramah lingkungan, yang hampir sebagian besar teknologi energi ramah lingkungan China menggunakan GE. Di bidang Jasa keuangan, China Construction Bank itu management perbankannya menggunakan sistem Bank of America. Belum lagi Boeing yang punya pabrik di China namun supply chain terbesar dari AS.
Ketiga, Semakin tumbuh ekonomi China semakin tumbuh ekonomi AS. Karena sebagian besar industri China merupakan bagian dari supply Chain AS, yang beroperasi di banyak negara. Hampir semua industri padat karya yang ada di AS , pindah ke China.
Secara tidak langsung korporat AS diuntungkan dari segi efisiensi dan exploitasi buruh berupah murah. Dan bisa menjual ke AS dengan harga murah, yang tentu menguntungkan konsumen AS sendiri. Berperan besar menekan inflasi.
Tetapi sejak perang dagang dicanangkan oleh AS, kondisi berubah drastis. AS kehilangan pasar. China mengalihkan impor ke negara lain, seperti Jerman untuk produk hitech, Amerika Latin untuk pertanian dan tambang. Qatar dan Iran untuk Gas.
Padahal tadinya produk tersebut sebagian besar didatangkan dari AS. Bisa dilihat data trade AS yang turun selama perang dagang. Pada waktu bersamaan China juga kehilangan pasar AS cukup besar. Walau China juga dirugikan akibat perang dagang namun yang jelas AS jauh lebih besar ruginya.
“Kerugian dialami Amerika Serikat, karena apa yang diproduksi AS, juga diproduksi oleh China. Sementara apa yang diproduksi oleh China, belum tentu ada di AS, terutama produk yang tekhnologi rendah seperti footware, tableware, garment, barang barang plastik, aksesoris, electronic dan lain lain. Bagaimanapun AS harus impor dari China.“
Mengapa? Karena walau tarif sudah ditetapkan tinggi oleh AS dan China tidak mengubah harga jual Free on Board (FOB)- nya, tetap lebih murah daripada impor dari Jepang atau Korea. Namun kenaikan harga yang menanggung adalah konsumen AS.
“Nah di tengah lesunya ekonomi dan banyak pengangguran di AS, kenaikan harga itu sangat terasa bagi konsumen, dan ini menimbulkan keresahan bagi rakyat. AS harus keluarkan dana stimulus agar dunia usaha bisa mengurangi pengangguran. Hasilnnya tidak significant,” kata Erizely Bandaro.
Dunia usaha tidak tumbuh seperti yang diharapkan. Pengangguran tetap tinggi. Sama halnya AS bailout kerugian petani akibat kehilangan pasar China. Itu juga tidak significant memperbaiki masa depan petani AS. Kuncinya kan pasar. Bayangkan saja. China yang penduduknya di atas 1 miliar, itu peluang besar pasar bagi petani AS. Dengan adanya perang dagang, China mengurangi impor pangan dari AS dan membeli dari negara lain.”
“Kalau begitu, mengapa Trumps tidak keluar dari perang dagang yang konyol itu? Presiden Amerika Serikat, Donald John Trumps terlalu yakin akan memenangkan perang dagang dengan China, dan memastikan China bertekuk lutut dengan AS. Keyakinan itu juga ada alasannya. Sebelumnya AS pernah menerapkan perang dagang dengan Eropa dan Jepang. Selalu AS menang, dan negara tersebut bertekuk lutut di bawah hegemoni AS. Namun sekarang yang dihadapi AS adalah China,” ujar Erizely Bandaro.
Secara sistem ekonomi dan politik berbeda dengan AS. China tidak pernah jadi follower AS seperti Jepang dan Eropa. Di samping itu dengan adanya World Trade Organization (WTO), memungkinkan China bisa bermitra dagang dengan negara manapun yang bisa menguntungkan. Jadi China tidak perlu tergantung dengan AS. Apalagi saat perang dagang terjadi , China sudah menjadi kekuatan ekonomi dunia. Jadi Trumps salah lawan.”
“Kan sudah jelas bahwa AS tidak mungkin menang dalam perang dagang. Apakah tidak ada ahli ekonomi AS mengingatkan? Tentu ada. AS itu gudangnya ahli ekonomi. Tetapi Donald John Trump punya persepsi berbeda cara Make America Great Again,” kata Erizely Bandaro.
Gary Cohn, Penasihat ekonomi Donald John Trump, sampai mengundurkan diri karena menolak kebijakan kenaikan tarif yang memicu perang dagang. Padahal dia adalah boss Goldman Sachs yang menjadi arsitek kunci dari reformasi pajak Donald John Trump tahun 2017.
“Ia juga dikenal sebagai orang yang menentang proteksionisme di dalam pemerintahan Trump. Tahun pertama Trumps berkuasa, ekonomi AS memang membaik, dan terjadi penurunan setelah ada kebijakan perang dagang.”
“Apakah mungkin hubungan politik AS dan China akan memburuk sehingga terjadi perang? Saya rasa secara politik hubungan AS dan China tidak terlalu serius. Kalaupun nampak serius itu hanya ada di media massa. Karena kebetulan Donald John Trumps memang hobinya bersosial media. Jadi setiap letupan emosinya tersampaikan lewat sosial media. Padahal sikap Donald John Trumps bukanlah kebijakan yang lahir dari sistem politik AS. Makanya tidak pernah ditanggapi terlalu serius oleh China.“
“Donald John Trump akan menolak bayar utang ke China sebesar US$1,08 triliun. Dan akan membekukan asset China di AS. Orang yang mengerti pasar uang pasti tertawa. Karena bagaimana Donald John Trump mau menolak bayar utang? China itu beli surat utang AS dari pasar. Dalam surat utang tidak disebut siapa nama bondholder. Itu bisa diperjual belikan di pasar secara bebas. Kalau AS menolak bayar utang, itu disebut dengan default,” ungkap Erizely,
“Nah kalau default, pasti TBill atau obligasi AS akan hancur di pasar. Kalau Tbill hancur, mata uang AS jadi sampah. Soal AS akan bekukan asset China di AS. Itu juga konyol. Semua investasi China di AS itu dilakukan secara legal sesuai undang-undang Amerika. AS hanya bisa membekukan asset apabila perusahaan asing itu terhubung dengan terorisme, itu disebut dengan Patriot act. Selain itu tidak bisa. Jadi pernyataan Pernyataan Donald John Trump itu hanya untuk konsumsi orang yang tidak mengerti ekonomi.”
Menurut Erizely Bandaro, sulit bagi China dan Amerika Serikat perang fisik. Mindset mereka sama. Mindset business. Orang bisnis selalu menghindari konflik. Kalau kerjasama tetap bisa dilanjutkan dan saling menguntungkan, ya kenapa harus perang. Secara bisnis, baik AS maupun China punya peluang besar untuk terus kerjasama.
“Kalau sekarang kelihatan ribut, itu karena keduanya sedang suffering ekonominya. Ya mereka butuh narasi mempersatukan rakyatnya masing masing. Sentimen nasionalisme itu perlu dengan menyalahkan negara lain. Itu juga bisnis agar di tengah krisis rakyatnya bisa berdamai dengan kenyataan dan penguasa tetap tidak salah walau harga melambung dan pengangguran meningkat.”
Di antara gelombang terbaru dari niat buruk yang dibuat oleh beberapa politisi AS untuk menyalahkan Cina dan mengalihkan perhatian dari kesalahan Administrasi Trump dalam menangani krisis Covid-19, gagal dalam utang AS yang dimiliki oleh Cina adalah ide terburuk yang mungkin.
Menguragi hegemoni dollar
Wakil Dekan Sekolah Pengembangan Nasional Universitas Peking, China, Yu Mianojie. Kepada Global Time, Kamis, 7 Mei 2020, mengatakan, dorongan untuk “membuat Cina membayar virus” dengan menolak untuk menghormati pembayaran kembali obligasi AS yang dipegang oleh Cina datang dari Senator AS Lindsay Graham dan telah dibantah oleh suara-suara termasuk Donald John Trump sendiri dan penasihat ekonomi utamanya Larry Kudlow.
Menanggapi pertanyaan apakah AS mungkin tidak membayar kewajiban utangnya kepada China, Donald John Trump mengatakan bahwa itu adalah “permainan kasar” dan mengatakan dia “tidak harus melakukan itu” dan perlu melindungi “kesucian dolar.”
Yu Mianojie mengatakan, saran “gagal bayar” politisi AS menunjukkan pendekatan pengemis-tetanggamu dan sikap tidak bertanggung jawab dalam menghadapi krisis Covid-19. Upaya Donald John Trump dan penasihat utamanya untuk menolak gagasan itu menunjukkan semakin meningkatnya perpecahan di dalam negeri dan juga bahwa negara tersebut tidak dapat mengambil risiko status internasional dolar.
Bahkan jika Gedung Putih mengambil langkah itu secara membabi buta, itu akan menyebabkan pukulan yang menghancurkan terhadap status internasional dolar. Selain itu, mengingat bahwa China bukan satu-satunya pemilik utang AS, efek gagal bayar dari langkah default AS akan memicu kekhawatiran di antara pemilik utang lain seperti Jepang dan Jerman. Inilah sebabnya mengapa pejabat AS dan Donald John Trump bergegas untuk membantah gagasan itu. Itu juga untuk kepentingan AS.
Pemerintah Amerika Serikat Donald John Trump, menurut Yu Mianojie, menyadari bahwa langkah itu akan membawa lebih banyak biaya daripada keuntungan bagi AS. Potensi aksi jual obligasi AS dan gejolak keuangan berikutnya yang akan dipicu oleh default akan menyebabkan penurunan dolar yang tidak dapat dibalikkan, dan kenaikan yuan. Kehilangan hegemoni dolar akan menjadi pukulan besar bagi AS.
Liberalisasi yuan
Thebalance.com, Selasa, 2 Juni 2020, menyebutkan ,China juga meliberalisasi kendalinya terhadap yuan, juga disebut renminbi. Ini telah membuka pusat perdagangan yuan di London dan Frankfurt. Itu memungkinkan yuan untuk berdagang dalam rentang perdagangan yang lebih luas di sekitar sekeranjang mata uang yang termasuk dolar.
China juga menanggapi tuduhan manipulasi. Sebagian besar negara menginginkan nilai mata uangnya turun sehingga mereka dapat memenangkan perang mata uang global. Negara-negara dengan nilai mata uang lebih rendah mengekspor lebih banyak karena produk mereka lebih murah bila dijual di luar negeri.
China telah memegang lebih dari US$1 triliun utang AS setiap tahun sejak 2010. Saat itulah Departemen Keuangan AS mengubah cara mengukur utang. Sebelum Juli 2010, laporan keuangan menunjukkan bahwa Cina memiliki utang US$843 miliar. Ini membuat sulit untuk membuat perbandingan jangka panjang.
Pemerintah Cina menggunakan dolar yang ada di tangan untuk membeli Treasurys. Ini menerima dolar ini dari perusahaan-perusahaan Cina yang menerimanya sebagai pembayaran untuk ekspor mereka.
Memiliki surat berharga A.S. membantu ekonomi Tiongkok tumbuh. Permintaan obligasi berdenominasi dolar meningkatkan nilai dolar dibandingkan dengan yuan. Itu membuat ekspor Tiongkok lebih murah daripada barang buatan Amerika, meningkatkan penjualan. Konsumen A.S. mendapat manfaat dari harga konsumen yang rendah.
Posisi China sebagai bankir terbesar Amerika memberikannya pengaruh politik. Ini bertanggung jawab atas suku bunga rendah dan barang konsumen murah. Jika disebut dalam utangnya, suku bunga dan harga AS akan naik, memperlambat pertumbuhan ekonomi AS.
Di sisi lain, jika Cina memanggil utangnya sekaligus permintaan dolar akan anjlok. Runtuhnya dolar ini akan mengganggu pasar internasional bahkan lebih dari krisis keuangan 2008.
Ekonomi Tiongkok akan menderita bersama dengan yang lainnya. Jika Cina pernah memanggil utangnya, perlahan-lahan akan mulai menjual kepemilikan Treasury-nya. Namun, bahkan pada kecepatan lambat, permintaan dolar akan turun. Itu akan merusak daya saing China dengan menaikkan nilai yuan relatif terhadap dolar.
Pada titik harga tertentu, konsumen A.S. akan membeli produk Amerika sebagai gantinya. China dapat memulai proses ini hanya setelah lebih jauh memperluas ekspornya ke negara-negara Asia lainnya dan meningkatkan permintaan domestik.
Strategi kompetitif murah China berhasil. Perekonomiannya sering tumbuh lebih dari 10% selama tiga dekade sebelum resesi 2008. Pada tahun 2018, tumbuh hampir 7%, tingkat yang lebih berkelanjutan.
Cina telah menjadi ekonomi terbesar di dunia, melampaui Amerika Serikat dan Uni Eropa. China juga menjadi eksportir terbesar di dunia pada tahun 2010. Cina membutuhkan pertumbuhan ini untuk meningkatkan standar hidup yang rendah. Karena alasan ini, harap China untuk terus menjadi salah satu pemegang utang AS terbesar di dunia.
Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrel, sebagaimana dikutip The Guardian.com dan TASS Russian News Agency, Senin, 25 Mei 2020, mengatakan, “Kita hidup di dunia tanpa pemimpin di mana Asia akan semakin penting – dalam hal ekonomi, keamanan dan teknologi. “Para analis telah lama berbicara tentang akhir dari sistem yang dipimpin Amerika Serikat dan kedatangan abad Asia. Ini sekarang terjadi di di depan mata kita.”.
Meluasnya penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19) di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, dapat dilihat sebagai semacam akselerator dari proses ini. Jika abad ke-21 berubah menjadi abad Asia, karena abad ke-20 adalah abad Amerika Serikat, Covid-19 dapat dikenang sebagai titik balik dari proses ini. “Permintaan untuk kerja sama multilateral tidak pernah lebih besar,” kata Josep Borrell.
Josep Borrel, mengatakan, “Tetapi pasokan masih tertinggal. Ini adalah krisis besar pertama dalam beberapa dekade dimana Amerika Serikat tidak memimpin respons internasional. Mungkin mereka tidak peduli, tetapi di mana-mana kita melihat meningkatnya persaingan, terutama antara Amerika Serikat dan China.”
Persaingan Amerika Serikat dan Cina juga memiliki pengaruh besar, seringkali melumpuhkan pada sistem multilateral: di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Government-20 sebuah sebutan untuk 20 negara maju di dunia dimana sering disingkat G20, World Health Organization (WHO) dan di tempat lain ada lebih banyak ketidaksetujuan dan veto dan lebih sedikit perjanjian.
Terlepas dari itu, Covid-19 menunjukkan bahwa dunia menjadi lebih digital, tetapi juga lebih didorong oleh negara. Masalah siapa yang akan mengendalikan jaringan digital dan siapa yang akan menetapkan aturan dan standar akan muncula.
“Model globalisasi kami di bawah tekanan. Kami membutuhkan pendekatan yang lebih strategis untuk mengelola kerentanan dan ketergantungan,” ujar Josep Borrel, “Dan yang terakhir, risiko dunia menjadi kurang bebas, kurang sejahtera, lebih tidak setara, lebih terfragmentasi.”
The Guardian.com, mengatakan, langkah nyata Uni Eropa di dalam menghadapi ekspansi kekuatan ekonomi dan tekonologi China, selalu terhalang sikap Presiden Amerika Serikat, Donald John Trump.
Perubahan penting terjadi pada musim semi 2019 ketika, frustrasi dengan kesulitan mengakses pasar China dan khawatir dengan arahan nasionalis Presiden China, Xi Jinping, Uni Eropa menyebut China “saingan sistemik yang mempromosikan model pemerintahan alternatif” dalam sebuah makalah strategi penting.
Menurut The Guardian.com, Beijing sendiri ingin menghentikan kemerosotan hubungan, menyatakan tahun 2020 akan menjadi tahun Eropa dengan dua puncak besar dan banyak penandatanganan seremonial.
China juga terus mendekati Eropa timur dalam apa yang dikenal sebagai kelompok 17 + 1. Philippe Le Corre, seorang warga nonresiden di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan Covid-19 telah menjadi “game-changer” yang akhirnya mengubah persepsi orang Eropa tentang China.
“Diplomasi China menjadi bumerang. Itu tidak mengakui bantuan awal yang diberikan Eropa ke China, mungkin karena rezim merasa tidak nyaman oleh orang asing yang memberikan bantuan. Ada video palsu di Roma, dimana terlihat orang Italia menyanyikan lagu kebangsaan China. Itu sangat aneh,” kata Josep Borrel, Perwakilan Uni Eropa Bidang Luar Negeri kepada The Guardian.com. (Aju)