JAKARTA (Independensi.com) – Akrobat kelompok patut diduga kadal gurun alias kadrun, sebutan selalu dilontarkan Denny Siregar, Ninoy K Karundeng, dan Permadi Arya, pegiat media sosial, yaitu kelompok yang patut diduga bergaya kearab-araban, membuktikan demokratisasi yang ditandai kejatuhan Presiden Soeharto, 21 Mei 1998, hanya melahirkan generasi penerus Bangsa Indonesia yang mengalami krisis karakter dan jatidiri.
Di dalam demonstrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia, Rabu, 24 Juni 2020, kalangan patut diduga kadrun, ini, mendesak Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR-RI), segera menggelar Sidang Paripurna, memberhentikan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024).
Pada kesempatan lain, di media sosial, kalangan patut diduga kadrun, ini gencar menyebar tagar yang berisi desakan tangkap Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, Megawati Soekarnoputri, dan sekaligus bubarkan PDIP, karena dinilai sebagai biang kerok di dalam mengkerdilkan makna ideologi Pancasila.
Alasannya, Presiden Joko Widodo, dan salah satu partai politik pengusung, yaitu PDIP, ingin mengkerdilkan makna ideologi Pancasila, dengan menyetujui Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP).
Memang agak aneh, karena di hadapan 14 perwakilan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia (TNI/Polri) di Istana Negara, Jakarta, dipimpin mantan Wakil Presiden Indonesia, Jenderal Purn Try Sutrisno (1993 – 1998), Presiden Joko Widodo, Sabtu, 19 Juni 2020, menegaskan, Pemerintah belum mengeluarkan Surat Presiden (Supres) tentang RUU HIP.
Malah pada Rabu, 16 Juli 2020, menurut Presiden Joko Widodo di hadapan 14 perwakilan purnawirawan TNI/Polri, Sabtu, 19 Juni 2020, Pemerintah Indonesia sepakat menunda pembahasan RUU HIP, sebagai inisiatif sebagian besar fraksi di DPR-RI. Itu, berarti, RUU HIP, murni berdasarkan hak inisiatif DPR-RI, bukan usulan Pemerintah.
Hizbut Tahrir Indonesia
Kelompok ini, patut diduga kadrun, seenaknya menterjemahkan ideologi Pancasila, dari sudut pandangnya sendiri. Karena kelompok ini pula, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013, patut diduga dengan suara lantang di hadapan ribuan massa, mengumandangkan paham khilafah untuk menggantikan ideologi Pancasila.
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, ketika itu, diam seribu bahasa, begitu mendapat laporan bahwa kelompok minoritas, tapi sangat berisik, ini, beraksi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terlihat memilih situasi aman, dengan tidak melakukan langkah apapun, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saat proses kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden tahun 2014, tiba-tiba muncul isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang identik dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Joko Widodo, sebagai kader PDIP.
Tapi proses keterpilihan Joko Widodo sebagai Calon Presiden, tidak mampu dibendung, sehingga dilantik menjadi Presiden Indonesia periode pertama, 20 Oktober 2014. Tiga tahun setelah menjabat, Presiden Joko Widodo, kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, tanggal 12 Juli 2017, tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan dinyatakan sebagai organisasi paling dilarang di Indonesia, sejak 19 Juli 2017.
Tapi dicatat, kelompok yang menggelar demonstrasi menuntut pemberhentian Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020, adalah patut diduga eks anggota HTI. Organisasinya memang sudah dibubarkan, tapi mereka tetap eksis.
Ini kelompok bunglon, pada satu sisi patut diduga anti-Pancasila, tapi di sisi lain tiba-tiba berlagak sok Pancasilais sebagaimana aksi demonstrasi di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020. Kalangan patut diduga kadrun, ini, mengira masyarakat di Indonesia, begitu mudah ditipu dengan rekam jejak digitalnya sejak di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013.
Sekarang, kelompok patut diduga kadrun, bermetamorfosa menjadi patut diduga Persaudaraan Alumni (PA) 212 (sebutan aksi demonstrasi kelompok yang melakukan demonstrasi terhadap Gubernur DKI Jakarta, Barusi Tjahaja Purnama alias Ahok di Jakarta, 2 Desember 2016).
PA 212, menjadi kebanggaan para patut diduga kadrun, ini, karena aksinya, dengan menjual isu agama, berhasil menjungkalkan Ahok dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Rabu, 17 April 2017.
Aksi politisasi agama berhasil menghantarkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, pria keturunan Arab, melenggang mulus menjadi Gubernur DKI Jakarta, 2017 – 2022.
Isu PKI
Peta politik secara nasional, sangat mudah ditebak sekarang. Dalam banyak contoh, kiprah kelompok patut diduga kadrun, mendapat dukungan politik dari sejumlah oknum partai politik, hingga mantan pejabat tinggi negara (mantan Menteri).
Kalangan oknum mantan Menteri, ini, malah, menegaskan, siapa yang tidak sadar akan kebangkitan PKI gaya baru sekarang, maka sejatinya, orang itulah sebagai PKI sesungguhnya.
Dikutip moeslimchoice.com, Senin, 1 Juni 2020, mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier, mengklaim, kondisi sekarang mirip tahun 1960-an yang kemudian muncul Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang dituding sebagai pemberontakan PKI.
Padahal menurut disertasi John Roosa (1998) insiden G30S 1965, merupakan kudeta Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto terhadap Presiden Soekarno yang dibiayai Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS).
Karena itulah, kemudian dibalas dengan tidak kalah garang dari K.H. Nuril Arifin (Gus Nuril) di Bali, Rabu, 3 Juni 2020, dengan menegaskan, PKI Arab jauh lebih berbahaya dari PKI China dan PKI Soviet. Gus Nuril, dengan lantang menuding, salah satu partai politik yang anggotanya ada di DPR, sekarang, berhaluan komunis Arab.
Kondisi yang terjadi sekarang, adalah krisis karakter dan jatidiri, sebagai ancaman terhadap ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI. Presiden Joko Widodo, tidak boleh mundur selangkahpun di dalam menghadapi para kelompok yang patut diduga kadrun, ini, sehingga perlu langkah nyata menjamin keutuhan NKRI.
Budaya Indonesia
Ideologi Pancasila sebagai wajah kebudayaan asli berbagai suku Bangsa di Indonesia sebagai filosofi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dilihat dari pernyataan Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967) bahwa ideologi Pancasila dilahirkan dan disarikan dari kebudayaan asli berbagai suku banggsa di Indonesia.
Bertolak dari pemikiran Presiden Soekarno, maka seluruh kebudayaan asli Bangsa Indonesia, turut andil melahirkan ideologi Pancasila. Sehingga langkah melestarikan, merawat dan mencintai kebudayaan asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia, salah satu wujud nyata dari pengalaman ideologi Pancasila.
Dengan demikian, bicara masalah ideologi Pancasila, bicara masalah kebudayaan asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Di dalam pemahaman universal, kebudayaan mencakup tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, pranata peradaban ekonomi dan paranata peradaban politik.
Di subpranata peradaban sosial, mengatur relasi antar sesama dan ada sistem religi berbagai suku bangsa di dalamnya, dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat (Aju: 2020).
Bicara masalah ideologi Pancasila, bicara masalah anthropologi budaya. Sebagai sebuah ideologi, maka Pancasila menjamin dan melindungi keberagaman kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dimana di dalam aplikasinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, penghargaan kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Pemerintah Republik Indonesia sebagai negara hukum, harus tegas dan jelas di dalam menegakkan ideologi Pancasila, di dalam tindakan dan perilaku masyarakat Bangsa Indonesia, sehingga ada efek jera yang dapat menimbulkan keharmonisan lintas budaya (terutama agama) yang ada di NKRI.
Pengingkaran terhadap keberagaman budaya di Indonesia, berarti pengingkaran terhadap hakekat ideologi Pancasila.
Harus dipisahkan antara agama sebagai sumber keyakinan iman dan Pancaslia sebagai filosofi etika berperilaku segenap lapisan masyarakat. Karena masalah agama di dalam ideologi Pancasila, sudah final dan mengikat, sudah tidak bisa diungkit-ungkit lagi, karena sudah diatur di dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Masa Esa.
Masalah agama, adalah soal keyakinan iman, hubungan personil seseorang dengan Tuhan, sementara ideologi Pancasila sebagai filosofi etika berperilaku masyarakat dengan penekanan akan aspek penghargaan akan keberagaman dan kebhinekaan.
Tidak bisa bicara masalah agama sebagai sumber keyakinan iman, saat bersamaan bicara masalah Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Agama dan Pancasila sama-sama produk budaya, tapi masalahnya kemudian, tidak semua agama sebagai sumber keyakinan iman di Indonesia, lahir dari kebudayaan asli bangsa Indonesia.
Namun demikian, kelembagaan keagamaan harus menjadi mitra strategis Pemerintah Republik Indonesia di dalam mensosialisasikan pengamalan ideologi Pancasila, dengan penekanan pentingnya menjaga kebersamaan, berkehidupan yang bermartabat, menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal, menghargai keberagaman, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ideologi Pancasila harus dijadikan mata ajar kembali kepada peserta didik di semua tingkatan pendidikan di Indonesia, dengan mengedepankan pada aspek anthropologi budaya dalam memahami kebudayaan asli bangsa Indonesia yang di mana dalam aplikasinya harus dititikberatkan kepada konkretitasi kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, penghargaan kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Perlu penjabaran lebih teknis di dalam pengamalan ideologi Pancasila pada masing-masing suku atau komunitas di Indonesia, melalui bahasa yang sederhana, jernih, aplikatif, sebagai jaminan terpeliharanya, terawatnya dan terakatualisasinya kebudayaan asli Bangsa Indonesia, melalui langkah akselerasi kapitalisasi modernisasi budaya dalam pembangunan nasional, demi terwujudnya identitas lokal dalam integrasi regional, nasional dan internasional sebagai wajah peradaban kebudayaan asli Bangsa Indonesia. (Aju)