Benny Tjokrosaputro

PT AJS dan Binatang Buas

Loading

Independensi.com – Di era keterbukaan ini berbagai cara dilakukan menyalurkan aspirasi mulai dari jalur hukum sampai unjuk rasa alias demonstrasi termasuk yang halus seperti pengiriman baliho karangan bunga.

Cara terakhir kita saksikan pada kasus dugaan korupsi Rp 16,8 triliun di PT Asuransi Jiwasraya (AJS) Tbk yang sedang diperiksa dan diadili sejak 3 Juni 2020 di PN Jakarta Pusat.

Terdakwanya tidak tanggung-tanggung mantan Direktur Utama Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan Harry Prasetyo dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Syahmirwan serta Benny Tjokrosaputro (Bentjok) Komisaris PT Hanson Internasional, Heru Hidayat Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk dan Joko Hartono Tirto Direktur PT Maxima Integra.

Pengirim karangan bunga mungkin tidak puas dengan kinerja Kejaksaan hanya mentersangkakan ke-6 orang terdakwa di atas. Karena perasaan tidak adil atau ada kepentingan lain sehingga aspirasinya disalurkan lewat bunga.

Dari bunyi kata-katanya dapat diduga bahwa selain keenam orang tersangka masih ada yang lebih potensial sebab diibandingkan kambing dengan singa, harimau bahkan badak, dan ditambahkan lagi “Penikmat Jagung Rebus”.

Karangan bunga tersebut berisi: “Semangat Ya Pak Bentjok…..Jangan Mau Jadi Kambing Hitam Jiwasraya….Kecuali Singa, Harimau & Badak dijadikan Hitam Juga. PENIKMAT JAGUNG REBUS”.

Dianggap Bentjok dijadikan kambing hitam, artinya mereka belum puas dengan kinerja Kejagung dengan enam terdakwa, karena ada yang lebih perkasa yaitu Singa, Harimau dapat setiap saat memangsa “sang kambing”, dan ada lagi badak yang artinya hewan langka, apalah arti seekor kambing dibanding Badak, Singa dan Harimau?

Terlepas dari sopan tidaknya karangan bunga tersebut akan tetapi “pesan” yang dikandungnya cukup penting dalam penegakan hukum dan perwujudan keadilan.

Diakhir kata-kata dalam baliho itu tertulis “Penikmat Jagung Rebus” butuh penafsiran, apakah si pengirimnya mempersonifikasikan dirinya si penikmat jagung bakar dan apa posisinya atau ada pihak tertentu yang menikmati kucuran dana yang merugikan negara dari PT AJS (Tbk) tersebut tidak jelas.

Tetapi kita yakin dengan tampilnya mantan Wakil Jaksa Agung Mochtar Arifin sebagai kuasa hukum Bentjok, akan berupaya menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan. Sebagai mantan Wakil Jaksa Agung menjadi Advokat sudah kenyang dengan asam garam penyidikan, penuntutan dan sekarang pembelaan.

Berprofesi Advokat sebagai Penegak Hukum, beliau diharapkan mampu menghapus istilah “maju tak gentar membela yang bayar” dan menggantinya dengan “Fiat Justitia Ruat Caelum” (Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh).

Masyarakat bangsa dan negara mempercayakan tegaknya hukum dan terujudnya keadilan kepada para penegak hukum yaitu Penyidik (Polisi dan Jaksa), Jaksa Penuntut Umum, Pengadilan dengan Hakim-hakimnya serta Advokat yang juga sesuai Undang-Undang adalah Penegak Hukum).

Kepercayaan itu harus dimaknai siapa berbuat harus bertanggungjawab, jangan asal ada saja yang ditindak. Anggapan negatif selama ini bahwa para koruptor itu hanyalah mereka yang bernasib sial, tidak ada backing dan tidak punya uang. Harus dihapus oleh para penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan termasuk KPK dan lembaga peradilan serta Advokat.

Para penegak hukum harus mampu meyakinkan masyarakat “siapa berbuat harus bertanggungjawab”, Tidak ada lagi pilih bulu, pilih kasih atau tebang pilih. Kalau Kejaksaan selama ini belum selesai dengan reformasi birokrasi Kejaksaan, dan peningkatan kinerja lembaga peradilan.

Setuju atau tidak dengan baliho bunga itu, tidak mungkin para hakim terpengaruh, sebagai manusia-manusia tangguh, dan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sumpah jabatannya bukan hanya formalitas, para hakim, jaksa, polisi pasti bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan sumpahnya.

Walaupun baliho itu ditujukan untuk Bentjok, pasti menggugah wawasan Jaksa, Hakim dan Advokat dalam menggali keterangan para saksi agar terwujud keadilan.

Baliho itu juga dapat dijadikan koreksi dan “teguran” bagi penyidik yang ternyata masih ada yang “terlewatkan” sehingga suatu saat bagaimana nasib singa, harimau dan badak itu, apakah ada dan dapat dihitamkan atau tidak. Agar penegakan hukum itu tuntas, sebab bila setengah-setengah sama saja dengan ketidak adilan. Kita tunggu. (Bch)