Kadrun Gagal Paham Ketuhanan yang Berkebudayaan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Demonstrans patut diduga berlagak kearab-araban, dikenal dengan sebutan patut diduga kadal gurun atau kadrun, pada dasarnya adalah komplotan manusia yang gagal paham dari aspek anthropologi budaya.

Komplotan gagal paham, ini, membakar bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), bendera Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mereka persiapkan sendiri, dan mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) segera menggelar sidang paripurna memberhentikan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020.

Para patut diduga kadrun, ini, telah memposisikan diri sebagai hakim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari sudut pandang gagal paham, dari sudut pandang persepsi keliru dan salah.

Para patut diduga kadrun mendesak pemberhentian Presiden Joko Widodo dan pembubaran PDIP karena ingin mengganti ideologi Pancasila dengan paham komunisme melalui Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP), karena selalu melihat tatanan kehidupan Bangsa Indonesia dari kebudayaan Bangsa Arab yang melahirkan salah satu agama samawi.

Mereka sudah terlalu asyik tinggal di kediaman paling dalam, yaitu etnisitas dan religositas, sehingga melahirkan manusia yang hanya mampu memiliki kesalehan individu, menganggap diri dan kelompoknya saja paling benar, dan orang lain dilihat sebagai musuh yang harus dibasmi.

Parahnya lagi, dalam melihat tatanan kehidupan sosial (mengatur relasi antar sesama dan ada sistem religi di dalamnya), ekonomi dan politik sebagai produk budaya, mereka terlalu mudah terjebak melihat kehidupan ketatanegaraan dari sudut pandang sendiri, sehingga hanya menjadi bahan tertawaan, karena minimnya pemahaman mereka akan anthropologi budaya.

Lihat saja di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013, dengan suara lantang para pihak patut diduga kadrun, ini, mendesak ideologi Pancasila diganti dengan paham khilafah.

Kemudian, saat kontroversi RUU HIP mencuat ke permukaan, di Jakarta, Rabu, 20 Juni 2020, komplotan yang patut diduga sama, seakan-akan berlagak sok Pancasilais, dengan desakan pembubaran PDIP dan pemberhentian Presiden Joko Widodo, karena dituding melanggar Pancasila.

Kesalehan sosial

Padahal ideologi Pancasila, itu, hakekatnya, mengharusnya seluruh komponen masyarakat Bangsa Indonesia, memiliki kesalehan sosial, yaitu menghargai keberagaman dan kebhinekaan.

Karena dari aspek anthropolgi budaya, ideologi Pancasila itu lahir dari kebudayaan asli sebagai suku Bangsa Indonesia. Ideololgi Pancasila adalah produk kebudayaan asli Indonesia.

Para patut diduga kadrun, ini, sengaja mengkerdilkan Pancasila sebagai pedoman beragama. Padahal Pancasila, itu, pada dasarnya pedoman hidup bernegara, dengan menjamin kebebasan beragama di dalamnya.

Mereka melihat kelembagaan agama sudah setara dengan Pancasila. Para patut diduga kadrun, ini, memaksakan pengalaman ideologi Pancasila dari sudut doktrin sempat sumber keyakinan imannyan, dengan mengesampingkan penghargaan terhadap keberagaman dan kebhinekaan di Indonesia.

Sebenarnya semua elemen bangsa menerima Pancasila sebagai ideologi. Namun, yang terjadi selama ini, Pancasila hanya sebatas ide atau wacana, karena ada berbagai kejadian yang justru menggerogoti nilai Pancasila, tapi tindakan pembenaran diri yang sok Pancasilais.

Untuk itu, diperlukan satu undang-undang bukan tentang ideologi Pancasila, tetapi soal penguatan kelembagaan agar nilai Pancasila benar-benar dirasakan dan bukan sekadar slogan.

Dalam konteks itulah kita harus melihat substansi dari pasal 7 di dalam RUU HIP, yaitu Ketuhanan yang berkebudayaan. Artinya, ketuhanan yang berbasiskan kebudayaan asli Bangsa Indonesia yang aplikasinya kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, penghargaan kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.

Protes akan frasa Ketuhanan yang berkedudayaan, menunjukkan orang-orang seperti ini sudah kehilangan karakter dan jadirinya sebagai Bangsa Indonesia. Mereka melihat permasalahan di seputar RUU HIP dari sudut kebudayaan luar yang terintegrasi di dalam sumber keyakinan imannya.

Pegiat media sosial, Erizely Bandaro, menilai, banyak orang menentang RUU HIP sebetulnya mereka sendiri tidak paham struktur undang-undang dan dasar konsiderannya. Mereka pikir RUU HIP, itu, jika disahkan, akan mengubah Pancasila. Padahal, Pancasila itu dasar dari dasar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Bagaimana mungkin RUU HIP bisa mengubah Pancasila? Jadi itu cara berpikir yang tidak tepat. Mereka mempermasalahkan dalam RUU HIP tidak ada konsideran TAP MPRS XXV Tahun 1966 tentang larangan PKI dan ajaran komunis. Padahal TAP MPRS XXV, itu, sudah ada pada Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/2003 sebagai konsideran RUU HIP. Karena tahun 2003, semua TAP MPRS digabung dalam TAP MPR,” kata Erizely Bandaro.

Menurut Erizely Bandaro, mereka anggap frasa itu menghilangkan nilai agama pada Pancasila. Padahal kalau berangkat dari keberadaan Pancasila, maka sebetulnya Pancasila itu bukan pedoman beragama, tetapi pedoman bernegara, yang disebut dengan filsafah.

Negara agamais

Dikatakan Erizely Bandaro, kalau persepsi tentang Pancasila itu ajaran agama, artinya kita terjebak dengan negara agamais. Padahal bukan begitu maksudnya. Sebaliknya kalau persepsi Pancasila itu sekuler, kita akan menampik eksistensi agama. Tidak juga tepat. Yang harus dipahami bahwa Pancasila itu filsafah.

“Cukup. Tidak perlu dipersepsikan ke kanan atau ke kiri. Mengapa? Dari persepsi agama, Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dari persepsi sekular, Pancasila tidak bertentangan dengan kebenaran universal,” ujar Erizely Bandaro.

Erizely Bandaaro, mengatakan, untuk memperjelas tentang RUU HIP, ada baiknya kita pahami perbedaan frasa: budaya dan kebudayaan. Perbedaan frasa: tuhan dan Ketuhanan.

Ini penting, agar kita bisa mendudukkan persoalan dengan tepat, dan tentu tepat juga bersikap atas polemik. Kita tidak bisa bersikap dengan asumsi dan persepsi sendiri tentang RUU HIP. Karena RUU HIP, itu, dilengkapi dengan kajian akademis, yang tentu sudah mempertimbangkan semua aspek akademis terhadap perlunya RUU itu.

“Saya tidak dalam posisi membela atau menolak. Saya hanya minta kita semua berpikir jernih dalam menghadapi polemik politik kebangsaan. Perbedaan itu biasa dalam demokrasi. Tetapi jangan karena perbedaan itu kita jadi hakim di atas asumsi dan persepsi yang salah. Dan tentu jangan sampai menjadi sumber masalah. Nah saya akan bahas soal frasa itu,” ujar Erizely Bandaro, pegiat media sosial di dalam akun facebook-nya, Sabtu, 27 Juni 2020.

Pertama, menurut Erizely Bandaro, budaya itu berhubungan dengan tradisi yang sudah ada turun temurun secara genetis. Contoh orang suka seks, baju bagus, rumah bagus, harta, uang, itu budaya. Sementara kebudayaan itu adalah nilai-nilai atau akal budi, kepercayaan yang ada pada budaya itu.

Contoh orang suka, seks, kebudayaan mengatur tradisi menikah. Orang pakai baju bagus, kebudayaan mengatur pakaian yang sopan. Apapun modelnya terserah saja. Orang suka harta, kebudayaan mengatur soal moral dan etika dalam mendapatkan harta.

Orang suka kekuasaan, kebudayaan mengatur soal kejujuran, amanah dan tanggung jawab. Untuk lebih lengkapnya anda bisa baca buku Teori Budaya yang ditulis oleh David Kaplan dan Robert A. Manners

Kedua, lanjut Erizely Bandaro, setelah kita pahami apa beda budaya dan kebudayaan. Sekarang kita pahami apa itu Tuhan dan Ketuhanan. Bahwa tuhan itu bukan terminologi agama. Bagi Islam tidak ada Tuhan, selain Allah. Begitu juga umat Kristen, dan lainnya.

Bagaimana dengan ketuhanan? Ketuhanan itu bukan terminologi spesifik pada agama tertentu. Tetapi itu adalah konsep filsafah memahami Tuhan. Lebih kepada keyakinan yang bersumber pada pengetahuan ilmiah sehingga dapat diuji kebenarannya.

“Maka ketuhanan merupakan suatu kebenaran yang dapat diterima oleh akal pikiran dan kaidah-kaidah logika. Untuk lebih jelas anda bisa baca buku ‘Filsafat Ketuhanan Studi Relasi Tuhan dan Manusia’, oleh Gazali,” ujar Erizely Bandaro.

“Nah sekarang, kita sampai pada frasa ‘ketuhanan yang berkebudayaan’. Perhatikan frasa itu, “ketuhanan”, bukan “tuhan”. “Kebudayaan”, buka “budaya”. Mengapa? Karena terminologi Tuhan itu adalah berhubungan dengan budaya. Anda suka uang, itu budaya. Anda suka seks, itu budaya. Anda suka harta, itu budaya.”

“Anda suka baju bagus, itu budaya. Anda menghormati patron atau tokoh agama, itu budaya. Anda suka kekuasaan, itu budaya. Yang jadi masalah adalah apabila budaya budaya itu menjadi Tuhan. Orang bijak berkata, jangan mentuhankan harta, mentuhankan istri, mentuhankan uang, mentuhankan kekuasaan atau patron. Karena itu semua berhala.”

Dikatakan Erizely Bandaro, peradaban akan hancur kalau kita menyembahnya. Karena jelas tidak sesuai dengan “Ketuhanan yang berkebudayaan” yang mengharuskan tunduk kepada nilai-nilai kebudayaan yang bertumpu kepada etika, moral, norma atau akal dan budi.

“Nah kembali kepada pertanyaan, mengapa ada tokoh agama justru yang menentang istilah Ketuhanan berkebudayaan? Teman saya menjawab pertanyaan ini karena mereka telah mengklaim dirinya sudah jadi tuhan. Mana mau mereka menerima konsep ketuhanan berkebudayaan. Sama halnya ex era Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) juga menentang.”

“Karena mereka pernah merasakan jadi tuhan di negeri ini. Jadi tuhan itu enak. Tanpa kerja bisa kaya raya dan punya selir banyak. Persepsi mereka sudah terbentuk bahwa Pancasila itu pintu masuk mendirikan khilafah atau negara Islam. Yang memang orientasinya kepada mentuhankan diri dan kekuasaan di hadapan rakyat. Saya tidak sepenuhya sependapat. Karena perbedaan pendapat itu diakui dalam sistem demokrasi. Biasa saja,” ungkap Erizely Bandaro.(Aju)