Independensi.com – Bagaikan seteguk air di kala haus yang menahun, begitulah perasaan mendengar terekstradisinya Maria Pauline Lumowa tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Tidak tanggung-tanggung “dijemput” Menkumham Prof. Dr. Yasonna Laoly SH dari Serbia, mungkin pake pesawat khusus lagi.
Kasusnya pada Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu. Diduga aksi Paulin dan Adrian mendapat bantuan dari “orang dalam” BNI sehingga menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp pada hal bank-bank tersebut bukan bank korespondensi Bank BNI.
Juni 2003, pihak BNI curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group, hasil penyelidikan ternyata perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003, sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Belakangan, Maria diketahui berada di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.
Dengan hubungan baik dan timbal balik Pemerintah Indonesia dan Serbia, Maria Pauline Lumowa dapat diekstradisi ke Indonesia, suatu hal yang menyejukkan di kala kegersangan penegakan hukum di Indonesia terutama dengan kasus Djoko Tjandra yang sudah buronan sejak 2009 ternyata berdiam di Indonesia selama 3 bulan menyebabkan Jaksa Agung sampai merasa sakit hati.
Pekerjaan berat sekarang adalah kejadian puluhan tahun lalu, wajar kalau sekarang berkewajiban “mencuci piring” , tidak tahu mengapa sampai begitu lama berlarut-larut apakah sistemnya, peraturan atau orang-orangnya termasuk bagaikan kutu dalam selimut baik di Bank BNI maupun di tubuh penegak hukum dan aparat pemerintah ada penghianat, rahasia internal dibocorkan ke yang bersangkutan sehingga sempat lari ke luar negeri.
Sudah saatnya penuntasan reformasi birokrasi dan revolusi mental termasuk pembenahan penegakan hukum dan perwujudan keadilan. Kalau kemarin dulu KPK gencar memburu termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi, dan sekarang sedang menangani mantan Sekretaris Mahkamah Agung membuktikan bahwa lembaga penegakan hukum kita masih “ambur-adul”.
Kehadiran Djoko Tjandra di Indonesia apakah benar mau mencari keadilan karena dizolimi atau tidak, masih menunggu perkembangan. Masih berlaku perumpamaan, berani karena benar, takut karena salah.
Dana Bank BNI sebanyak Rp. 1,7 triliun tahun 2002 yang dibobol Maria Pauline Lumowa dkk, kalau sekarang sudah sudah sekitar Rp. 3 triliun, betapa hancur keuangan negara digerogoti pada koruptor atau sejenisnya.
Pemerintah harus berupaya agar kasus seperti PT Era Giat Prima, PT Gramarindo Group, tidak terulang lagi sehingga pajak yang dikumpulkan dari rakyat itu tidak hangus begitu saja dinikmati orang-orang yang tidak berhak.
Menurut hemat kita hasil-hasil pembangunan yang dicapai tidak akan dirasakan masyarakat kalau pembobol, manipulator dan “pengerat” kekayaan negara terus meraja lela menggunakan celah-celah hukum yang selama ini digunakan para “pencoleng kerah putih” itu.
Tanpapmembenahan menyeluruh, hasil-hasil kerja keras pemerintah akan selalu tenggelam termakan oleh “pencoleng-pencoleng” kerah putih. Tidak kalah pentingnya membenahi aparat penegak hukum termasuk perlunya pemahaman bersama sesama penegak hukum tanpa mengganggu tugas, fungsi dan tanggungjawab masing-masing.
Perbedaan Penyidik dengan Penuntut Umum juga dengan Majelis Hakim sering “saling menyandera”, Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi bahkan antara Kasasi dengan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Kalau perbedaan itu karena penafsiran hukum adalah suatu keharusan, akan tetapi kalau ada unsure kesengajaan menyimpangi prinsip hukum karena ada kepentingan tertentu itu yang menjadi masalah. Oleh karena itu, para pejabat perlu penyegaran Sumpah/Janjinya di depan Allah Yang Maha Esa.