Perang Jokowi, PDIP, NU, Lawan Culture Genocide Kadrun

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Tulisan ini berupa ulasan pentingnya karakter dan identitas sebuah suku bangsa dalam menghadapi perang peradaban melalui profil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Pancasila, Nahdatul Ulama (NU) dan desoekarnoisasi para kadal gurun atau kadrun, sebagai sebuah catatan bagi generasi penerus.

Di sini digambarkan, sekarang, PDIP, Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan NU (sebagai sebuah organisasi massa terbesar umat Islam di Indonesia), tengah bersatu padu bersama jaringan partai politik pengusungnya, serta kelompok nasionalis lainnya, ‘berperang’ melawan proyek culture genocide atau pembunuhan beramai-ramai terhadap kebudayaan asli Indonesia, di antaranya melalui desoekarnoisasi.

Para kadrun sebagai penganut paham wahabi/ikwanul muslimin pengusung ideologi khilafah, adalah patut diduga sebagai salah satu pelaku utama terhadap upaya culture genocide di Indonesia, karena menolak ideologi Pancasila, melalui perilaku mereka yang kearab-araban.

Ini didasarkan pemahaman universal, bahwa kebudayaan mencakup tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, pranata peradaban ekonomi dan pranata peradaban politik. Di subpranata peradaban sosial, mengatur relasi antar sesama dan ada religi (agama) di dalamnya.

Jadi bicara masalah kebudayaan Indonesia, maka otmatis di dalamnya bicara masalah sosial Indonesia, ekonomi Indonesia dan politik Indonesia. Argumentasinya, karena agama adalah produk budaya, budaya melahirkan agama.

PDIP adalah sebuah partai politik pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada tahun 1999, 2014 dan 2019, sehingga berhasil menempatkan kadernya menjadi Presiden Indonesia dua periode, 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024, yaitu Joko Widodo, dimana sebelumnya sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta (15 Oktober 2012 – 16 Oktober 2014) dan Wali Kota Solo di Provinsi Jawa Tengah (28 Juli 2005 – 1 Oktober 2012).

Pancasila, sebagai sebuah ideologi resmi di Indonesia. Sebagai fiolosofi etika berperilaku masyarakat di dalam kehidupan bernegara, ideologi Pancasila mengakui dan menghargai keberagaman dan kebhinekaan.

Ideologi Pancasila mesti menjadi alat pemersatu Bangsa Indonesia, menurut Presiden pertama Indonesia, Soekarno, karena dilahirkan atau disarikan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia. Pancasila bukan sebagai panduan beragama, tapi sebagai falsafah hidup bernegara.

Proyek desoekarnoisasi

Soekarno adalah Presiden Indonesia (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI). Di era Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) PNI berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Di era demokratisasi sejak 21 Mei 1998, PDI berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Ketua Umum PDIP sejak 1998 sampai 2020, adalah Megawati Soekarnoputri, anak Soekarno. Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004), dimana kemudian Presiden Indonesia dijabat Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014), seorang figur militer angkatan darat, pemilik Partai Demokrat.

Desoekarnoisasi adalah kebijakan yang diambil Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998) untuk memperkecil peranan dan kehadiran pengaruh Soekarno dalam sejarah dan dari ingatan Bangsa Indonesia, serta menghilangkan praktik pemujaan pribadi.

Kadal gurun yang disingkat kadrun, adalah sebuah kelompok minoritas di dalam Agama Islam di Indonesia yang menganut paham wahabi/ikwanul muslimin yang sudah dilarang di Arab Saudi, dimana sikap politiknya anti ideologi Pancasila, yaitu eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), eks Front Pembela Islam (FPI). Eks HTI dan eks FPI adalah anti PDIP dan anti Presiden Indonesia, Joko Widodo.

Pegiat media sosial dari kalangan Islam moderat di Indonesia, seperti Ade Armando, Denny Siregar, Ninoy K Karundeng, Eko Kuntadhi, dan Permadi Arya, menyebut, kadrun adalah kelompok kecil, tapi mengatasnamakan Islam, patut diduga bergaya hidup kearab-araban (jenggot panjang, jidat atau kening ada titik hitam bulat, jubah dan sorban putih), dan penganut kebenaran tunggal, selalu menuding pihak yang yang tidak sepaham sebagai kata kafir.

Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fransiskus Xaverius Arief Poyuono, menegaskan, pihak-pihak yang tidak suka Presiden Joko Widodo dengan menuding ada kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), adalah hasil kerja kadrun.

Pernyatan Arief Poyuono menimbulkan kemarahan. Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Pengembangan Masyarakat, Tengku Zulkarnain meminta kepada Menteri Pertahanan Indonesia, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, agar bisa membersihkan oknum yang menyebut para ulama dan umat Islam dengan sebutan kadrun.

Tengku Zulkarnaen, melalui twitter-nya, Minggu, 21 Juni 2020, menulis, “Pak Letnan Jenderal (Purn) Prabowo, kami sampai saat ini yakin bahwa Gerindra akan membersihkan diri dari oknum yang menghina umat Islam dan ulama dengan ungkapan kadrun.”

“Salam buat keluarga besar Gerindra (Tengku Zulkarnain),” tulis Ustadz Tengku Zulkarnaen, sekaligus mengingatkan kita akan figur Fransiskus Xaverius Arief Poyuono sebagai seorang politisi Partai Gerindra beragama Katolik Roma, sehingga dengan mudah dituduh sebagai penghina Islam.

Ini semuanya adalah bukti proyek politik untuk menghilangkan nama besar Presiden Soekarno sekaligus paling tidak mengelimir peta kekuatan PDIP menghadapi Pemilu legislatif dan Presiden tahun 2024, sebagaimana diungkapkan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Asvi Warman Adam, di Jakarta, Senin, 6 Juli 2020.

Asvi Warman Adam, menanggapi demonstrasi di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020, dari massa eks HTI dan FPI (pendukung ideologi khilafah melalui deklarasi di Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013), karena menolak mencantumkan Pancasila sebagai ideologi di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasinya, tapi tiba-tiba berpura-pura mendukung ideologi Pancasila untuk menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP).

Cultural genocide

Jika kita mencermati sepak terjang kelompok radikal minoritas di dalam Agama Islam di Indonesia, ini, pada dasarnya adalah pertarungan mereka dengan PDIP sebagai keturunan biologis politik Soekarno pemilik PNI, di mana di dalamnya mau tidak mau menyeret Nahdatul Ulama (NU). NU adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Argumentasinya sederhana saja. Presiden Joko Widodo, sebagai salah satu anggota NU dan sekaligus sebagai kader PDIP. Ketua Umum PDIP, Soekarnoputri, juga salah satu anggota NU.

Apa yang dijalankan Presiden Joko Widodo di dalam pemerintahannya, selalu berdasarkan agenda politik kebangsaan yang sebelumnya sudah dibahas bersama Keluar Besar NU, dan dibahas lebih detil dengan PDIP dan partai politik pengusung lainnya (seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Gerindra).

Para kader NU inilah yang di lapangan selalu berhadap-hadapan dengan kelompok wahabi/ikwanul muslimin yang di Indonesia bermetamorfosa di dalam HTI yang dibubarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, karena bersama FPI, menolak Pancasila sebagai ideologi.

Para kader visioner NU dari kalangan muda, berhadap-hadapan dengan kelompok radikal di media sosial, seperti Ade Armando, Denny Siregar, Eko Kunthadhi, Ninoy K Karundeng dan Permadi Arya.

Dari kelompok senior NU penetang kadrun, ada K.H. Nuril Afirin (Gus Nuril). Generasi muda NU penentang kadrun, dari Gerakan Pemuda Ansor, pimpinan H Yaqut Cholil Qoumas.

Para kelompok radikal, ini, perlu dilawan, karena sudah mengakar, menguasai ruang publik dan tersebar di banyak tempat, mulai dari instansi pemerintahan hingga Bahan Usaha Milik Negara (BUMN).

Suaraislam.co, Senin, 6 Juli 2020, menulis, “Viralnya kebocoran data pribadi pegiat media sosial, Denny Siregar, membuat resah masyarakat. Pasalnya data pribadi tersebut khawatir dimanfaatkan oleh teroris.”

“Diketahui, data diri Denny tersebar di media sosial bermula dari cuitan akun Twitter @opposite6891 yang membagikan unggahan berisi data pribadi Denny Siregar. Mulai dari alamat, NIK (Nomor Induk Kependudukan), KK (Kartu Keluarga), bahkan hingga tipe HP (handphone) yang dipakai juga ikut terekspos.

Bocornya data pribadi Denny Siregar diduga karena ia baru-baru ini memposting tulisan “Adek2ku sayang Calon Teroris” di media sosial. Tulisan dan foto yang digunakan Denny dipermasalahkan oleh Forum Mujahid.

Denny Siregar kemudian mengancam akan melakukan upaya hukum kepada Telkomsel sehubungan bocornya data pribadi. “Teman-teman, dari kasus ini, ternyata kita baru tahu kalau data diri kita sangat rentan disadap.”

“Contoh dari @opposite6891 ini, banget mudah dia dapat data tentang saya. Saya menuntut jawaban dari @Telkomsel dan @kemkominfo. Ini mengerikan. Bisa saja terjadi pd anda dan keluarga anda,” tulis Denny di akun twitter @Dennysiregar7 sebagaimana dikutip Suaraislam.co, Senin, 6 Juli 2020.

Pemilik akun @MurtadhaOne1 ikut berkomentar terkait kebocoran data operator di dalam Telkomsel. @MurtadhaOne1 memposting sebuah video pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Said Aqil Siradj bahwa banyak kantor yang dikuasai oleh kadrun, di antaranya Telkomsel.

“Di Indonesia tidak ada universitas yang tidak ada Tarbiyah, kecuali UNU. UI, ITB, Undip, ITS, ketika mereka tamat dan menjadi pejabat di PLN, Telkom, Telkomsel. Makanya jangan heran melihat pemandangan ketika masuk ke kantor, (melihat ) jenggot (ideology/bukan biologi), cingkrang, jidat hitam, silahkan masuk ke PLN, Telkom, Telkomsel,” ujar Kiai Said Aqil Siradj, sebagaimana dikutip @MurtadhaOne1, dan dilansir Suaraislam.co, Senin, 6 Juli 2020.

PLN singkatan dari Perusahaan Listrik Negara. Telkom singkatan Telekomunikasi. Telkomsel singkatan dari Telekomunikasi seluler. Telkomsel merupakan anak perusahaan Perseroan Terbatas (PT) Telkom, milik Pemerintah Indonesia.

UNU singkatan dari Universitas Nahdatul Ulama, milik PBNU. Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Diponegoro (Undip) dan Institut Teknologi Surabaya (ITS), adalah universitas milik Pemerintah Indonesia.

“Dan lewat tarbiyah, yaitu lewat kajian, pertama bagaimana baca al-Quran dengan tafsirnya, kemudian membaca buku mereka tentang ayat-ayat jihad dan perang, ketiga: mulai disiplin, dan keempat bai’at. Biasanya yang keempat ini bai’at banyak yang keluar,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama, KH Said Aqil Siradj sebagaimana @MurtadhaOne1 yang dikutip Suaraislam.co, Senin, 6 Juli 2020.

Keberadaan kelompok radikal mengatasnamakan Islam, ini, terus menggeliat di era demoktratisasi ditandai kejatuhan Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. Gerakan garis keras transnasional di Indonesia terdiri dari kelompok-kelompok di dalam dan di luar institusi pemerintahan/parlemen yang saling mendukung untuk mencapai agenda bersama mereka.

Menurut buku: “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, ini, paling jelas adalah identifikasi Islam dengan ideologi wahabi/ikhwanul muslimin yang sangat ampuh membodohi Umat Islam di Indonesia.

Syafii Ma’arif (2009) menyebutkan, kelompok Islam radikal, ini, menyusup ke bidang-bidang kehidupan bangsa Indonesia, terutama organisasi masyarakat Islam moderat, institusi pendidikan dan pemerintahan; dan dengan dalih membela dan memperjuangkan Islam, melakukan cultural genocide untuk menguasai Indonesia.

Menurut Syafii Ma’arif (2009), formalisasi agama (baca: Islam) yang mereka lakukan, hanya dalih untuk merebut kekuasaan politik.

Merespon gerakan ini, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menerbitkan Surat Keputusan Pengurus Pusat (SKPP) Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 untuk menyelamatkan Persyarikatan dari infiltrasi partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai metamorfosa dari Partai Keadilan yang sempat mengklaim mendukung gerakan Ikwanul Muslimin (Wahabi) yang ditumpas secara militer di Mesir tahun 2013.

Nahdlatul Ulama juga mengeluarkan fatwa bahwa Khilafah Islamiyah tidak mempunyai rujukan teologis baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits. Pengurus Besar Nahtadul Ulama (PBNU) mengingatkan bahwa ideologi transnasional berpotensi memecah belah Bangsa Indonesia dan merusak amaliyah diniyah umat Islam

Ketegangan kelompok moderat dengan gerakan garis keras adalah manifestasi perseteruan al-nafs al-muthmainnah dengan hawa nafsu. Pengetahuan yang terbatas membuat hawa nafsu tidak mampu membedakan antara washîlah (jalan) dari ghâyah (tujuan), dalam memahami Islam pun kerap mempersetankan ayat-ayat lain yang tidak sejalan dengan ideologinya. Hal ini juga mencerminkan hilangnya daya nalar dalam beragama.

Buku: “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, diterbitkan The Wahid Institute dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika, di Jakarta tahun 2009, merupakan hasil penelitian selama lebih dari dua tahun ini mengungkap asal usul, ideologi, dan agenda gerakan garis keras transnasional yang beroperasi di Indonesia, serta rekomendasi membangun gerakan untuk menghadapi dan mengatasinya secara damai dan bertanggung jawab.

Sejak era Soeharto

Proyek cultural genocide, sudah dimulai sejak awal Pemerintahan Presiden Soeharto, melalui proyek desoekarnoisasi.

Proyek desoekarnoisasi, diawali dengan kudeta sukses dilakukan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto terhadap Presiden Soekarno dibiayai Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS) melalui Gerakan 30 September (G30S) 1965 (John Roosa: 1998, 2020).

Saat Soeharto menjadi Presiden Indonesia terhitung 1 Juli 1967, maka proyek desoekarnoisasi dilakukan secara masif. Pemahaman aplikatif dan sederhana terhadap ideologi Pancasila yang dilahirkan dan disarikan dari kebudayaan asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia, sengaja dikaburkan, dengan berbagai bentuk upaya mempertahankan kekuasaan.

Program Trisaksi Presiden Soekarno, yaitu Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan, dianggap rezim Pemerintahan Presiden Soehato, identik dengan sosialis komunis (baca sejumlah buku terbitan Dinas Sejarah TNI AD).

Padahal, ideologi Pancasila berurat berakar dari ideologi sosialis, tapi sudah disesuaikan dengan alam dan kebudayaan di Indonesia, yaitu Pancasila, dengan menghargai keberagaman dan kebhinekaan. Pemahaman terhadap ideologi Pancasila sebagai produk kebudayaan asli Indonesia, sangat tabu dibahas di era Pemerintahan Presiden Soeharto.

Langkah-langkah desoekarnoisasi dilakukan Soeharto secara fisik, antara lain dengan mengganti nama Soekarno yang diberikan pada berbagai tempat atau bangunan di Indonesia.

Di antaranya, Stadion Gelora Bung Karno, diubah menjadi Stadion Utama Senayan, Kota Soekarnopura (sebelumnya bernama Hollandia) diubah namanya menjadi Jayapura, dan Puncak Soekarno diubah namanya menjadi Puncak Jaya.

Upaya-upaya lain dilakukan Presiden Soeharto (1 Juli 967 – 21 Mei 1998) yang lebih fundamental dengan memperkecil peranan Soekarno dalam mencetuskan Pancasila sebagai ideologi di Indonesia, serta tanggal kelahiran pemikiran yang kemudian dijadikan ideologi nasional pada 1 Juni 1945.

Brigadir Jenderal Nugroho Notosusanto, seorang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), sejarawan kepercayaan Presiden Soeharto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengajukan pendapat bahwa tokoh utama yang mencetuskan Pancasila bukanlah Soekarno, melainkan Mr Mohammad Yamin, pada tanggal 29 Mei 1945.

Pendapat resmi Brigadir Jenderal Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 19 Maret 1983 – 3 Juni 1985, ini, kemudian, selalu dipegang selama masa Presiden Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998).

Ini dicoba ditanamkan lewat program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), tapi tujuannya semata-mata bukan pada pembentukan karakter dan jatidiri sesuai kebudayaan asli Indonesia, tapi lebih kepada upaya mempertahankan kekuasaan.

Karena itulah, dengan berangkat dari hasil penelitian terangkum di dalam buku: “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, kita bisa dengan mudah mencermati situasi politik yang berkembang.

Apabila kemudian muncul tudingan dari kalangan kadrun, Pemerintahan Presiden Joko Widodo menganut sistem pemerintahan PKI, dan kemudian menuding PDIP sebagai jelmaan PKI, harus dilihat di dalam konteks, sebagai upaya menjalan proyek cultural genocide di Indonesia yang harus dilawan.

Kalangan kadrun, kemudian, mendapat dukungan dalam banyak hal dari para politisi kadrun dan pihak lain yang bidang bisnis hitamnya diberangus Presiden Joko Widodo, seperti pembubaran Petral tahun 2016, sebuah perusahaan berbasis di Singapura yang bertugas sebagai makelar di dalam pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga harga satuan menjadi tinggi di Indonesia.

Perang 6 tahap

Apabila dicermati, dalam melakukan perang melawan kadrun, Presiden Joko Widodo dan jaringan partai politik pendukungnya, melakukan enam tahap kebijakan strategis politis.

Perang tahap pertama, sebagai upaya meluruskan fakta sejarah yang sengaja dibelokkan era Pemerintahan Soeharto, maka Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menetapkan Hari Kelahiran Pancasila pada 1 Juni.

Penetapan berdasarkan Surat Keputusan Presiden, Nomor 24 Tahun 2016, tanggal 1 Juni 2016. Dalam Keppres, Pemerintah memberikan sejumlah pertimbangan.

“Bahwa sejak kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami perkembangan hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan dan disepakati menjadi rumusan final pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.”

“Bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara,” tulis isi Keputusan Presiden, Nomor 24 Tahun 2016, tanggal 1 Juni 2016.

Semenjak peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto, Pemerintah Republik Indonesia, sudah tidak pernah lagi merayakan Hari Lahir Pancasila.

Terakhir kali dirayakan Pemerintah Republik Indonesia, pada tahun 1968, dua tahun setelah Presiden Indonesia, Soekarno, diberhentikan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), 12 Maret 1967.

Lantas, mengapa Hari Kelahiran Pancasila tidak ditetapkan pada 18 Agustus?

Alasannya, jika merujuk pada pertimbangan Keputusan Presiden, Joko Widodo, pada 18 Agustus 1945, negara sudah menetapkan hari itu sebagai hari Konstitusi Republik Indonesia yang ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Seluruh nilai-nilai Pancasila, terdapat dalam bagian pembukaan/preambule UUD 1945.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, diadakan rapat untuk menyusun ketatanegaraan agar Republik Indonesia bisa diakui secara de facto. Maka dari itu, beberapa poin penting yang disahkan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, adalah penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi, mengangkat Soekarno-Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden, membentuk Komite Nasional, dan pembagian wilayah Indonesia yang terdiri dari delapan provinsi.

“Sehingga, pemilihan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1945, kembali merujuk pada munculnya nama “Pancasila” itu sendiri, dari usulan yang dibawa Soekarno dalam sidang BPUPKI,” bunyi Keputusan Presiden Indonesia, Joko Widodo, Nomor 24 Tahun 2016, tanggal 1 Juni 2016 (Kumparan.com, Rabu, 30 Mei 2018).

RUU HIP

Perang tahap kedua, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Perang tahap ketiga, seminar “Peran Kebudayaan dalam Pembangunan Nasional” diselenggarakan Kantor Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa, 4 April 2017.

Dimana di dalam seminar ditegariskan, pembangunan nasional di Indonesia di masa mendatang mesti melalui proses akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan asli Indonesia di dalam pembangunan nasional, mengikat hal serupa menjadi kunci utama kemajuan cukup signifikan di bidang ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang dan Korea Selatan (Bisnis.com, Selasa, 4 April 2017).

Perang tahap keempat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pada 27 April 1917, mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.

Perang tahap kelima, Presiden Joko Widodo, menerima naskah kajian akademik pembangunan kebudayaan di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Minggu, 9 Desember 2018.

Perang tahap keenam melawan kadrun, adalah hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat di dalam menyusun naskah akademik dokumen RUU HIP.

Sebagian besar strategi perang model Presiden Joko Widodo, melawan kaum fundentalis, sama sekali tidak dirasakan oleh pihak lawan. Namun ketika detik awal peperangan pada tahap keenam ditabuh, berupa RUU HIP, muncullah reaksi para kadrun melalui aksi demonstrasi di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020, dimana seakan-akan Pancasilais, tapi menolak RUU HIP.

Presiden Joko Widdodo, cukup visioner di dalam meletakkan dasar pembangunan karakter dan jadiri Bangsa Indonesia, dimana di dalam etika berperilaku diharuskan bersumber dari kebudayaan asli Indonesia.

Karena di dalam pengamalan ideologi Pancasila, era Presiden Indonesia, Soekarno, kekayaan dan keragaman budaya Indonesia dijadikan soft power kepada masyarakat internasional tentang karakter manusia Indonesia yang santun, ramah, gotong-royong, yang berakar pada budaya tradisi bangsa.

Secara ideologi, Soekarno menjadikan berkarakter dalam budaya sebagai salah satu pilar strategis dalam konsepsi Trisakti; berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkarakter secara budaya (Eko Sulistyo: 2019).

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), kemudian berkomitmen di dalam menjabarkan program pembangunan berbasiskan kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagaimana digambarkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), 2014 – 2019, dan 2019 – 2024.

Komitmen Trisaksi Presiden Indonesia, Joko Widodo, menjadikan kebudayaan tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan sebagai proses nation-building.

Tapi juga penting sebagai pilar menuju Indonesia maju dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul berkarakter kebangsaan, bukan hanya pintar dan piawai dalam teknologi. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah krisis karakter budaya bangsa akibat puluhan tahun penyeragaman otoritarian dan kegagalan mengelola kekayaan budaya bangsa.

Di satu sisi, manusia Indonesia dihadapkan pada arus kebudayaan yang didorong oleh kekuatan pasar yang menempatkan sebagai konsumen produk kebudayaan semata. Di sisi lain, muncul arus kebudayaan yang menekankan penguatan identitas primordial di tengah arus globalisasi.

Akumulasi dari kegagalan mengelola dampak persilangan dua arus kebudayaan ini menjadi ancaman bagi pembangunan karakter bangsa. Pembangunan harus menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa.

Nation-building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional, tanpa melakukan perombakan manusianya yang menjalankan sistem ini (Eko Sulistyo: 2019).

Inilah bentuk perang yang dilakukan Presiden Joko Widodo, PDIP, NU dan jaringan partai politik pendukungnya, dalam melawan praktik culture genocide yang dilakukan para kadrun, untuk menghancurkan Indonesia.

Melalui Program Trisakti, Presiden Joko Widodo, mengharuskan seluruh masyarakat di Indonesia berkebudayaan asli Indonesia yang di dalam aplikasinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, penghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.

Dalam menghadapi perang akhir melawan kadrun, Pemerintah Republik Indonesia sebagai negara hukum, harus tegas dan jelas di dalam menegakkan ideologi Pancasila, di dalam tindakan dan perilaku masyarakat Bangsa Indonesia, sehingga ada efek jera yang dapat menimbulkan keharmonisan lintas budaya (terutama agama) yang ada di NKRI.

Pengingkaran terhadap keberagaman kebudayaan (ada agama di dalamnya) di Indonesia, berarti pengingkaran terhadap hakekat ideologi Pancasila.

Dalam mewujudkan Pembinaan Ideologi Pancasilan (PIP) harus menjadi payung hukum berupa struktur kelembagaan operasional dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah Derah, demi menciptakan keselarasan dalam bingkai NKRI, untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat Bangsa Indonesia yang berkeadilan serta merata dalam kebersamaan dan keserasian.

Tudingan kencang pada kadrun bahwa Presiden Joko Widodo dan PDIP sebagai PKI, karena pemerintahan sekarang, menjadi satu-satunya penghambat bagi mereka di dalam menjadikan Indonesia sebagai penganut ideologi khilafah.

Kelompok nasionalis di Indonesia, jangan biarkan PDIP, Presiden Joko Widodo, NU, bersama jaringan partai politik pengusungnya, berjuang sendirian berperanng melawan pada kadrun, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kalau kita lengah, kadrun akan dengan leluasa menjadikan Indonesia sebagai negara berideologi khilafah yang secara otomatis pula, sebagai pemicu perpecahan dan pertumbahan darah di Indonesia di kemudian hari.

Setiap kali muncul terikan bahwa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, tidak ramah terhadap Islam, sebagai pemerintahan yang menista Agama Islam, pemerintahan yang menista Ulama Islam, maka di situlah pada dasarnya bentuk perlawanan para kadrun.

Karena itulah, NU sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, tidak pernah terpancing oleh berbagai hasutan pada kadrun yang mengatas namakan Islam. (Aju)

Aju, Wartawan dan Divisi Pelayanan Publik Data dan Informasi Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) di Pontianak.