Menko Pohulkam Mahfud MD

Mahfud MD: ‘Enggak’ Bisa Akal-akalan

Loading

Independensi.com – Menggelitik keterangan Menko Polhukam Prof. Mahfud MD yang meminta Polri mengusut dugaan surat jalan buron terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, secara terbuka.

Penjelasan Mahfud MD tersebut tidak lepas dari  adanya  sejumlah pejabat dari berbagai instansi, termasuk aparat kepolisian yang terlibat dalam kasus pengurusan surat jalan buronan tersebut.

Dengan tegas Mahfud mengatakan, “Saya kira zaman sekarang semua harus diselesaikan secara terbuka. Menyelesaikannya harus terbuka, enggak bisa akal-akalan.  Karena masyarakat sudah pintar,” ujarnya saat konferensi pers . (Kompas TV, Rabu, 15/7/2020).

Karena dia (Mahfud MD-red) meyakini bahwa Polri sudah memiliki aturan hukum dalam upaya menyelesaikan dugaan surat jalan tersebut. Termasuk aturan terkait penegakan disiplin di lingkungan korps Polri.

Kita memaknai ucapan Prof. Mahfud MD itu sebagai gurubesar, negarawan, bagaimana menangani berbagai kasus yang menyangkut institusi pemerintahan apalagi penegak hukum, yang mungkin menurut penilaiannya pernah ada “…..akal-akalan”, dalam penyelesaian kasus.

Terbitnya surat jalan dari institusi Polri oleh pejabat yang tidak berkompeten, adalah pengingkaran dan pencampur adukan serta pengacauan kewenangan dalam menjalankan fungsi, tugas dan tanggung jawab dalam institusi tersebut.

Lebih dari itu, menurut hemat kita tidak mungkin dilakukan seorang diri, siapa yang memesan dan yang menghubungi sampai bisa mengeluarkan surat jalan itu. Sungguh sangat disayangkan apabila institusi Polri sebesar itu, dapat diperdaya oleh seorang Brigadir Jenderal.

Hal yang sama juga harus ditengarai terjadi di instansi-instansi lain yang kesemuanya di bawah Menkopolhukam dengan memanggil 4 instansi yang menangani Djoko Tjandra yaitu Kemdagri, Kejaksaan, Kepolisian dan Kemkumham. Hal itu  menyangkut pembuatan e-KTP, bebasnya seorang buronan keluar masuk Indonesia tidak terdeteksi Polri dan Kejagung serta tidak termonitor oleh Imigrasi.

Sungguh sangat menakutkan jika semua instansi di negeri ini seolah tidak berdaya terhadap yang satu orang ini. Seolah-olah pintu-pintu apapun di republik ini tanpa kunci bagi yang bersangkutan. Begitu berkuasanya dia “mengatur” aparat pemerintah sampai menumpulkan hukum.

Begitu rapuhnyakah ketahanan penegakan hukum dan kependudukan kita? Kekuatan apa yang membutakan mata hati mereka-mereka yang mengurusi kepentingan sang buronan tersebut?

Ketika almarhum Adam Malik menjabat Menteri Luar Negeri, ada ungkapan yang tidak baik tapi cukup popular “hepeng do mangatur negara on”, artinya “uang lah yang mengatur negara ini” tentu dalam konotasi negative, siapa yang punya uang dapat berbuat sekehendak hatinya sgok sana suap sisi, kira-kira begitu.

Keadaan empat-puluh tahunan lalu sudah jauh berubah dengan sekarang, kesadaran hukum masyarakat sudah tinggi, jiwa abdi negara serta taat hukum dan peraturan perundang-undangan sudah merata, kalaupun ada yang berlaku curang tidak ada artinya bila dibandingkan dengan 267 juta Warga Negara Indonesia.

Namun seberapapun besarnya mereka-mereka yang menghalalkan segala cara kalau tidak dibersihkan akan menjadi bisul yang mengganggu kehidupan keseharian masyarakat dan akan menggerus kepencayaan terhadap pemerintahan.

Orang-orang yang menghamba dan memberi jalan dan menyediakan fasilitas bagi para buronan dengan mengabaikan hukum kalau dibiarkan sama dengan memelihara lintah dalam baju, selain menggelikan dan menjijikkan, seberapapun hasil pembangunan akan tersedot oleh makhluk menggelikan tersebut.

Oleh karena itu menurut hemat kita, ucapan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD agar penanganan dan penyelesaian kasus Djoko Tjandra harus terbuka, tidak hanya tertuju ke Polri saja dengan surat jalan, tetapi juga terkait dengan pembuatan KTP dan pembuatan passport, serta penghapusan dari daftar buron dari Interpol.

Tantangan bagi Kapolri, Kejagung, Kemendagri dan Kemkumham untuk membuka apa adanya yang menyangkut instansi masing-masing, apakah ini hanya sekedar prosedural tanpa rekayasa adalah tidak mungkin. Janganlah instansi-instansi tersebut menutupi aib institusinya, bila ada.

Harus ditemukan siapa yang mengatur sehingga Lurah dengan mudahnya memberi fasilitas KTP, begitu juga memperoleh passport dan mendaftar di Pengadilan. Terlalu menyepelekan persoalan kalau hanya mencopot Lurah dan Koordinator dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri.

Tanpa kemauan untuk membeberkan kepada masyarakat; apa, siapa, mengapa dan bagaimana hal-hal yang memalukan itu terjadi? Kalau tidak ada pengusutan atau penyelesaian secara transparan dan tuntas, maka kepercayaan masyarakat akan kendor terhadap Bapak-bapak yang bertanggungjawab di institusi tersebut.

Kita juga berharap agar tidak hanya institusi Pemerintah yang dipersalahkan dalam kasus Djoko Tjandra.  Ada baiknya Menkopolhukan juga mengikutkan organisasi profesi dan bahkan partai politik apabila terlibat harus diungkap, sehingga “akal-akalan” itu tidak terulang di kemudian hari. (Bch)