JAKARTA (Independensi.com)
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai melanda industri perhotelan. Sejumlah hotel di Jakarta dan kota-kota besar mulai melakukan pengurangan karyawannya.
Sejumlah hotel di Jakarta awalnya menaruh harapan ketika Pemda DKI Jakarta mulai memberlakukan PSBB transisi. Sebagian hotel kembali dibuka dan mulai hadir tamu yang menikmati hidangan, menginap dan mengadakan acara walau bersifat mendadak.
Sejak adanya himbauan untuk menjaga jarak sosial (social distancing) yang diteruskan dengan PSBB (pembatasan sosial skala besar), tingkat hunian hotel memang turun tajam. Di Jakarta maksimal 5%. Membuat menejemen hotel mengambil jalan PHK bagi pekerjanya.
Setelah seluruh pekerja Hotel Aryaduta Jakarta (270 orang) terkena PHK dengan alasan Covid 19, kini pekerja di Hotel Gran Mahakam Jakarta mengalami nasib yang serupa.
Kuasa hukum pekerja Hotel yang berlokasi di kawasan Blok M, Odie Hudiyanto mengatakan sebelumnya manajemen hotel memberikan upah bulanan dan THR tidak penuh. Kini karyawanya terancam kehilangan pekerjaan.
Muhammad Rusli (32 orang) dan kawan-kawan adalah gelombang pertama yang sudah dipanggil dan diberitahukan terkena PHK. “Rencananya Hotel Gran Mahakam akan melakukan PHK massal atas 140 pekerjanya”, ujar Odie dalam rilisnya di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Odie, upaya PHK terhadap Muhammad Rusli dan kawan-kawan dilakukan tanpa ada perundingan melalui serikat pekerja di PHK dan hanya diberikan kompensasi 1 PMTK untuk pekerja tetap.
“Tindakan ini merupakan pelanggaran aturan normatif karena pemberian kompensasi 1 PMTK hanya berlaku jika pekerja melakukan kesalahan dan telah mendapat surat peringatan atau mengunakan pasal 164 ayat (1) yang menyebutkan : Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur).
Kalimat keadaan memaksa (force majeur) inilah yang dipakai oleh manajemen Hotel Gran Mahakam secara zalim untuk merampas hak buruh atas pekerjaannya dan mengurangi kompensasi buruh. Padahal sejatinya Hotel Gran Mahakam tidak tutup”, kata Odie.
Tindakan yang dilakukan oleh manajemen Hotel Gran Mahakam, menurut Odie, melanggar aturan karena tindakan PHK adalah langkah terakhir.
Sementara untuk upah, tetap wajib dibayarkan sebagaimana PP 78 Tahun 2015 Pasal 25 yang isinya: “Pengusaha wajib membayar Upah apabila Pekerja/Buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri atau kendala yang seharusnya dapat dihindari Pengusaha”.
Kuasa hukum Muhammad Rusli Dkk ini, mengecam tindakan manajemen Hotel Gran Mahakam yang melakukan PHK dan mengurangi upah pekerja dengan memanfaatkan alasan hunian turun akibat pendemi covid 19.
“Untuk itu, sebagai kuasa hukum Muhammad Rusli Dkk, menuntut perusahaan untuk segera melakukan perundingan dengan pihak pekerja dengan didampingi oleh kuasa hukumnya untuk mendapatkan solusi terbaik”, pungkas Odie.(hpr)