JAKARTA (Independensi.com) – Fraksi PKS (F-PKS) DPR RI mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit dengan tujuan tertentu terkait kerugian yang diderita Pertamina.
P-PKS DPR RI juga menyesalkan Pertamina tidak siapkan sistem manajemen krisis, sehingga perusahaan minyak negara itu merugi hingga Rp11,13 triliun.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua F-PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto kepada para awak media, Sabtu (29/8/2020).
Mulyanto menilai, manajemen Pertamina tidak cepat melakuan terobosan, sebagai upaya adaptasi menghadapi keadaan luar biasa. Akibatnya kondisi keuangan Pertamina jeblok.
“Semua perusahaan minyak dunia juga mengalami tantangan yang sama, tapi nyatanya sebagian dari mereka mampu bertahan dan tetap mendapatkan untung. Meskipun keuntungannya tidak sebesar di tahun-tahun normal,” kata Mulyanto.
Anggota Komisi VII DPR RI itu mencontohkan beberapa perusahaan minyak dunia yang tetap untung meskipun krisis.
“Diantaranya adalah Petronas, Indian Oil Group, Saudi Aramco dan Petro China Ltd,” sebutnya.
Perusahaan-perusahaan minyak dunia itu, kata Mulyanto, sudah menyiapkan sistem manajemen krisis dan sigap menghadapi perubahan lingkungan strategis yang ada, sehingga ketika krisis itu benar-benar terjadi mereka mampu mengantisipasi.
“Tantangan krisis yang dihadapi perusahaan-perusahaan minyak itu kurang-lebih sama dengan yang dihadapi Pertamina. Tapi nyatanya mereka tetap bisa untung,” jelasnya.
Mulyanto mengungkapkan, Petro China Ltd menjadikan merosotnya harga minyak dunia sebagai kesempatan untuk mengisi cadangan minyak startegis mereka, sehingga mampu bertahan untuk memenuhi kebutuhan 80 hari.
“Apakah Pertamina melakukan itu. Berapa besar cadangan minyak strategis nasional yang telah kita isi. Apakah ketika merosotnya harga BBM dunia, Pertamina menambah impor untuk memenuhi tangki-tangki minyak kita?,” tanyanya.
Menurut Mulyanto, hal ini menjadi pertanyaan penting, sebab, Indonesia sudah menjadi negara net importir.
“Seharusnya ini menjadi kesempatan besar sebagaimana yang dilakukan Petro China,” imbuhnya.
Mantan Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian era Presiden SBY itu meminta agar dilakukan pemeriksaan laporan keuangan secara khusus oleh BPK.
“Sebab nilai kerugian yang dialami Pertamina pada semester pertama tahun 2020 ini sangat besar. Padahal pada saat krisis, Pertamina tidak menurunkan harga jual BBM,” tuturnya.
Mulyanto menjelaskan, saat harga minyak dunia anjlok hingga di bawah USD 20/barel, Pertamina tidak menurunkan harga semua jenis BBM, termasuk BBM non-subsidi.
“Logikanya pendapatan Pertamina bertambah secara signifikan, sebab meskipun konsumsi BBM saat pandemi berkurang, tapi nilai jualnya cukup tinggi dibanding harga beli bahan baku minyak,” ucapnya.
Mulyanto menambahkan, jangan sampai terkesan, sudah rakyat yang mensubsidi Pertamina, bukan sebaliknya, pemerintah yang mensubsidi rakyat, namun tetap saja merugi.
Karenanya penting dilakukan audit oleh BPK. Agar kita tahu apa saja yang membuat Pertamina merugi sebesar itu,” pungkas legislator asal Dapil Banten 3 ini. (Daniel)