Pengamat hukum dan juga akademisi Suhardi Somomoeljono.(ist)

Pengamat: Undang-Undang Cipta Kerja Ibarat Buah Simalakama

Loading

JAKARTA (Independensi.com)
Pengamat hukum Suhardi Somomoeljono mengatakan kehadiran Undang-Undang Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPRI kini ibarat buah simalakama.

“Karena bukankan secara filosofis kehadiran sebuah Undang-Undang itu adalah diperuntukan untuk kepentingan rakyat,” kata Suhardi kepada Independensi.com,
Kamis (8/10).

Namun, tegasnya, jika disisi lain rakyat tidak menghendakinya. “Untuk apa dipaksakan pembentuk Undang-Undang untuk diundangkan,” tuturnya menanggapi kehadiran UU Cipta Kerja yang belakangan diprotes para buruh dan sejumlah elemen masyarakat.

Dia menyebutkan tentunya semua rakyat mengharapkan dan berdoa dengan telah diundangkannya UU Cipta Kerja, Indonesia sukses dapat keluar dari krisis ekonomi. “Apalagi dimasa pandemi Covid 19,” kata dia.

Namun Suhardi mempertanyakan apakah pemerintah mampu menahan arus dari masyarakat yang begitu derasnya menolak kehadiran undang-undang tersebut.

“Apakah juga ada jaminan dengan diundangkannya UU Omnibus Law kemudian dapat menjamin pertumbuhan ekonomi nasional benar-benar tumbuh sesuai dengan harapan,” tuturnya.

Karena, ucapnya, jika yang terjadi sebaliknya tidak ada pertumbuhan ekonomi maka jelas UU tersebut gagal memenuhi target nasional dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi.

Dikatakanya juga disisi yang lain dengan dipermudahnya segala hal terkait pemberian perizinan kepada korporasi baik asing atau dalam negeri sudah menimbulkan dampak hukum.

“Yaitu dikuasainya sektor-sektor pertambangan, perkebunan, perikanan, industri-industri. Baik kecil maupun menengah di seluruh daerah. Belum lagi sektor-sektor perbankan, pendidikan, property dan lain-lain,” ujar Suhardi.

Tentu saja, katanya lagi, setelah secara hukum korporasi-korporasi asing dan dalam negeri menguasai jutaan hektar tanah untuk perkebunan, pertambangan, kehutanan dan lain-lainnya cengkeraman untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya sulit dihindarkan.

“Lebih-lebih dalam model sistem moneter Indonesia yang menganut rezim devisa bebas,” kata dosen Pascasarjana Universitas Matla’ul Anwar, Banten ini.

Masalahnya, ucap dia, akan sulit sekali melakukan kontrol arus lalu lintas moneter dalam spektrum Internasional. “Sehingga dampaknya secara hukum pelarian modal keluar negeri sulit terbendung.”

Oleh karena itu Suhardi yang juga Ketua Forum Doktor Multidisiplin (FDM) menilai dalam keadaan seperti itu sulit mengharapkan adanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Meski demikian dia tetap berharap dengan  diundangkannya UU Omnibus Law kekawatiran akan tiadanya pertumbuhan ekonomi tidak terjadi.(muj)