Inayah Wahid: Permasalahan Papua Perlu Pendekatan Pemerintah

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Praktisi budaya, Inayah Wahid menilai konflik kekerasan yang terjadi di Tanah Papua dan Papua Barat harus dilihat secara serius. Tidak hanya, otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah.

Namun, juga perlu dilakukan evaluasi agar otonomi khusus sudah berjalan sesuai dengan yang diinginkan.

“Otsus ini bukan hanya soal ekonomi, ada begitu banyak permasalahan lain. Seperti pengakuan identitas, penghormatan kebudayaan, sampai pada saatnya semuanya ini terjadi gap yang begitu besar,” kata Inayah dalam webinar ‘Pro & Kontra: Melihat Realita Perjalanan Otsus’ yang digelar Yogya Rumah Kita, Kamis (22/10) lalu.

Hal itu dikatakan dalam diskusi daring ini turut mengundang sejumlah narasumber terkait lainnya.

Menurut Inayah, pemerintah harus melihay persoalan yang terjadi di Papua seperti terjadi dirumah tangga.

Sehingga, memerlukan pendekatan secara kekeluargaan pula. Hal penanganan ini juga pernah dilakukan oleh Presiden ke-4 RI alm Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

“Ini tuh semacam konflik keluarga, ‘Saya capek tinggal di rumah ini’, lalu ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan oleh kepala rumah tetangga. Pendekatan anak dengan orangtua berbeda. Ketika berbeda pendekatan, maka akan dianggap musuh, nah, pendekatan ini lah yang akhirnya dipakai oleh Gus Dur. Pendekatan yang dilakukan oleh Gus Dur ini berlawanan dengan yang lainnya,” jelasnya.

“Bagaimana Gus Dur akhirnya keluar dari rumah, dan itu merupakan ekspresi kekecewaan, bukan sebagai musuh. Adanya personal touch, lalu adanya penguatan gerakan sipil. Mengundang langsung warga sipil, bertanya, dan menggali informasi lainnya, untuk melakukan pendekatan warga Papua. Menurut Gus Dur, mendengarkan suara Papua itu dianggap sangat penting,” lanjut Inayah.

Sementara itu, menurut Sejarawan Hersumpana, pemberian otonomi khusus merupakan solusi dari persoalan Papua saat ini terjadi.

“Otsus sebenarnya jalan keluar, jika persoalan kewenangan daerah, penghargaan terhadap budaya, sosial, dan sebagainya itu dijalankan secara baik dan benar,” katanya.

Untuk itu dia berharap, selain otonomi khusus, ruang dialog tentang kemanusiaan harus dibuka untuk Papua.

Seperti pendekatan akan kebudayaan, dan bersikap terbuka juga diperlukan guna mengatasi berbagai permasalahan yang ada wilayah Indonesia bagian timur ini.

“Lalu, pengakuan terhadap tanah adat juga menjadi solusi yang bisa ditawarkan. Sudah semestinya membuka diri dengan keadaan. Nerimo ing pandum. Keadilan tanpa perdamaian adalah ilusi,” tuturnya.

Sedangkan Sekretaris Gugus Tugas Papua Universitas Gajah Mada, Gabriel Lele mengajak, untuk masyarakat Papua dan Papua Barat menjadikan Indonesia sebagai rumah sendiri.

“Mari jadikan Indonesia rumah kita,” katanya.

Dikatakannya, persoalan otonomi khusus ada sejumlah hal yang perlu dievaluasi. Salah satunya alokasi anggaran pada bidang pendidikan.

“Fokus yang harus dipastikan adalah poin-poin pendidikan, kemaslahatan masyarakat, kesehatan, dan lain-lain,” jelasnya.

Menurut Gabriel, saat ini yang dialami masyarakat Papua dan Papua Barat masalah pendidikan tidaklah merata. Hal ini terjadi, kata dia lantaran tidak adanya pengawasan kebijakan pendidikan yang serius.

Untuk itu, ditambahkannya, masalah seperti ini yang harus dievaluasi saat anggaran otsus kembali dikucurkan.

“Mengapa pendidikan masih tidak merata? Karena seolah-olah guru sudah cukup mendatangi daerah daerah yang terpencil. Namun jika dicek secara langsung itu semua hanyalah data, nama, data. Dana BOS juga sangat mengalir dengan lancar, tapi dana keuangan itu sendiri yang entah larinya ke mana tidak jelas,” pungkas Gabriel. (Ronald)