Masyarakat Kecil Masih Butuh BLT di Tahun 2021

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) –  Dampak pandemic Covid 19 masih akan dirasakan oleh masayarakat kecil di tahun 2021. Oleh sebab itu, masyarakat masih akan membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah agar mereka bisa bertahan hidup.

Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan, tahun depan khususnya masyarakat miskin masih membutuhkan bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Pihaknya meminta agar bantuan tidak dipangkas namun perlu diperluas lagi. Menurutnya tekanan pada masyarakat miskin masih cukup besar akibat pukulan ekonomi akibat krisis Covid-19.

Sebab itu, pihaknya mendesak agar anggaran stimulus perlindungan sosial tidak diturunkan mengingat dalam RAPBN 2021 untuk perlindungan sosial dipangkas 46% dari Rp203,9 Triliun menjadi Rp110,2 Triliun di tahun depan. “Ini penting sebelum memutus tali kemiskinan, bagaimana agar orang miskin baru tidak bertambah. BLT harus diperluas,” ujar Bhima, di Jakarta, Rabu (4/11/2020).

Sementara itu untuk memutus tali kemiskinan dibutuhkan koordinasi antar instansi pemerintah pusat dan daerah yang harus diperbaiki. Misalnya dalam dana pendidikan dengan porsi 20% dari APBN, sebagian habis untuk belanja pegawai dan belanja barang. Jangkauan pada siswa miskin masih kurang, karena anggaran belum efektif. Apalagi dengan adanya belajar online, banyak siswa miskin yang tidak saja tertinggal karena akses internet yang terbatas tapi juga harus membayar mahal gadget seperti laptop atau smartphone.

Berdasarkan riset yang dilakukan Esther Duflo, pemenang Nobel ekonomi, diketahui peningkatan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia dapat memperbaiki upah rata-rata pekerja. Sebab itu, pemerintah harus memastikan layanan listrik harus bisa melayani kebutuhan keluarga miskin, paket bantuan kuota internet diperbesar, serta bantuan gadget bagi siswa miskin. “Harus komprehensif dan itu dapat dimulai dari sektor pendidikan,” ujarnya.

Hal senada juga dikatakan Anggota DPR Komisi XI Puteri Komarudin. Pihaknya menyebut potensi peningkatan angka kemiskinan sangat besar karena hampir semua sektor ekonomi terdampak pandemi. Namun, dengan skema program PEN yang dirumuskan saat ini dapat menjadi modal untuk menekan angka kemiskinan. “Utamanya, bantuan sosial yang dialokasikan diharapkan dapat mencegah pelemahan daya beli bagi masyarakat yang rentan secara ekonomi,” ujar Puteri.

Selain itu hal yang mesti dilakukan dengan intervensi demi memperkuat kemandirian masyarakat. Ini perlu terus didorong melalui berbagai stimulus untuk dunia usaha khususnya UMKM, yang mendominasi 90% pasar tenaga kerja Indonesia saat ini. “Stimulus bagi UMKM dan dunia usaha juga berperan mencegah kebangkrutan usaha yang dapat berdampak pada pemutusan tenaga kerja, yang berimplikasi pada penambahan angka kemiskinan,” tambahnya.

Dia juga mengingatkan hingga Oktober, realisasi penyaluran dana PEN baru sekitar 75%. Karenanya, perlu dioptimalkan dan dikejar realisasinya mengingat hanya tinggal 1 bulan lagi menuju akhir tahun. “Ini supaya anggaran dalam APBN TA 2020 bisa maksimal dan dapat menjadi preseden yang baik dalam rangka upaya pemulihan ekonomi di awal tahun 2021,” ujarnya.

Pengamat ekonomi dari Indef Nailul Huda menambahkan pada masa pandemi ataupun tidak sudah jadi kewajiban pemerintah dalam menyediakan jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin. Kesehatan dan pendidikan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. “Hal ini bisa menekan angka kemiskinan secara lebih signifikan. Instrumennya bisa lewat APBN ataupun BUMN,” ujar Huda.

Namun ada satu hal lagi yang bisa jadi teroboson bagi pemerintah untuk memerangi kemiskinan dan ketimpangan, yaitu pajak kekayaan. “Orang-orang kaya di Indonesia diberikan pajak sebagai alat pengentasan kemiskinan. Hal-hal seperti ini yang tidak ditangkap oleh pemerintah dalam reformasi perpajakan UU Cipta Kerja,” ujarnya.