Ki Seno Nugroho

Selamat Jalan Ki Seno Nugroho

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Bagi penggemar seni pertunjukan tradisional wayang kulit – baik mereka yang sering menyaksikan secara langsung maupun video yang beredar di media sosial – nama dalang Ki Seno Nugroho tidak asing lagi.

Karena, dengan keberaniannya “mendobrak” tradisi yang telah berlangsung cukup lama mewarnai pertunjukan wayang kulit – tanpa mengubah “pakem” yang ada – dalang berusia 48 tahun itu selalu ditunggu-tunggu penampilannya terutama di kalangan warga masyarakat yang sangat akrab dengan gadget.

Betul bahwa video yang beredar di medsos ada yang utuh durasinya (antara 6-7 jam) dan ada yang berdurasi singkat dalam kisaran menit.

Dan, khusus tayangan singkat yang durasinya hanya lima hingga 20 menit – berupa cuplikan adegan baik adegan perang-tanding maupun adegan “gara-gara” yang, selain menampilkan pesinden ternama juga menampilkan bintang tamu: pesinden dari manca negara dan/atau pesinden dari negeri sendiri tapi asli kelahiran dari luar Jawa.

Siang Sungkono – Malam Sukini

Terlepas dari latar belakang pendidikan akademisnya khusus di bidang seni pedalangan, dalang generasi 1970-an ini memiliki kemampuan untuk “menyerap” dinamika kehidupan zamannya.

Sehingga menjadi sangat wajar apabila generasi zaman now yang sangat familier dengan gadget dengan segala aspeknya – mereka segera saling berbagi atau men-share cuplikan sebuah adegan yang ada dalam lakon wayang yang dilakukan Ki Seno Nugroho.

Dan, suka tidak suka, cuplikan adegan yang dibagikan kepada para nitizen itu adalah adegan yang lucu.

Salah satu adegan lucu yang sangat disukai para netizen adalah, ketika sedang berlangsung  perang-tanding tiba-tiba dari pihak musuh menampilkan prajurit transgender(?) yang, ketika ditanya siapa namanya prajurit tersebut menjawab: tergantung kebutuhan

“Kalau siang Sungkono – Kalau malam Sukini.”

Begitu jawab prajurit musuh yang “kemayu” dan kalau bicara selalu menjulurkan ujung lidahnya – ke luar masuk mulut.

(Wayang yang berkarakter trans gender tersebut memang bukan “benda 3-D”. Jadi, yang menjulurkan ujung lidahnya ke luar masuk mulut adalah lidah Ki Seno Nugroho sendiri saat dia “mendiskripsikan” kehadiran prajurit yang ketika ditanya siapa namanya oleh Werkudara dan Baladewa, menjawab dengan: tergantung kebutuhan itu…)

Sanggit-nya Memang Beda

“Sanggit” atau kreasi yang dimiliki Ki Seno Nugroho memang berada di atas rata-rata dalang lainnya yang lahir di era Orde Baru lainnya.

Tentu saja “sanggit” Ki Seno Nugroho – diakui atau tidak – sering menimbulkan pro dan kontra.

Bahkan banyak yang menyebut bahwa apa yang dilakukan Ki Seno Nugroho, “nyebal” atau menyimpang dari “pakem”.

Ketika dalam suatu kesempatan penulis bertemu dengan para pakar budaya khususnya Jawa, dan mengkonfirmasi betulkah “sanggit” Ki Seno Nugroho “nyebal” dan atau menyimpang dari “pakem”, para pakar tersebut mengungkapkan bahwa “sanggit” akan dianggap “nyebal” atau menyimpang dari “pakem” adalah kalau *Buta Cakil* diceritakan sebagai keturunan Kumbakarna!

Menembus Batas

Terlepas dari masalah pro-kontra tersebut, yang jelas Ki Seno Nugroho dan tim kerjanya berhasil memanfaat momentum perubahan zaman: dari era manual ke era digital.

Sehingga “sanggit” yang dilakukannya berhasil menembus lintas-batas budaya dan generasi.

Paling tidak, warga masyarakat yang bukan asli Jawa dapat menerima kreativitas Ki Seno Nugroho sebagai sesuatu yang faktual sekaligus aktual.

Dan, hal tersebut di-”representasi”-kan dengan sangat baik dan lucu oleh Ki Seno Nugroho melalui prajurit trans gender yang kalau siang bernama Sungkono dan kalau malam bernama Sukini.

Serius Itu Lucu dan Lucu Itu Serius

Akan tetapi terhitung sejak 4 November 2020 para penggiat medsos takkan lagi mendapat postingan video terbaru, karena pada 3 November 2020 Ki Seno Nugroho telah dipanggil oleh Sang Khalik …

“Seno Nugroho?! Dalang yang lucu itu meninggal?! Ahhh sampeyan jangan menebar berita bohong. Nanti sampeyan kena pasal, Kang!”

Itu salah satu dari sekian banyak penggemar Ki Seno Nugroho – ketika penulis mem-foreward foto dalang terkenal tersebut dari seorang sahabat yang berasal dari Yogyakarta yang sekarang tinggal di Jakarta.

Dari sekian banyak teman yang membalas foreward-an foto dari penulis selalu menyebut kata “lucu”.

Tidak salah. Karena, jangankan ketika menampilkan adegan yang sarat dengan unsur humor – dalam adegan yang wigati ing sajroning pakeliran (adegan yang sangat serius dalam pertunjukan) pun Ki Seno Nugroho tetap “memasukkan” humor.

Tentu humor yang kontekstual yang di-”masukkan”-an di dalam adegan tersebut.

Sepertinya dalang kelahiran 23 Agustus 1972 yang meninggal dunia pada 3 November 2020 tersebut sadar betul bahwa Serius Itu Humor dan Humor Itu Serius – sebagaimana motto yang ditulis oleh Arwah Setiawan – pendiri sekaligus Pimpinan Redaksi Majalah Humor Astaga.

Selamat Jalan Ki Seno Nugroho – Sugeng Tindak Ki Seno Nugroho jasamu selalu dikenang oleh para penggemarmu sepanjang masa… (Toto Prawoto)