Teater Tetas Pentaskan Banowati

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Dalam jagat pedalangan wayang kulit purwa, selain ada cerita baku yang diangkat dari epos Ramayana dan Mahabharata, juga ada carangan dan banjaran.

Carangan, sesuai namanya, adalah hasil kreativitas para mpu pedalangan, sementara banjaran adalah cerita yang merujuk pada biografi tokoh.

Tapi, cerita banjaran, relatif jarang dipagelarkan oleh para pelaku seni pedalangan.

Lakon Banowati yang ditulis oleh (almarhum) Ags. Arya Dipayana lebih dari dua puluh tahun lalu, dan oleh almarhum pernah dipentaskan di GKJ Pasar Baru, Jakarta Pusat, kemudian dipentaskelilingkan di beberapa kota di Jawa, itu pada 11 dan 12 Agustus 2017 lalu dipentaskan kembali di Auditorium Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta Selatan, dan disutradarai oleh Harris Syaus.

Meskipun lakon Banowati yang ditulis oleh Aji (sapaan akrab almarhumah Ags. Arya Dipayana) tidak masuk dalam kategori banjaran, namun demi kepentingan artistik pemanggungan, utamanya saat lakon yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Aji (almarhum) tersebut di-”lounching” kepada publik teater di Jakarta, lebih difokuskan kepada konflik bathin setelah Banowati secara resmi dipinang dan menjadi istri Duryudana.

Bagi pecinta cerita wayang tahu bahwa Banowati – sebelum secara resmi dipersunting dan menjadi isteri Duryudana – hatinya memang telah tertambat kepada Arjuna, penengah Pandawa.

Dan, pada suatu hari ketika Duryudana berniat meminangnya, kepada ibundanya, Dewi Setyawati, Banowati minta satu syarat: dia bersedia diperisteri oleh raja Hastina Pura asalkan yang menjadi perias pengantin putrinya adalah Arjuna – saudara sepupu Duryudana.

Sontak, usai malam pertama Duryudana murka, setelah tahu bahwa Banowati telah menghianati cintanya. Dan, keluhkesah kemurkaannya dia curahkan kepada Aswatama yang, diam-diam anak Pandita Druna – junjungan para Kurawa – itu pun sebenarnya mencintai Banowati.

Dalam versi wayang kulit, yang durasinya lebih panjang daripada pertujukan teater, Duryudana yang nota bene adalah seorang raja, digambarkan sebagai seorang suami yang takut istri.

Sehingga, walaupun Duryudana sering memergoki Banowati tengah berasyikmasyuk dengan Arjuna, dia terkesan bersikap “acuh tak acuh” dan baru “dimuntahkan”-nya segala bentuk luka batinnya kepada Aswatama, pendengar setianya yang lambat laun menyimpan dendam kesumat di dalam hatinya terhadap Banowati…

Almarhumah Ags. Arya Dipayana saat menuangkan kembali kisah cinta Duryudana – Banowati tersebut ke dalam bentuk pertunjukan teater, tetap menatuhi kaidah-kaidah yang telah dilakukan oleh mpu pedalangan.

Tapi, karena pertunjukan teater di Indonesia tidak memiliki durasi yang panjang seperti pertunjukan wayang kulit, Ags. Arya Dipayana dengan sangat jenial “memadatkan” – kalau kita bicara masalah durasi waktu – lakon yang sudah sangat terkenal di kalangan komunitas penggemar wayang kulit tersebut hanya menjadi 180 menit saja.

Karena substansi yang ada dalam kisah cinta tersebut tidak menyimpang sama sekali dari pakem yang telah diwariskan oleh para mpu pedalangan sejak puluhan tahun berselang, maka para penonton khususnya mereka yang berasal dari komunitas pecinta wayang kulit, tidak merasa kehilangan “roh” dari kisah cinta antara Duryudana dan Banowati serta “rasa” Jawa yang selama ini tersimpan dalam memori kolektif mereka.

Dan, dalam bahasa sang sutradara, dalam hal ini adalah Harris Syaus yang menyutradari lakon Banowati dengan tagline “Surga Hanya Ada di Rumah Tetangga”, disebutkan bahwa membaca kembali Banowati baginya bukan sekadar membaca roman percintaan dengan bumbu perselingkuhan. Membaca Banowati bagi Harri Syaus adalah sebuah pembacaan terhadap perempuan, tubuh serta pikirannya. Dan, di atas semua itu, apa yang terjadi dengan Banowati adalah sebuah tragedi seorang anak manusia dan kemanusiaan.

Kisah percintaan dan perselingkuhan Banowati kemudian menjadi tidak penting lagi siapa yang menggoda dan siapa yang tergoda. Atau siapa yang benar dan siapa yang salah. “Saya tidak ingin terjebak dikotomi itu. Banyak hal yang ikut mempengaruhi terjadinya peristiwa itu termasuk situasi dan kondisi pribadi juga masyarakatnya,” kata sutradara asal Manado yang kini berdomisili di ibukota yang bergabung dengan Teater Tetas sejak kurang-lebih sepuluh tahun itu, dan menjadi salah satu aktor andalan di teater yang “embrio”-nya adalah Teater EGG semasa Ags. Arya Dipayana masih hidup.

Lebih jauh Harri Syaus mengungkapkan, pertanyaan tentang kesetiaan, harga diri dan kebebasan akan saling berbenturan dengan nilai-nilai (etika, moral dan hukum) dan menjadi klise di sana.

Justru hal paling penting dan sering kita luput mewaspadai – khususnya dalam kisah ini – adalah rasa cinta yang berlebihan. Cinta yang berlebihan – sebagaimana juga berlaku pada kebencian – keduanya sama-sama memiliki daya rusak yang sangat (dahsyat!).

Pada titik yang terlalu itu, sudah bisa dipastikan orang akan mendobrak segala hal yang membatasi dan membenci, bahkan memusuhi, mereka yang dianggap sebagai penghalang atau tidak sejalan. Kewarasan dengan mudah dikesampingkan. Tidak peduli lagi akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya nanti.

“Banowati adalah kita,” tegas Harri Syaus. “Kekayaan, Jabatan, Golongan, Kesukuan dan Keyakinan bisa jadi adalah Arjuna kita hari ini yang kita cintai secara berlebihan. Dan, ketika menjadi berlebihan adalah sangat mungkin hanya kehancuran yang kita dapatkan.”

Dalam pentas kali ini – seiring dengan perjalan waktu – banyak wajah-wajah baru muncul. Seperti Artasya Sudirman (Banowati), Yohana Gabe (Nafsu), Diana R Jannah (Sepi), Putri Ayudya (Setyawati), Khiva Iskak (Aswatama) dan Arman Wiriadinata (Arjuna). Pemain senior yang terlibat dalam pementasan kali ini hanya dua orang yakni Derry Oktami yang memerankan Duryudana dan Hari Prasetyo yang berperan sebagai sang Waktu.

Terlepas dari teknik olah vocal yang masih kurang tergarap – kecuali vokal Derry Oktami dan Hari Prasetyo – secara umum jalannya pementasan mengalir lancar meski endingnya saat tiba perang Barata Yudha terjadi di mana Banowati terbunuh di tangan Aswatama dengan cara yang sangat mengenaskan, hentakkan klimaksnya terasa datar dan biasa saja.

Padahal dukungan musik yang ditata dengan apik oleh Nanang Hape dan kawan-kawannya serta Rr. Indah Harie Joeliati dan Bobby Ari Setiawan sebagai penata gerak para Laskar, telah memberi aksentuasi tersendiri terhadap jalannya pertunjukan.

Namun, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada, kehadiran wajah-wajah baru yang memerankan tokoh kunci dalam pementasan tersebut, patut diberi apresiasi. Karena kehadiran mereka yang bisa diibaratkan seperti “magnet” itulah, maka selama dua malam berturut-turut Auditorium Gelanggang Bulungan dipadati oleh para penonton. Ini membuktikan bahwa sejak dahulu sampai sekarang Teater Tetas adalah termasuk salah satu group teater yang ber-”home base” di Gelanggang Bulungan Jakarta Selatan yang disukai penonton. (Toto Prawoto)

One comment

Comments are closed.