Oleh : Nur Setia Alam Prawiranegara, S.H.,M.Kn.
Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah masuk “Daftar Program Legislasi Nasional RUU Proritas tahun 2021”. Hal ini merupakan oase bagi perjuangan bagi pencari keadilan.
Upaya berbagai pihak yang selama ini mendesak agar DPR RI segera mensahkan RUU PKS menjadi Undang Undang kini semakin terbuka. Paling tidak apa yang dilakukan Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan (FPL) ), Para Korban serta Lembaga-Lembaga maupun personal sebagai pemerhati Korban kekerasan khususnya kekerasan seksual baik terhadap Perempuan, Anak dan Kaum Disabilitas termasuk Lembaga Advokasi yaitu Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC) kini telah menunjukkan titik terang.
IFLC berpendapat RUU PKS merupakan Harapan untuk memberikan manfaat, kepastian hukum, kepentingan hukum serta keadilan bagi korban kekerasan seksual. RUU PKS mengatur pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, pemberian ganti rugi walaupun sebenarnya tidak bisa dinilai dengan uang.
Akan tetapi hal itu merupakan bentuk realisasi dari pertanggungjawaban si pelaku terhadap korban, kemudian proses hukum yang dijalani oleh Pelaku, atau disebut proses hukum acara dan sanksi pidana atas kekerasan seksual.
Bentuk kekerasan seksual antara lain pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pembudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Untuk dapat diketahui bersama, RUU PKS telah memenuhi kriteria: pertama, telah “tersusun secara sistematis”; kedua, “analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan terkait”; selanjutnya ketiga atas “landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis”; dan yang terakhir atau keempat, “sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup pengaturan”.
RUU PKS dalam penulisan dan penyusunan pembentukan perundang-undangannya telah tersusun secara sistematis baik dalam hal teori maupun praktik empirisnya.
Mengenai “proses analisa dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait” seperti KUHP, KUHAP, UU KDRT, UU Perlindungan Anak, UU khusus mengenai Para Penegak Hukum dan lain lain telah dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan masukan dari beberapa unsur baik Agama, Budaya, Sosial, Teknologi, khususnya Hukum itu sendiri, karena yang diutamakan adalah apa yang dapat diterima dengan baik oleh Korban.
Selanjutnya RUU P-KS telah memenuhi tiga landasan yang diinginkan dalam proses penyusunan perundang-undangan sesuai ketentuan hukum positif: Pertama, “landasan filosofis”, dimana mencerminkan nilai-nilai moral atau etika dari bangsa Indonesia, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudi luhur dan menolak adanya perbuatan melawan hukum berupa kekerasan seksual.
Kedua, adalah “landasan sosiologis”, dimana isi RUU PKS ini berdasarkan pada kesadaran hukum masyarakat, karena belum adanya UU yang menyeluruh atau mencakup Pelaku atas perbuatan Kekerasan Seksual dan Korban tentunya.
Ketiga, “landasan yuridis” berupa landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan atas pembuatan peraturan perundang-undangan dimana setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup pengaturan dari RUU P-KS adalah keutamaan keadilan dan manfaat bagi Korban dan proses hukum dapat berjalan dengan baik.
Bagi IFLC, terhadap RUU P-KS yang masuk Daftar Prolegnas 2021 tetap dijaga dan diperhatikan prosesnya. Mengapa demikian? Karena bila diperhatikan Prolegnas selama ini sesungguhnya tidak utuh tercapai, bahkan terkadang yang menjadi prioritas pembahasan disesuaikan dengan kebutuhan undang-undang yang mendesak, terutama dalam hal kepentingan politik.
Agar proses tersebut dapat berjalan baik, tentunya harus ada transparansi dilakukan oleh DPR atas metode dan mekanisme nya, karena partisipasi atas RUU PKS ini telah efektif dengan mengidentifikasi kepentingan bagi “Korban Kekerasan Seksual”, apalagi proses penyusunan berdasarkan data empiris telah dilakukan sejak tahun 2016.
IFLC, kembali menekankan pada Prolegnas 2021 ini, bahwa dikarenakan NA dan RUU disiapkan oleh DPR dan Badan Legislasi, semoga berbeda hasilnya dengan Prolegnas tahun lalu.
Sehingga jangan sampai pandangan kami kepada DPR ternyata lebih tertarik pada pragmatisme politik atau hal lainnya yang mana DPR sendiri yang mengetahui keadaannya, karena kali kedua proses pembentukan RUU PKS tertunda menjadi Undang-Undang.
Maka sekali lagi mari kita bersama-sama mendoakan, mengawasi dan mendukung DPR agar bekerja maksimal untuk men-Sah RUU P-KS menjadi UU.(*)
Penulis adalah Ketua Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLIC)