Dr Yulius Yohannes M.Si

Kemendagri Bakal Tunjuk Pjs Gubernur Kalbar 2023

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) – Pengamat politik Fakultas IImu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengatakan, tahun 2023 Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, bakal menunjuk Pejabat Eselon I di Kementerian Dalam Negeri sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Barat.

“Karena Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, mengakhiri masa jabatannya pada 5 September 2023, karena dilantik pada Rabu, 5 September 2018,” kata Yulius Yohanes, Sabtu, 6 Februari 2021.

Yulius Yohanes, mengatakan, penunjukan Penjabat Gubernur Kalimantan Barat, karena peniadaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2022 dan 2023 adalah amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang: Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Dijelaskan Yulius Yohanes, kalau mau dipaksakan Pilkada 2022 dan 2023, berarti terlebih dahulu dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Tapi rasanya mustahil, karena sudah ada penegasan dari Kementerian Dalam Negeri, dan sebagian besar fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, setuju peniadaan Pilkada 2022 dan 2023.

Dungkapkan Yulius Yohanes, pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang: Pemilihan Kepala Daerah, menyebut Pemilihan Kepala Daerah serentak digelar pada 2015, 2017, dan 2018. Lalu daerah yang ikut dalam Pilkada 2015 akan ikut dalam Pilkada 2020. Kepala Daerah terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020, menjabat sampai 2024, yaitu selama 3,5 tahun, bukan 5 tahun seperti sebelumnya.

“Sementara Pilkada serentak 2022 dan 2023 ditiadakan. Karena di dalam pasal 201 ayat 9 disebutkan, Penjabat Gubernur, PenjabatbBupati dan Penjabat Wali Kota ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3),” ujar Yulius Yohanes.

“Dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) di pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024,” ucap Yulius Yohanes.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021, menyatukan dua aturan Pemilihan Umum (Pemilu), yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang: Pemilu Legislatif dan Presiden, serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Dikatakan Yulius Yohanes, bakal menjadi perdebatan, ketika menetapkan angka ambang batas parlemen tetap pada angka 4 persen, atau naik di angka 5 persen hingga 7 persen. Daerah-daerah tersebut dipimpin Penjabat (Pj) yang ditunjuk Pemerintah hingga terpilih Kepala Daerah baru. Lalu, pada November 2024, seluruh Daerah mengikuti Pilkada serentak.

Pilkada serentak, amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, mengabulkan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, tentang: Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu, Effendi Ghazali, staf pengajar Universitas Indonesia.

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pemilu serentak, tapi baru bisa dilakukan pada 2019. “Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2014.

Effendi Gazali dan kawan kawan menguji sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden, terkait penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dua kali yaitu Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden.

Menurut mereka, pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang dilakukan terpisah itu tidak efisien (boros) yang berakibat merugikan hak konstitusional pemilih.

Effendi Gazali mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu dilakukan secara serentak dalam satu paket dengan menerapkan sistem presidential coattail dan political efficasy (kecerdasan berpolitik).

Dalam presidential coattail, setelah memilih Calon Presiden, pemilih cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan Presiden yang dipilihnya. Tetapi jika diberlakukan political efficasy, pemilih bisa memilih anggota legislatif dan memilih Presiden yang diusung partai lain.

Dalam mengemban putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tanggal 23 Januari 2014, Pemerintah dan DPR-RI, menyusun dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2017, tentang: Pilkada, dimana meniadakan Pilkada tahun 2022 dan 2023. (aju)