JAKARTA (Independrndi.com) – Keberadaan Otoritas Pelabuhan (OP) sebagai penyelenggara pelabuhan berdasarkan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dalam perjalanannya untuk mengoptimalkan sisi bisnis pelabuhan terus menimbulkan banyak sorotan.
Dalam UU Pelayaran, Otoritas Pelabuhan atau Port Autohority adalah lembaga pemerintah di pelabuhan yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial. Dengan demikian OP turut memiliki peran dalam menggenjot bisnis pelabuhan hingga menurunkan biaya logistik.
Menurut Direktur Eksekutif The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi, peran OP yang demikian itu perlu ditinjau kembali. Soalnya, keterlibatan OP dalam mengurusi bisnis pelabuhan menjadi tumpang tindih dengan operator.
“Kewenangan Otoritas Pelabuhan untuk menurunkan biaya logistik saya rasa sangat sulit. Lembaga ini tidak memiliki sumberdaya untuk hal ini. Biarkan sisi bisnis pelabuhan itu dipegang oleh operator pelabuhan. Misalnya di Tanjung Priok, sudah sepatutnya semua diserahkan ke Pelindo,” kata Siswanto, Selasa (30/3).
Sambungnya, lembaga pemerintah tetap sebagai regulator yang lebih kepada urusan keselamatan dan keamanan pelayaran. Sementara untuk bisnis, seluruhnya diselenggarakan oleh pihak perusahaan. OP dilebur saja ke dalam Pelindo.
Lanjut Siswanto, gagasan itu mengacu kepada sistem yang diterapkan di pelabuhan-pelabuhan besar di Eropa semisal Port of Rotterdam di Belanda.
“Di sana, operator dan regulator ada di dalam manajemen Port of Rotterdam. Hanya beda kamar saja. Dengan model ini, kebijakan dapat dieksekusi dengan cepat,” jelas Siswanto.
Skema tersebut, tegas Siswanto cocok diterapkan di Indonesia. Terlebih dalam wacana penggabungan Pelindo I-IV yang tengah digaungkan oleh Kementerian BUMN, skema penyerahan peran OP kepada perusahaan operator sangat tepat.
“Jadi sudah seharusnya Pelindo dan Otoritas Pelabuhan diintegrasikan. Agar upaya menurunkan biaya logistik kita betul-betul efektif di lapangan,”ungkapnya.
Sejak UU Pelayaran disahkan pada tahun 2008, pengamat maritim yang dikenal kritis ini sudah lantang menyuarakan penggabungan Pelindo dan OP.
“Berarti memang kita perlu merevisi UU Pelayaran yang saat ini berlaku. Ini harus menjadi perhatian DPR dan seluruh pemangku kebijakan di negeri kita, tujuannya untuk mewujudkan adanya efektivitas dan efisiensi di pelabuhan,”pungkasnya.