Siswanto Rusdi

Pengamat Maritim: Mafia Pelabuhan Terjadi di Luar Pelabuhan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Pengamat Maritim Siswanto Rusdi menilai ada misleading terkait isu mafia pelabuhan yang sekarang mengemuka. Menurut dia, kasus mafia pelabuhan lebih banyak terjadi di luar bukan di dalam pelabuhan.

Pernyataan itu disampaikan Siswanto saat menjadi nara sumber uji kompetensi wartawan di Auditorium Mr Ksman Singodimedjo, Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jakarta, Sabtu (18/18). Siswanto menjelaskan, pascamerger, Pelindo dikepung tentang isu mafia pelabuhan Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI, ketua KPK Firli Bahuri bahkan jaksa agung sudah menurunkan tim intel.

Masalahnya, ada miss leading terkait dengan kata pelabuhan. “Padahal berkali-kali sudah terbukti, korupsi itu sudah berkali kali terbukti terjadi di luar pelabuhan. Mafia itu adanya di luar pelabuhan. Sebetulnya lebih tepat disebut mafia pengurusan kargo oleh pihak ketiga yang mewakili shipper. Kalau di dalam pelabuhan sudah mengalami perubahan,” kata Siswanto kepada wartawan, Sabtu (18/12/2021).

Di pelabuhan inefisiensi itu hanya 1% sampai 2%. Efisiensi itu justru perlu dilakukan di luar pelabuhan. Karena itu, ketika menyebut mafia pelabuhan harus diarahkan pada pihak di luar pelabuhan. Dimana, variable biaya sewa peti kemas, pengangkutan peti kemas ke pabrik, kemudian sewa truk, memunculkan efek domino mendongkrak biaya logistik mencapai 23% sampai 24% PDB (Pendapatan Domestik Bruto).

Seperti diberitakan, merger Pelindo secara resmi telah terlaksana, dengan ditandatanganinya Akta Penggabungan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Layanan Jasa Pelabuhan, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia I, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia III, dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia IV, melebur kedalam Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia II yang menjadi surviving entity.

Masalahnya, lanjut Siswanto, Pelindo tidak bisa menjangkau ke sana karena itu ranah bisnis depo peti kemas. Pengaturan makin sulit karena dalam bisnis depo peti kemas melibatkan banyak elemen, mulai Kementrian Perdagangan, Bea Cukai atau pelaku bisnis atau swasta.

Tata kelola pelabuhan diatur oleh Kementerian Perhubungan melalui regulasi oleh menteri, dirjen, bahkan otoritas pelabuhan pun mengeluarkan regulasi.

“Semua regulasi itu hanya mengatur Pelindo tidak ada yang mengatur depo peti kemas yang tetanggaan dengan Pelindo. Akibatnya, BUMN dicekik regulasi,” tegas pria yang juga direktur The National Maritime Institute (Namarin) tersebut.

Sebetulnya pemerintah bisa masuk, tapi pemerintah segan dengan asosiasi berbagai asosiasi yang ada. Tak sedikit pengurus puncak temannya menteri, temannya pejabat. Kan nggak mungkin melarang para ketua asosiasi. Mau diatur bagaimana karena itu bukan kewenangan pemerintah. (prs)