Wajah Bopeng IT Kemaritiman

Loading

Oleh Siswanto Rusdi

Dalam beberapa waktu belakangan, sistem pengurusan dalam jaringan ekspor-impor milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sempat lumpuh. Customs Excise Information System and Automation (CEISA), begitu namanya, bermasalah karena ada force majeure di sistem. Demikian kata DJBC.

Tak jelas apa makna dua kata tersebut. Yang jelas, pengusaha dikabarkan rugi miliaran rupiah dan instansi tersebut sudah menyatakan tidak bertanggung jawab atas kerugian itu.

Artinya, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurusi dokumen-dokumen bisnis mereka tetap harus dikeluarkan tanpa sedikitpun ada kortingan karena disrupsi yang terjadi.

Menariknya, di tengah situasi yang ada agen-agen pelayaran mengenakan biaya tambahan atas keterlambatan proses dokumentasi menyusul down-nya CEISA.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Begitulah nasib pemilik barang alias shipper. Ketika tulisan ini diselesaikan, layanan Bea dan Cukai itu belum sepenuhnya pulih.

Ihwal bermasalahnya CEISA bukanlah cerita baru. Sudah beberapa kali situasi serupa terjadi sebelumnya. Pembaca silakan berselancar di internet untuk membuktikannya.

Dalam setiap kejadian yang berlangsung, beberapa hal selalu sama: pengusaha mengalami kerugian besar karena barangnya terlambat dikirim karena dokumennya diproses manual. Dan, BC tidak melonggarkan (baca: menggratiskan) biaya-biaya yang harus dibayarkan terkait dokumen tadi. Walaupun dirugikan, shipper ini tidak ada yang mengambil langkah hukum atas kerugian yang mereka dera. Kalau membuat statement di media massa sering.

Mereka tetap saja membayar biaya pengurusan dokumen ekspor-impor. Biaya yang mereka keluarkan ini pada ujungnya akan diganti oleh masyarakat dengan harga jual yang relatif tinggi. Persis seperti rantai makanan.

Fenomena sistem teknologi informasi (TI) yang malfungsi sebetulnya bukan masalah yang hanya terjadi/dihadapi oleh Bea dan Cukai Indonesia. Ia juga berlaku di instansi yang sama di berbagai belahan dunia.

Perusahaan pelayaran juga sering menghadapinya. Malah TI pelayaran sering diincar oleh para hacker. Perbedaan di antara mereka adalah kecepatan recovery.

Di luar sana, recovery speed-nya relatif baik sehingga sistem bisa segera pulih dan kembali melayani users. Seperti yang kita ketahui dari berita di media nasional, perlu waktu seminggu lebih buat CEISA agar kembali berjalan normal. Parahnya lagi, kejadiannya berulang.

Tentu saja muncul pertanyaan di benak publik. Bagaimana sih sebenarnya keandalan sistem TI yang dipakai oleh DJBC? Apakah ia memakai sistem terbaik yang bisa dibeli oleh uang? Atau, jangan-jangan, sistem itu produk abal-abal atau kaleng-kaleng?

Pertanyaan ini, dan barangkali pertanyaan lainnya, sah-sah saja diajukan. Untuk menjawabnya sepertinya perlu dilakukan investigasi yang menyeluruh dengan melibatkan pihak-pihak di luar DJBC agar lebih transparan. Zaman sudah makin maju. Masak urusan TI masih tidak profesional juga.

Penulis adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin)