JAKARTA (IndependensI.com) – Episode ke-13 Ngabuburit Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan Mata Air Kearifan Walisongo pada Minggu, 25 April 2021, mengambil tema ‘Walisongo sebagai Model Dakwah Moderasi Islam’ dengan narasumber KH Taufik Damas dipandu host Rano Karno.
Taufik Damas, yang merupakan Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jakarta mengungkapkan bahwa Walisongo berdakwah di nusantara dengan cara menawarkan Islam yang subtantif dan tidak ekstrem, bahkan sangat menghargai adat dan budaya yang berkembang pada saat itu.
“Ajaran iIlam yang diajarkan Walisongo itu bukan cuma sebagai strategi awal, tapi mereka menawarkan Islam substantif, yang tentunya tidak ekstrim dan gampang sekali beradaptasi dengan kultur budaya yang berlaku. Bahkan dengan konsep-konsep keyakinan masyarakat yang sudah ada pada saat itu,” papar Taufik.
Ketua Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Pusat PDI Perjuangan Aria Bima menyatakan, uraian Kiai Taufik Damas mengajak kita untuk senantiasa bersyukur lantaran pembawa agama Islam ke Nusantara adalah orang-orang yang ilmu kislamannya sudah lengkap dan tidak sepotong-sepotong sehinga mereka mampu menghargai budaya yang sudah ada di Indonesia.
“Sebagaimana kita tahu, bahwa di Indonesia sebelum Islam datang, sudah ada agama Hindu, Budha, dan bahkan agama lokal yang usianya sudah tua seperti Kapitayan, Candrayana, Kejawen, Sunda Wiwitan, dan sebagainya. Semuanya itu dilihat oleh Walisong sebagai orang yang sudah totalitas dalam beragama, bukan sebagai sesuatu yang harus diubah secara total, namun sikap kebudayaan yang sudah ada di Indonesia bisa diakulturasi dengan ajaran Islam yang substantif,” tegasnya.
Taufik Damas, ulama lulusan Universitas Al Azhar Mesir itu selanjutnya menekankankan bahwa dakwah Walisongo tidak lantas mengubah kebiasaan secara total, namun lebih menghargai tradisi yang sudah ada sebagai ajaran dari agama-agama yang sudah berkembang kala itu.
“Budaya-budya semacam itu yang kemudian diakulturasi dengan ajaran Islam yang substantif secara perlahan,” lanjut Taufik.
Tak heran, dengan cara substantif dalam memahami ajaran Islam yang diajarkan Walisongo, penerimaan dari masyarakat indonesia sangat mudah. Ajaran seperti inilah yang kemudian dirawat dan dikembangkan oleh para kiai dan para ulama sampai saat ini.
“Alhamdulillah, cara substantif memahami ajaran Islam yang dikembangkan Walisongo sehingga mudah sekali diterima masyarakat Indonesia ketika itu, sampai sekarang dapat dirawat dan dikembangkan oleh para kiai dan ulama,” kata Taufik.
Taufik menguraikan, salah satu kehebatan Walisongo yakni mengajak cara berpikir masyarakat yang sebetulnya berkasta-kasta untuk menjadi masyarakat egaliter, merasa terhormat meskipun pada dasarnya mereka berasal dari rakyat jelata.
Taufik memberikan contoh bagaimana para wali memanggil diri sendiri dengan kata “Ingsun”, yang mana pada waktu itu hanya masyarakat kelas atas yang boleh menggunakannya. Namun, Walisongo mengajarkan untuk jangan sungkan memanggil diri sendiri dengan panggilan “Ingsun”.
Ada istilah yang sangat menarik ketika orang menerjemahkan niat umpamanya ‘Nawaiu shauma ghadin ‘an adai fardi syhari romadhona…’
“Itu diartikan niat sopo ingsun, padahal kata ‘ingsun’ itu dulu rakyat jelata tidak boleh ngomong ingsun. Rakyat jelata hanya boleh bilang ‘kawula alit, abdi dalem”. Namun, para wali mengajarkan untuk jangan segan-segan menyebut dirimu sebagai ingsun melalui terjemahan
kalimat Arab seperti niat,” pungkas Taufik.
Program Ngabuburit Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan dengan tema besar ‘Mata Air Kearifan Walisongo’ hadir setiap hari pada bulan Ramadhan pukul 17.00 WIB dapat diikuti melalui kanal Youtube, Instagram dan Facebook BKNP PDI Perjuangan. (Chs)