Nasionalisme, Strategi Jitu Walisongo Rangkul Semua Kalangan

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Episode ke-20 Ngabuburit Bersama Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan “Mata Air Kearifan Walisongo” pada Minggu, 02 Mei 2021, mengambil tema ‘Hubungan Walisongo dan Komunitas Tionghoa Hindu Bali’ dengan narasumber KH. Ahmad Baso yang merupakan salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia, dipandu host Gus Mis alias Zuhairi Misrawi.

Setiap warga negara harus memiliki rasa nasionalisme kepada bangsanya sendiri. Ini sebagai bentuk kesadaran dan cinta tanah air yang ditunjukan melalui sikap dan tingkah laku atau masyarakat tanpa memandang ras, suku dan agama. Semangat gotong royong adalah salah satu kunci utamanya. Semangat ini yang kemudian digulirkan Walisongo dalam Komunitas Tionghoa Hindu Bali untuk menyebarkan nilai-nilai keberislaman yang senada dengan budaya Nusantara yang tengah berkembang pada waktu itu.

Hal itu disampaikan KH. Ahmad Baso dalam acara Ngabuburit Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDI Perjuangan, Minggu, 2 Mei 2021, pukul 17.00 WIB.

Kiai Ahmad Baso menjelaskan mengapa orang Bali bisa bertemu dengan para wali?

“Mereka ketemu pada level angajawi-nya, bernusantara-nya. Dulu bali hanya lokal-lokal, hindu lokal, tapi ketika bertemu dengan karakter nasionalnya, maka suku bangsa ini yang diperkenalkan oleh para wali dengan rasa persaudaraan dan gotong royong dalam menerapkan nilai islam di nusantara.” papar salah seorang cendekiawan muslim Indonesia itu.

Ahmad Baso menjelaskan, ketika berdakwah di nusantara, terlebih pada masyarakat komunitas Tionghoa Hindu Bali, para wali tidak semerta mengajarkan bagaimana cara masuk agama Islam, namun Walisongo lebih dulu mendalami psikologi dan problem yang tengah terjadi di kalangan masyarakat Bali kala itu.

“Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu problemnya adalah ekonomi. Walisongo berdakwah tidak seperti yang dipahami oleh sebagian orang, yakni hanya mengajarkan tentang ajaran Islam, namun yang dilakukan para wali melampaui itu semua,” kisahnya.

Itulah sebabnya, lanjut Ahmad Baso, ketika para wali datang ke Bali tidak mengajarkan dulu bagai mana harus masuk Islam, namun terlebih dahulu diajarkan bagaimana membangun ekonominya.

“Bagaimana bisa maju, sejahtera, bagaimana bisa mandiri dan tidak bergantung pada impor,” tegasnya.

Lebih jauh Ahmad Baso menjelaskan bahwa persaudaraan dan gotong royong merupakan strategi yang digunakan Walisongo menuju sebuah kebangkitan, sebuah etos kerja bersama, bekerja untuk masa depan yang lebih baik.

“Karena itu, hadirnya Walisongo merupakan sebuah angin segar bagi komunitas Tionghoa Hindu Bali, bahkan mereka banyak belajar dari Walisongo mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,” terangnya.

Baso menyatakan, dalam naskah sejarah-sejarah Bali, salah seorang penulis Bali permah menyebut mengapa orang Bali butuh kehadiran Walisongo.

“Jawabannya, karena Walisongo merupakah solusi bagi keberlangsungan peradaban mereka. Banyak dari mereka yang berguru kepada Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Kudus, yang kita tahu sangat fikih oriented. Dari situ ternyata orang Bali berguru kepada Walisongo,” urainya.

Salah satu alasannya, menurut Ahmad Baso, karena komunitas Tionghoa Hindu Bali menginginkan hidup yang sejahtera dan makmur. Lewat pintu inilah kemudian Walisongo mendakwahkan ajaran-ajaran agama Islam yang senada dengan adat budaya masyarakat di Bali.

“Misalnya, masyarakat Bali membutuhkan salah satu pengobatan tradisional lewat kalimat ‘Bismillah’ yang merupakah salah satu ayat Al-Qur’an,” kisahnya.

Hal ini diajarkan Walisongo tanpa memperdulikan apakah nanti masuk Islam atau tidak, yang paling penting adalah nilai-nilai keislaman diperkenalkan lebih dulu.

“Kenapa mereka butuh Walisongo? Pertama mereka butuh hidup sejahtera dan makmur. Yang kedua bagaimana mereka belajar tentang ilmu pengobatan, jimat-jimat, bacaan, dan rajah. Semisal lafadz, ‘Bismillah; yang sering kita baca, pada waktu itu bagi orang Bali merupakan bacaan pengobatan, yang diyakini dapat menyembuhkan sebuah penyakit,” pungkas Ahmad Baso.

Program Ngabuburit Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan dengan tema besar ‘Mata Air Kearifan Walisongo’ hadir setiap hari pada bulan Ramadhan pukul 17.00 WIB dapat diikuti melalui kanal Youtube: BKNP PDI Perjuangan, Instagram: BKNPusat dan Facebook: Badan Kebudayaan Nasional Pusat. (Chs)