Kartu Prakerja: The First Government Startup, Cara Pemerintah Ubah Wajah Layanan Publik di Era Digital

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Sejak Manajemen Pelaksana dibentuk pada 17 Maret 2020 dan gelombang pertama diluncurkan pada 11 April 2020, Program Kartu Prakerja baru berusia 17 bulan. Namun, dalam usia sedini itu, Kartu Prakerja berhasil mengubah wajah layanan publik, khususnya di bidang pelatihan vokasi di era digital sekarang ini.

Proses pelaksanaan program berlangsung end-to-end digital, tanpa tatap muka dan tanpa perantara. Selain itu, Kartu Prakerja sukses mendongkrak inklusi keuangan di Indonesia, serta menerapkan prinsip ‘consumer centric’, yakni sebuah layanan dengan menitikberatkan pada kepuasan konsumen. Terbukti, Program Kartu Prakerja memiliki layanan contact center yang dapat diandalkan, bekerja 12 jam setiap hari tanpa libur, melalui tiga jenis saluran layanan sesuai pilihan pengguna jasa.

Dengan berbagai kelebihan tersebut, Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja menyebut Program Kartu Prakerja sebagai ‘the first government startup’. Meskipun lahir dan menjalankan operasional dengan dana APBN, namun program ini memiliki kultur sebagaimana perusahaan rintisan yang didominasi anak muda berkemampuan cemerlang serta berdedikasi tinggi.

Pernyataan itu disampaikan Denni Purbasari dalam Forum Digiweek 2021, sebuah konferensi tahunan yang digelar The Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan kali ini mengangkat tema besar ‘Governing Indonesia’s Digital Economy, Menuju Ekonomi Digital Indonesia yang Inovatif, Inklusif & Aman’.

Dalam diskusi bertopik ‘Masa Depan Pendidikan: Pembelajaran dari Pandemi dan Peran EduTech untuk Pengembangan SDM’, Denni Purbasari yang tampil satu panel dengan peneliti CIPS Latasha Safira serta salah satu pendiri HarukaEDU, Gerald Ariff, membawakan presentasi bertajuk, ‘Prakerja: Game Changer?’

“Kartu Prakerja ini berbeda. Saya yakinkan bahwa program ini make a difference. Dengan kekuatan teknologi digital, skala dan kecepatan yang dihasilkan sangat tinggi, karena hanya 17 bulan berjalan bisa menjangkau hampir 10 juta penerima dari 514 kabupaten/kota. Bahkan, di Papua, khusus tahun ini saja penerimanya sudah mencapai 63 ribu orang,” papar Denni.

Masih dengan kelebihan teknologi digitalnya, Kartu Prakerja berhasil menjadi program inklusif yang mampu mengukur perkembangan proses pembelajaran para penerimanya. Selain itu, inklusivitas program ini terlihat karena Kartu Prakerja terbukti mampu merangkul orang-orang di pedesaan, eks Pekerja Migran Indonesia, difabel, serta mereka yang tinggal di daerah tertinggal.

“Sejak awal kami bertekad menjadikan ini sebagai sebuah produk, dan bukan sekedar program yang menyerap APBN. Dan layaknya sebuah korporasi, kami berjuang agar produk ini jangan sampai jadi produk gagal. Untuk itu, kami harus mendengarkan suara konsumen,” katanya.

Doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder Amerika Serikat ini menjelaskan, berbagai upaya iterasi terus dilakukan Program Kartu Prakerja untuk perbaikan.

“Iterasi atau perbaikan kami lakukan dengan mendengarkan suara konsumen secara terus-menerus, baik melalui komentar di media sosial maupun contact center Prakerja,” urainya.

Denni memberi contoh, begitu ada sebuah masalah teknis ditangkap oleh contact center, maka tim Operasi dan Teknologi berusaha secepat mungkin menyelesaikan persoalan itu.

“Tim Operasi dan Teknologi ini ‘DNA’-nya start up. Mereka biasanya langsung merespon dan dipastikan tidak akan tidur sebelum persoalan selesai,” ungkapnya.

Karena kerja keras itu, hasil survei terbaru Ipsos, sebuah lembaga riset global dari Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa dari berbagai program bantuan yang diberikan pemerintah, Prakerja merupakan program bantuan yang paling banyak didapatkan masyarakat dan paling dianggap bermanfaat.

Untuk memastikan pelatihan yang disediakan bervariasi, Manajemen Pelaksana bermitra dengan ratusan lembaga pelatihan.

“Prakerja menghidupkan pasar peningkatan keterampilan. Antar badan usaha saling bersaing memberikan layanan dan harga terbaik bagi konsumen,” jelas Denni.

Hasil survey BPS menunjukkan bahwa 91 persen peserta mengatakan keterampilan kerja mereka meningkat. Hal ini selaras dengan evaluasi Manajemen Pelaksana dimana skor pre-test peserta meningkat dari awalnya 59 menjadi 73 pada saat post-test.

Cara baru melamar pekerjaan

Pada kesempatan ini, Denni Purbasari memaparkan bahwa ekosistem Kartu Prakerja sudah bekerja sama dengan dua job portal untuk memberikan fitur ‘job recommendation’ di dashboard masing-masing peserta.

“Misalnya, seorang penerima Kartu Prakerja menyelesaikan pelatihan desain grafis, maka ia akan menerima informasi lowongan pekerjaan di bidang itu di dashboard-nya,” urainya.

“Di situ ada sepuluh besar lowongan pekerjaan yang paling dicari. Terus diperbarui dari bulan ke bulan dan di-breakdown sampai provinsi,” kata Deputi Bidang Ekonomi Kepala Staf Kepresidenan 2015-2020 ini.

Untuk saat ini, sepuluh besar pekerjaan paling dicari yang tercantum pada ‘Tren Rekrutmen’ www.prakerja.go.id diduduki antara lain bidang penjualan ritel, pemasaran/pengembangan bisnis, IT-perangkat lunak, akuntansi umum/pembiayaan, penjualan-korporasi, personalia, perbankan dan staf administrasi umum.

Dengan fitur baru berupa informasi lowongan dan trend pekerjaan secara digital, Program Kartu Prakerja mengubah kebiasaan lama banyak pencari kerja, yang selama ini mengirim lamaran pekerjaan berupa kertas tercetak dikemas dalam amplop coklat berdasarkan informasi dari mulut ke mulut.

“Tentu saja, menggunakan cara konvensional seperti itu, upaya seorang pencari kerja tak akan menemui hasil optimal dan sangat berbeda dibandingkan jika melamar pekerjaan secara digital melalui job platform. Pola-pola adaptasi baru dengan teknologi seperti inilah yang Prakerja kenalkan kepada angkatan kerja kita,” pungkas Denni.